Harddisk yang tidak pernah cukup

Ini sekedar cerita dan catatan kenapa desktop saya sekarang punya 3 SSD dan 3 HDD, dan kenapa saya punya komputer lain yang jadi server dengan 1 SSD dan 3 HDD. Ceritanya ini juga sekaligus jadi catatan untuk diri sendiri.

Singkatnya kalau Anda rajin bereksperimen seperti saya, ruang harddisk sepertinya akan selalu tidak cukup. Misalnya ingin mengcompile ROM Android (bukan aplikasi Android, tapi source code kernel, OS dan berbagai aplikasi Android yang membentuk ROM Android), satu versi saja butuh disk space 100 GB untuk source codenya dan 150 GB lagi untuk membuild-nya. Sedangkan untuk development aplikasi Android juga butuh space cukup banyak: folder .android saya (yang berisi SDK dan VM, tidak semua versi saya install) sudah 20GB.

Mengcompile Firefox? butuh 30 GB, Chromium butuh 100 GB. Belum lagi ketika eksperimen dengan Raspberry Pi atau yang lain: tiap backup 1 SD Card biasanya seukuran SD cardnya (umumnya saya memakai 8-32 GB, tergantung devicenya).

Lanjutkan membaca “Harddisk yang tidak pernah cukup”

Menghindari Mengingat dan Menghapal

Semua orang bisa mengingat banyak hal yang berkesan bagi mereka, tapi jarang yang bisa mengingat semua hal dengan baik. Karena kapasitas memori saya terbatas, saya  berusaha melakukan berbagai cara untuk berusaha tidak menghapal/mengingat sesuatu ini.

Sayangnya saat ini kita belum bisa mengupgrade otak dengan kapasitas memori lebih tinggi

Memahami

Cara pertama untuk tidak perlu mengingat adalah dengan memahami. Jika kita sudah paham sesuatu, maka biasanya kita akan ingat. Beberapa detail bisa dicek di search engine dan bisa melihat catatan. Memahami sesuatu memang tidak mudah baik itu konsep baru, bahasa baru, tools baru, tapi setelah paham akan lebih mudah untuk mengingat sesuatu. Lanjutkan membaca “Menghindari Mengingat dan Menghapal”

AlphaSmart Dana

AlphaSmart Dana adalah device Palm OS lama dengan form factor keyboard yang sudah tidak diproduksi lagi. Device ini dulu cukup populer di banyak sekolah di Amerika, terutama digunakan untuk anak-anak yang kesulitan menulis dengan pulpen/pensil. Device ini saat ini masih populer di kalangan penulis karena beberapa hal: keyboardnya enak dipakai untuk mengetik, minim gangguan (karena tidak bisa mengakses internet), relatif ringan (sekitar 1 kg), memakai 3 Batere AA biasa (atau yang rechargable) dan tahan beberapa puluh jam sebelum perlu mengganti batere lagi. Ada dua versi Dana, Wireless dan non wireless, yang akan dibahas di sini adalah versi wireless yang kami punya.

Stiker biru kecil di tengah Dana itu ditempelkan supaya gampang membedakan dari Dana yang lain.

Untuk mentransfer data ke komputer, ada beberapa opsi. Opsi pertama adalah menggunakan mode keyboard, dengan ini seolah-olah Alphasmart akan “mengetik ulang” isi file ke editor apapun yang terbuka di layar komputer. Dengan cara ini AlphaSmart Dana bisa terkoneksi ke device apa saja yang menerima input dari USB keyboard (termasuk juga tablet atau ponsel, asalkan bisa memberikan cukup daya). Kabel yang digunakan adalah kabel USB printer standar. Opsi kedua adalah dengan menggunakan jaringan WIFI (sayangnya yang disupport hanya WEP). Opsi terakhir adalah dengan menggunakan SD Card Lanjutkan membaca “AlphaSmart Dana”

11 Tahun di Chiang Mai

Wow, siapa sangka kami bisa betah sampai 11 tahun di Chiang Mai. Rasanya dulu kalau dibilang harus di Chiang Mai sampai lebih dari 11 tahun kemungkinan saya bakal bisikin Joe buat cari kota lain aja buat tinggal. Tapi sejak pertama kali mendarat ke kota ini saya langsung suka dengan suasananya. Cuaca di awal Mei agak adem karena mulai memasuki musim hujan, jalanan sepi karena anak sekolah masih pada libur dan warna langitnya cerah.  Awalnya saya pikir kota ini akan dingin seperti Bandung, tapi ternyata nggak.

