Ibu bekerja vs Ibu rumah tangga

Sebagian orang mempertanyakan, kenapa Risna tidak bekerja? padahal kan pendidikannya tinggi (S1 dan S2 keduanya Informatika ITB). Banyak yang menyayangkan kenapa tidak dipakai ilmunya dan menjadi Ibu rumah tangga saja. Kalau menurut kami sih, keputusan kami sudah tepat.

Menurut saya, kalau seorang Ibu memiliki pekerjaan yang amat sangat bagus, berhubungan dengan menyelamatkan hidup banyak orang (misalnya jadi ahli bedah), atau sangat penting bagi sebuah perusahaan (misalnya jadi CEO). Sehingga bisa menghasilkan uang yang sangat banyak sehingga bisa menyewa orang-orang terbaik untuk membantu mengasuh anak, maka tidak apa-apa Ibu itu bekerja. Tapi jika selisih gaji seorang Ibu setelah dipotong dengan ongkos, dipotong gaji pembantu, dsb hanya bersisa sedikit, Menurut saya sebaiknya seorang Ibu mendidik anaknya saja di rumah. Akan saya jelaskan lebih lanjut kenapa saya berpandangan seperti ini.

Kalo menurut kami: di dunia ini, apa sih harta kekayaan yang lebih dari anak? Jika kita sudah susah belajar sampai berpendidikan tinggi, apakah akan rela jika anak kita diasuh dan dibesarkan oleh orang yang pendidikkannya sangat rendah? (misalnya banyak pembantu di Jakarta yang dibayar 500 rb/bulan yang hanya lulusan SD). Rasanya percuma membaca semua jenis buku mengenai membesarkan anak jika tidak bisa kita praktikkan langsung dan pembantu yang lebih banyak praktik. Misalnya saya mendapat forward tentang jangan menggunakan kata-kata “bayi” seperti “nenen” tapi gunakan kata dewasa (“minum”). Jika 80% waktu anak bangun adalah bersama pembantu, apakah pembantu bisa mengerti hal-hal seperti itu?

Jika pembantunya cukup pintar untuk bisa mengerti, apakah pembantunya tidak akan pindah jika orang sebelah menawarkan gaji 50 ribu lebih banyak? Intinya apakah pekerjaan yang dilakukan pembantu itu bisa segenap hati seperti Ibu pada anaknya?
Lanjutkan membaca “Ibu bekerja vs Ibu rumah tangga”

Fifth wedding anniversary

Lima tahun yang lalu, atau 1826 hari yang lalu kami menikah, di Medan, Sumatra utara. Sekarang kami tinggal di sebuah aparteman di Chiang Mai, unit 1826. Sudah banyak sekali hal yang saya lalui bersama Risna sejak menikah. Rasanya saya tidak perlu ceritakan lagi semuanya, ceritanya masih ada di situs pernikahan kami, dan tentunya di blog ini.

Saya bersyukur bisa bertemu dengan Risna, saya bersyukur Risna menginspirasi saya untuk membuat software Alkitab sebagai bagian dari pelayanan saya. Saya bersyukur punya istri yang cantik, yang baik, yang mengerti pekerjaan saya. Saya sangat bersyukur pada Tuhan buat semua waktu yang boleh kami lalui bersama. Dan saya berharap kami bisa terus bersama sampai tua nanti.

Dulu kalau melihat film kisah cinta, yang menceritakan orang yang sangat berbeda bisa hidup bersama, rasanya sepertinya sangat romantis. Setelah bersama dengan Risna, saya merasa bahwa film-film itu konyol. Kalau seseorang hendak bersama selamanya, maka pandangan hidup haruslah sama, tingkat intelektualitas juga jangan terpaut jauh. Kalau saya membaca berbagai milis yang diikuti Risna, kadang tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan keluarga di mana suami istri berargumen dalam banyak hal (misalnya ada yang mengeluh di milis: “suami saya ngasih makanan bergaram untuk bayi, saya maunya bayinya pake keju aja”). Bagaimana rasanya bercanda bersama istri kalau istri tidak mengerti joke yang kita ceritakan?

Saya merasa sangat beruntung karena pandangan hidup saya dengan Risna sebagian besar sama (hal-hal kecil yang tidak terlalu penting pasti ada), dan pendidikan kami sama. Kami tidak perlu berargumen apakah anak harus diberi vaksin (menurut kami: wajib), ataukah bayi harus dibedong, makanan apa yang harus diberikan pada Jonathan, video apa yang boleh ditonton Jonathan, dsb. Kami bisa tertawa bersama pada hal-hal yang sama, bisa menikmati jenis film yang sama (aneh nggak sih kalau suami suka horror tapi istri bakal nggak bisa tidur seminggu kalau lihat film horor?), dan menikmati jenis makanan yang sama.

