Terakhir Risna pulang adalah ketika papanya meninggal, tahun 2009, terakhir saya pulang adalah tahun 2010 ketika ibu saya sakit. Dalam kedua kesempatan tersebut, kami tidak banyak melakukan kegiatan apa-apa di Indonesia.
Secara umum kami senang semua urusan administrasi bisa beres. Orang-orang yang perlu ditemui berhasil ditemui walau cuma sebentar. Ziarah juga sempat dilakukan.
Setelah sekian lama tidak pulang ke Indonesia, sudut pandang beberapa hal rasanya mulai berubah. Hal-hal yang dulu dianggap wajar-wajar saja sekarang mulai terasa tidak biasa.
Bau rokok ada di banyak tempat. Kemacetan masih belum membaik. Bunyi klakson ada di mana-mana (di Chiang Mai tidak ada yang mengklakson di lampu merah). Ketika pindah ke chiang mai, hal ini tidak terlalu terasa, tapi ketika pergi ke indonesia, baru makin terasa bedanya.
Setelah punya anak dan melihat orang tua di Indonesia, sekarang kami jadi bisa mengerti beberapa hal yang marak dibicarakan di milis. Misalnya kenapa ada yang sangat anti sufor. Susu formula ada dua: infant formula (s/d 12 bulan) dan follow-on/toddler formula (1-3 tahun). Susu untuk infant memang sangat khusus dan penting sebagai pengganti ASI. Di berbagai negara, ada regulasi yang mengatur supaya infant formula tidak boleh diiklankan.
Tapi susu follow on formula biasanya dianggap sebagai susu biasa dan bebas diiklankan dan iklannya memang banyak di Indonesia.
Sebenarnya follow-on formula ini tidak terlalu penting, jika toddler sudah mau minum susu lain dan tidak bermasalah mengkonsumsi susu lain (baik UHT atau susu bubuk biasa/non formula).
Tapi ternyata banyak ibu-ibu yang memberikan susu formula untuk toddler, bahkan memandang aneh kami yang memberikan susu UHT ke Jonathan. Sebagian bahkan memaksakan diri (secara ekonomi) membeli susu formula untuk toddler. Wajar saja banyak yang anti dengan susu formula.
Sebagai orang yang membesarkan anak berdua saja, kami juga takjub dengan banyaknya baby sitter/pengasuh/ART yang ada di setiap rumah. Memang tidak mudah memilih hidup di Indonesia. Uang beredar di Jakarta, tapi kemacetan di sana luar biasa. Orang harus pergi sangat pagi dan pulang malam untuk mengindari kemacetan.
Kami sempat membawa Jonathan ke dokter. Dan sekarang kami mengerti kenapa banyak yang tidak percaya dengan dokter di Indonesia. Kebetulan dokter yang kami temui memang sangat kurang komunikatif. Tidak memberi tahu apa-apa, dan sangat pelit jawaban ketika ditanya. Tulisan tangannyapun sangat jelek sampai tak terbaca apoteker. Wajar jika ada yang kurang percaya dengan dokter semacam ini.
Mama saya sempat membuatkan semua jenis makanan yang saya pesan. Mulai dari rawon sampai gudeg. Makanan khas rumah memang spesial. Tapi setelah sekian lama tidak pulang, teh botol tidak terasa terlalu spesial. Indomie yang sulit didapat di sini juga mulai terasa biasa.
Cukup dulu catatan kali ini, udah mulai ngelantur ke mana-mana.