Populasi orang Indonesia pada saat itu juga masih langka. Sampai dengan 4 tahun pertama rasanya belum ada komunitas orang Indonesia di Chiang Mai seperti sekarang ini (sekarang anak kecilnya aja lebih dari 10 kalo kumpul lengkap). Komunitas orang Indonesia di Chiang Mai ini beraneka ragam, biasanya tiap beberapa tahun ada yang pindah tapi juga selalu ada yang baru datang lagi. Beberapa orang awalnya rencana hanya sebentar saja tapi kemudian jadi betah dan tinggal lama di sini seperti kami.

Banyak yang bertanya ke kami kenapa bisa betah di Chiang Mai, dan apakah anak-anak bisa berbahasa Thai? terus gimana sekolah anak-anak? Ada rencana pulang gak ke Indonesia atau mau selamanya di Chiang Mai?.

Kami betah di sini faktor paling berasa itu aman dan nyaman. Kalau di Indonesia rasanya ke mall atau ke tempat keramaian itu harus waspada 100 persen, terus di banyak tempat yang jelas-jelas ada tulisan dilarang merokok tetap saja berasa banget bau asap rokok (padahal ruang ber AC). Kalau di sini selama 11 tahun kami jarang ketemu orang merokok, dan gak pernah merasa ruangan dalam airport bau rokok. Ini cuma salah satu contoh ya, karena saya sangat sensitif dengan bau asap rokok, jadi biasanya begitu sampe Indonesia, masih di airport saja saya sudah merasa gak nyaman dengan bau rokok dalam ruangan airport, berikutnya perasaan jengkel kalau koper kena kapur dan disuruh buka padahal isinya ga ada yang luar biasa.

Selama 11 tahun di Chiang Mai, dengan frekuensi hampir tiap tahun pulang minimal sekali, kami belum pernah disuruh buka koper di airport. Masalah keamanan di sini juga relatif lebih aman, kami bisa dengan tanpa kuatir meletakkan beberapa perabotan rumah seperti tabung gas, mesin cuci ataupun sepeda anak-anak di luar rumah. Saya inget mertua saya cerita kalau pot bunga yang dia letakkan di dekat pagar rumah saja bisa hilang. Mama saya juga sampai pernah komentar memastikan itu mesin cuci gak hilang kalau diletakkan di luar?.

Sebenernya menuliskan hal soal ketidakamanan dan ketidaknyamanan di Indonesia membuat saya merasa malu, kenapa saya jadi terkesan Indonesia nggak ada bagusnya ya? Indonesia itu banyak hal bagusnya, beberapa kali kamipun mulai bertanya-tanya apakah kami akan selamanya di negeri orang atau pulang saja ke Indonesia. Faktor yang menjadi pertimbangan pulang ya seperti kata pepatah, seenak-enaknya di negeri orang pasti lebih enak di negeri sendiri.

Di sini kami setiap tahun harus mengurus ijin tinggal, lalu setiap 90 hari harus lapor diri ke imigrasi. Setiap mau travel keluar dari Thailand harus urus reentry visa. Semua urusan itu tentunya tidak dibutuhkan kalau tinggal di Indonesia. Makanan di Indonesia juga masih tetap terasa lebih enak, apalagi kalau dimasakin mama atau mertua hahaha.

Beberapa hal lain yang bikin betah di sini adalah akses internet bisa lebih cepat dan lebih stabil. Layanan perbankan juga buka 7 hari seminggu (sampai malam di mall). Daya listrik yang cukup besar buat pasang AC di semua kamar tidur (asal kuat bayarnya) dan relatif jarang ada pemadaman sampe seharian penuh.

Setelah tinggal di Chiang Mai kami juga jadi merasa biasa makan pake ketan sebagai pengganti nasi. Dulu di Indonesia makan ketan itu dianggap cemilan, udah makan ketan masih harus makan nasi lagi. Awal-awal di sini saya juga merasa aneh makan siang pake somtam (papaya salad) dan nasi yang rasanya sekilas seperti asinan bogor tapi sekarang hal itu udah jadi ga aneh lagi. Makanan yang paling signifikan beda dengan di Indonesia adalah menu pork. Mayoritas penduduk Thailand beragama Buddha, sebagian vegetarian tapi mayoritas menu makanan pasti ada pork nya. Saya masih inget, jaman mahasiswa di Bandung, menu makanan yang ada porknya dianggap istimewa dan dicari-cari seperti barang langka, di sini menu dengan beef yang menjadi makanan langka.

Setelah 11 tahun di Chiang Mai, saya makin merasa betah karena vocabulary bahasa Thai saya sudah semakin banyak. Membaca tulisan Thai masih tetap jadi tantangan karena ga ada kebutuhan yang mengharuskannya saya membaca banyak tulisan Thai. Anak-anak di rumah malah kebanyakan berbahasa Inggris.