Masa depan masih terbentang dengan begitu banyak rencana. Masih banyak tantangan di masa depan. Di tahun kelima pernikahan ini, juga akan ada tantangan dalam hal pekerjaan. Mulai Senin, saya jadi satu-satunya orang Indonesia dan programmer senior di kantor kami. Dan tentunya kami baru di tahap awal dalam tantangan membesarkan Jonathan. Jadi inget doa waktu baby dedication Jonathan:

And we pray for your mom and dad, Yohanes and Risna That you will fill them, dear God, with all wisdom and love as they parent Jonathan May the Lord bless them with insight and understanding as they brace him to live a life in the way that pleases God so that you will be equipped in every way, Jonathan, to live a godly live and to face the challenges of your generation.

Apapun yang terjadi, kami berharap bisa tetap bersama, saling mengasihi dan menyayangi, dengan anak-anak (kami berharap lebih dari satu) yang dikaruniakan Tuhan pada kami.

Terima kasih Risna sayang, yang sudah menjadi istri yang baik, menjadi teman hidup yang selalu membuatku merasa bahagia. Aku akan selalu menyayangimu.

Terima kasih Tuhan untuk semuanya

Posting ini isinya ungkapan syukur saya buat semua hal yang telah terjadi di hidup saya. Saya berharap perjalanan hidup saya masih panjang ke depan, dan di titik ini saat ini saya ingin menengok ke belakang dan mengucap syukur untuk semuanya. Saya tahu kisah saya nggak sehebat banyak orang lain, yang mulai dari titik lebih rendah dari saya, dan mencapai titik yang lebih tinggi dari saya. Kisah ini bukan untuk dibanding-bandingkan, kisah ini hanya sekedar ungkapan syukur.

Sebelumnya mau cerita dulu: beberapa kali ingin membuat posting ini, tapi selalu ragu ketika akan memulai. Agak takut kalau tiba-tiba keadaan berubah dari segala yang indah yang diceritakan di posting ini. Tapi kalau dipikir-pikir, justru itu kenapa posting ini harus ditulis. Kalau tiba-tiba keadaan berubah, saya sudah pernah mengungkapkan syukur untuk apa yang sudah diberikan Tuhan pada saat ini.

Saya lahir di sebuah desa kecil, desa Ngepung, Sukoharjo di tahun 1980. Tempatnya dulu relatif terpencil, belum ada listrik (baru masuk kampung kami sekitar tahun 1988), lantai rumah kakek-nenek tempat kami tinggal masih tanah, dindingnya gedek (anyaman bambu), penerangannya lampu dian. Saya lahir di dapur di tengah malam, dengan bantuan dukun (yang harus dipanggil dari kampung sebelah karena dukun di kampung kami baru saja meninggal). Masa kecil saya sangat sederhana, mainan bekicot, obeng, dan radio rusak. Ada satu hal yang selalu diceritakan ibu saya: dulu nenek saya setiap pagi akan membangunkan saya, mencuci muka saya dengan air kendi, dengan harapan “supaya terbuka matanya, luas wawasannya”.

Sejak umur 6 tahun, saya tinggal di depok, masuk SD negeri, bapak saya karyawan swasta biasa. Saya pun bukan orang istimewa, ketika masuk SD, saya belum bisa bahasa Indonesia (hanya bisa bahasa Jawa), saya baru bisa membaca di umur 7 tahun ketika naik kelas 2 SD. Secara fisik, saya juga termasuk biasa-biasa saja, tidak pernah menang olah raga apapun. Ketika saya kecil Orang tua saya dulunya juga tidak terlalu dekat dengan Tuhan, jarang sekali ke gereja, dan bahkan kadang bertahun-tahun tidak pernah pergi ke gereja. Meski bapak, ibu, dan adik-adik Kristen, tapi keluarga saya yang lain (paman, bibi, kakek, nenek) non-Kristen, jadi pendidikan agama saya sangat minim.
Lanjutkan membaca “Terima kasih Tuhan untuk semuanya”

4 Tahun di Chiang Mai

Bulan ini 4 tahun sudah kami di Chiang Mai. Tahun ke 3 dan ke 4 merupakan tahun di mana banyak teman dan saudara datang berkunjung. Setelah bulan Mei tahun lalu, masih ada Evi, temen saya yang bersengaja transit di bangkok sebelum mudik ke Indonesia lalu belok ke Chiang Mai. Lalu bulan November kami menambah anggota rumah kami yang membuat kami tidak cuma berdua saja. Putra pertama kami yang kami beri nama Jonathan Nugroho. Tahun ini pun sepertinya masih akan ada beberapa tamu yang akan mampir mengunjungi kami, terutama mengunjungi Jonathan.