Jonathan kebanyakan bicara bahasa Inggris sejak disekolahkan ke sekolah internasional. Sejak tahun lalu kami memutuskan Jonathan sekolah di rumah saja, dan sekarang dia mulai banyak juga bicara bahasa Indonesia. Kami juga mendaftarkan Jonathan kumon Thai dan dia mulai bisa membaca dan menulis bahasa Thai.

Joshua masih belum mau ke daycare, bulan Maret lalu kami coba kirim ke daycare, tiap hari masih nangis dan baru 2 minggu sekolah dia ketularan batuk pilek parah, jadi kami ga terusin kirim dia ke daycare. Joshua kebanyakan kosakatanya menggunakan bahasa Inggris, sepertinya karena buku yang kami bacakan dan lagu nursery rhymes yang dia lihat dan dengar juga berbahasa Inggris. Jonathan juga seringnya ajak Joshua komunikasi pakai bahasa Inggris. Joshua ngerti bahasa Indonesia, dia tapi masih lebih suka belajar apapun dalam bahasa Inggris. Mudah-mudahan kalau makin besar Joshua mau belajar bahasa Indonesia dan Thai juga.

Waduh tulisan mau update singkat jadi panjang aja.Ga bisa meresumekan 11 tahun dalam beberapa paragraph saja. Tapi sepertinya cukup dulu updatenya, semoga besok bisa melanjutkan tulisan seputar Chiang Mai.

Seri Buku Micro Adventure

Ini cuma kisah singkat mengenai seri buku cerita yang saat ini mulai disukai Jonathan: Micro Adventure. Seri ini diterbitkan di tahun 1980-an  oleh Scholastic dan cukup terkenal pada masanya.  Satu hal yang menarik dari buku-buku ini adalah: di dalamnya ada program dalam bahasa BASIC yang bisa diketikkan dan merupakan bagian dari cerita.

Jonathan sedang menyalin kode dari buku ke QBasic di Dosbox
Jonathan sedang menyalink kode dari buku ke QBasic di Dosbox

Buku pertama yang selesai dibaca Jonathan adalah Space Attack, buku ini terbit tahun 1984.

Di awal cerita buku pertama ada pesan rahasia yang harus didekrip. Sebenarnya bisa didekrip manual (caesar cipher), tapi lebih menarik jika didekrip dengan program. Lanjutkan membaca “Seri Buku Micro Adventure”

Liburan Songkran 2018

Songkran merupakan tahun baru Thailand, dan merupakan hari yang sangat dirayakan di Thailand, seperti Lebaran di Indonesia atau Natal di negara mayoritas Kristen.  Libur utama Songkran sendiri hanya 3 hari, tapi seperti Natal/Lebaran, biasanya kantor akan libur sekitar seminggu.

Selama 11 tahun di sini, kami lebih sering pulang ketika Songkran, karena selain libur panjang, polusi udara di Chiang Mai biasanya sedang buruk. Polusi ini dikarenakan pembakaran ladang dari Thailand (sedikit, kurang dari 200 titik api) dan dari negara sekitar (banyak, ribuan titik api). Tapi sesekali kami tinggal di Chiang Mai. Dan tahun ini kami tinggal di Chiang Mai.

Menurut cerita dari penduduk Chiang Mai, dulu perayaan utama Songkran hanyalah memercik air sebagai simbol pensucian dan menghapus nasib sial, tapi sekarang dirayakan dengan festival saling siram air (dengan ember dan pistol air). Sebagai anak kecil, Jonathan sangat menyukai perang air ini, dan tahun lalu dia kecewa karena harus pulang ke Indonesia di masa Songkran. Lanjutkan membaca “Liburan Songkran 2018”

14 Tahun Blogging Bareng

Hari ini tepat 14 tahun sejak saya dan Risna ngeblog bareng. Sebelumnya kami pernah punya blog juga, tapi yang masih rajin diupdate sampai sekarang hanya blog ini. Kenapa masih ngeblog sampai sekarang? dan sebenarnya buat apa sih ngeblog?

Kami di tahun 2004
Kami di tahun 2004

Dulu awalnya isi blog ini kebanyakan hanya pengalaman sehari-hari, dan penuh dengan komplain terhadap berbagai hal. Sekarang ini berbagai komplain kecil biasanya masuk ke media sosial. Sebagai pengingat, waktu blog ini dibuat, Facebook belum terbuka umum (baru 2006 Facebook dibuka untuk dunia), Twitter juga belum ada (Twitter baru diciptakan 2006 juga). Lanjutkan membaca “14 Tahun Blogging Bareng”