Setelah 4 tahun di Chiang Mai dengan kemampuan bahasa Thai yang tidak meningkat juga sejak tahun ke 2, akhirnya saya memutuskan untuk belajar bahasa Thai lagi terutama membaca tulisan Thai. Semoga sekali ini lebih terpakai dan tidak terlupakan begitu saja. Belajar membaca tulisan Thai ini juga dilakukan dalam rangka persiapan kalau nantinya Jonathan sekolah di negeri ini. Kami tidak tahu berapa lama lagi kami akan ada di sini, tapi sepertinya kami masih cukup betah tinggal di kota ini.

Cuaca musim panas tahun ini mengingatkan pada cuaca awal kami sampai di sini. Musim panas yang aneh di mana kadang-kadang hujan turun dengan deras dengan tiba-tiba, dan berganti lagi dengan matahari yang menyengat lagi tiba-tiba. Entahlah apakah ini sebuah siklus 4 tahunan, atau cuaca yang memang berubah karena dampak pemanasan global.

Tentang Menyusui

Harusnya yang menulis ini Risna, tapi karena waktu luangnya Risna masih sedikit, jadi saya(Joe) aja yang nulis. Tapi karena akhirnya diedit sama Risna, maka Risna yang posting. Salah satu motivasi penulisan ini adalah melihat sebagian orang yang suka mengucapkan "harus ASI ekslusif ya!" ketika mengucapkan selamat atas kelahiran bayi seseorang. Ucapan semacam itu sering menambah stress ibu-ibu baru, dan malah menambah masalah. Ditambah lagi ada pendapat bahwa "semua ibu pasti bisa memberi ASI yang cukup". Sebelumnya, perlu dicatat bahwa sampai saat ini Risna berhasil memberi ASI kepada Jonathan dengan sangat baik, pertumbuhan Jonathan juga lebih dari rata-rata (lahir 3 kg, dalam 2.5 bulan sekarang sudah 6 kg). Akan tetapi kami ingin menekankan bahwa yang terutama adalah kesehatan ibu dan anak, bukan semata-mata gengsi buat memberi asi atau asi eksklusip.

Saya ingin membahas beberapa hal yang penting:

  1. Kadang proses kelahiran tidak lancar atau bayi memiliki masalah, sehingga perlu segera diberi minum (biasanya susu formula)
  2. Menyusui kadang tidak semudah teori (terutama bagi ibu baru).
  3. Posisi menyusui setiap pasangan ibu dan bayi belum tentu sama, semuanya merupakan proses pembelajaran dari ibu dan bayi.
  4. Ada ibu-ibu yang memang tidak bisa memproduksi susu sama sekali
  5. Ada ibu-ibu yang memang produksi susunya kurang
  6. Ada ibu-ibu yang merasa produksi susunya kurang
  7. Ada ibu-ibu yang salah dalam teknis menyusui yang menyebabkan susunya kurang, padahal seharusnya bisa cukup

 

Lanjutkan membaca “Tentang Menyusui”

Natal 2010 dan Tahun Baru 2011

Tahun 2011 sudah hampir 2 minggu berlalu, tapi rasanya ga sah aja klo ga nulis soal natal dan tahun baru di blog ini (supaya selalu ada catatan soal natal dan tahun baru selama di perantauan).

Natal 2010 ada yang berbeda dari biasanya, tahun ini kami merayakan Natal tidak hanya berdua saja. Ya, pengharapan di awal tahun ternyata terjawab di akhir tahun. Tahun ini ada baby Jonathan melengkapi kebahagiaan Natal, walaupun kami tidak bisa ke gereja karena papa Jonathan kena demam berdarah. Selain baby Jonathan, ompung dari medan (mama saya) juga ada di Chiang mai selama Natal dan tahun baru.

Untungnya, walaupun kami tidak bisa ke gereja pada malam natal, kami sudah mendapat kesempatan ikutan drama Natal tanggal 17 Desember 2010 di gereja yang kami ikuti. Baby Jonathan didaulat berperan sebagai bayi Yesus, otomatis papa dan mamanya jadi yusuf dan maria. Ompungnya juga ga ketinggalan peran dong, jadi bidan yang bantu persalinan (ceritanya dimodifikasi dikit hehe).

Malam tahun baru menjelang 2011 kami tidak merayakan dengan spesial, karena seperti biasa di sini tidak ada kebaktian menjelang tahun baru. Sama seperti tahun sebelumnya kami menikmati pesta kembang api dari balkon kamar saja. Bahkan baby Jonathan ikutan menikmati, sepertinya dia tidak begitu terganggu dengan dentuman suara yang ada.

Seperti biasa, setiap awal tahun selalu punya pengharapan semoga tahun 2011 ini lebih baik dan lebih bisa berkarya lagi buat kita semuanya.

Sebulan Jonathan

Besok Jonathan akan berusia sebulan, artinya sudah sebulan yang lalu saya melahirkan Jonathan dan banyak hal selama sebulan ini yang membuat saya menunda-nunda menuliskan cerita kelahiran Jonathan dan kenapa akhinya diputuskan Caesar. Satu hal yang membuat saya menunda-nunda selain belum menemukan ritme yang menyempatkan duduk dengan tenang di depan komputer adalah pusarnya Jonathan belum puput juga. Hari ini tepatnya tadi pagi akhirnya pusar Jonathan puput juga.

Tanda awal kelahiran

Hari Minggu , 7 November 2010 sekitar jam 7 malam, saya mendapati ada flek. Usia kehamilan saya saat itu masih 39 minggu dan perkiraaan kelahiran seharusnya masih seminggu lagi (tanggal 15 November). Tidak ada rasa mules ataupun kontraksi. Saya dan Joe agak ‘panik’ tapi berusaha tetap tenang. Satu-satunya alasan kami agak kuatir adalah, hasil cek terakhir (seminggu sebelumnya) bayinya belum masuk ke jalan lahir, kami kuatir kalau ketuban pecah dan bayi belum masuk jalan lahir (dimana bayi kami terlilit tali pusar 2 kali) nantinya bayinya akan sulit bernapas karena gaya gravitasi menyebabkan tali pusarnya melilit bayi lebih kencang. Setelah menelpon dokter (yang malam itu bilang akan keluar kota), lalu google kami simpulkan kalau flek itu tidak disertai ketuban pecah. Menurut hasil pencarian ketuban itu sangat sulit pecah, kebanyakan orang (90%) ketuban dipecahkan oleh dokter dan film2 yang menggambarkan tanda awal kelahiran adalah ketuban pecah itu adalah sekedar film yang melebih-lebihkan.

Setelah merasa agak tenang, kami memutuskan tidak usah buru-buru ke rumah sakit malam itu juga. Tapi malam itu saya menyiapkan barang-barang yg masih mau dibawa ke rumah sakit mumpung masih bisa bergerak dengan leluasa (sebagian sudah disiapkan di mobil). Malam harinya ketika bersiap tidur barulah saya mulai merasa mules. Tapi saya pikir mules itu timbul karena perasaan ‘tegang’ menyambut hari esok karena tanda-tanda kelahiran sudah ada. Saya mencoba menghitung jarak kontraksi, masih sangat tidak teratur dan hasilnya malam itu saya tidur sangat sedikit.

Ke Rumah Sakit

Keesokan paginya, Joe dan saya masih maju mundur antara pergi atau tidak ke rumah sakit. Awalnya sempat terpikir Joe tetap kerja saja seperti biasa dan saya di rumah (kebetulan saya memanggil tukang bersih-bersih rumah untuk datang). Akan tetapi ketika saya cerita saya sudah merasa mules, akhirnya kami putuskan untuk mencoba mengecek ke rumah sakit (dan mungkin akan pulang lagi kalau memang belum waktunya). Di luar dugaan, ketika sampai di rumah sakit (sekitar jam 9) dan diperiksa, bayi sudah dalam jalan lahir daaaan saya sudah bukaan 4 (padahal saya masih bisa nyengir dan ketawa-tawa).

Akhirnya Joe ga jadi kerja dan menemani saya di rumah sakit, dokter obgyn yang biasa memeriksa saya datang sekitar jam 10 kurang, daaan dia akan keluar kota sampai jam 5 sore. Sempat agak kuatir klo bayinya ga sabar nunggu dokter, tapi ternyataaa waktu dokternya datang sore hari bukaannya ga nambah sama sekali. Dokter mengajukan alternatif: ketuban di pecah (memulai induksi) atau menunggu besok pagi. Kami memutuskan menunggu besok pagi.

Hari Kelahiran Jonathan

Selama di rumah sakit, setiap jamnya saya diperiksa jarak kontraksi, tensi, suhu tubuh dan detak jantung bayi. Sampai dengan jam 11 pagi, semuanya normal saja, yang mengecewakan kenapa kontraksinya belum teratur juga. Sudah dicoba berbagai cara untuk menambah bukaan, tapi sepertinya gak ada kemajuan. Karena penasaran, saya meminta diperiksa lagi sudah sampai bukaan berapa. Ternyata segala usaha yang dilakukan baru sampe ke bukaan 5 *higs*.

Lanjutkan membaca “Sebulan Jonathan”