Dalam rangka memaksa diri membaca buku. Kemarin ingat lagi buat buka aplikasi ipusnas setelah sekian lama gak dibuka. Setelah melihat-lihat sekian lama dan tidak ada buku yang menarik untuk dibaca, eh tiba-tiba liat buku Dilan ini. Jadi ingat, buku yang sudah difilmkan ini pernah ramai dibicarakan di grup.
Kesan pertama: eh ini buku diceritakan dengan sudut pandang seorang gadis SMA kelas 2 dengan setting tahun 1990 di Bandung. Karena pernah tinggal di Bandung, beberapa tempat yang diceritakan bisa dibayangkan. Tapi karena di Bandungnya bukan masa SMA, jadi gak bisa juga bayangkan kehidupan anak SMA di Bandung seperti apa.
Gaya bahasa di buku Dilan ini terasa aneh buat saya. Karena sudah pernah menonton filmnya sekilas, jadi kebayang sih cara Milea dan Dilan berbicara (walaupun sudah lupa wajah-wajah pemerannya). Waktu menonton Dilan juga saya sebenarnya agak geli dengan gaya bahasanya. Tapi waktu itu saya tonton juga buat sekedar tahu hehehe.
Mungkin karena masa SMA sudah lama berlalu, agak sulit menerima kegombalan Dilan. Kalau saya jadi Milea, dari pertama Dilan datang mendekati dengan motornya, pasti saya udah lari menjauh. Waktu tau Dilan anak geng motor ataupun suka melawan guru, pasti saya bakal lebih gak suka lagi.
Waktu ada cerita ternyata Milea sudah punya pacar di Jakarta, nah ini kok saya makin gak suka dengan Milea. Jelas-jelas Milea ini tipe wanita gak setia (ups banyak yang protes gak ya hahaha). Beni, pacar Milea yang di Jakarta juga sepertinya bukan pemuda yang oke. Tipe cemburu buta tanpa bertanya, dan kata-katanya kasar. Saya setuju Milea putusin tuh Beni. Eh tapi karena Milea tidak pernah ceritakan apa yang bikin dia suka dengan Beni, saya tidak bisa menilai lebih banyak selain yang diceritakan Milea saja. Beni itu digambarkan kasar omongannya. Cowok kasar dibandingkan dengan cowok gombal seperti Dilan, tentu saja anak SMA bakal kesengsem sama yang pintar bermain kata.
Terlepas dari jalan ceritanya, betapa Milea lebih memilih Dilan si anak geng motor dibanding teman sekelasnya yang pintar, atau guru les nya yang anak ITB, cerita Dilan ini menarik karena ditulis oleh pria dengan mengambil sudut pandang wanita anak SMA pula. Sepertinya kisah ini terinspirasi dari kisah nyata. Bisa jadi penulisnya sebenarnya menggambarkan Dilan sebagai dirinya di masa SMA.
Saya tahu buku Dilan ini ada lanjutannya. Tapi saya kurang ingin cari tahu kelanjutan kisah Milea dan Dilan apakah bahagia selamanya atau cuma sampai di situ saja hehehe. Saya malah kepikiran, kira-kira berapa banyak anak SMA yang terinspirasi memberikan hadiah buku teka-teki silang yang sudah diisi ke pacarnya dengan alasan: supaya kamu gak pusing mikirinnya. Atau berapa banyak anak SMA yang malah jadi pengen pacaran dengan anak geng motor karena berharap mereka seperti Dilan?
Buat saya, Dilan itu tetap bukan tokoh ideal. Walaupun kata-katanya gak kasar, tapi dia suka main kekerasan (berantem dengan guru dan sibuk mengatur penyerangan geng motor buktinya). Kalau masih SMA suka kekerasan, gimana nanti besarnya?
Dari keseluruhan cerita itu, yang paling saya suka ibunya Dilan. Saya tapi tetap gak mengerti ibunya Dilan yang diceritakan seorang guru juga, ibu yang baik dan lembut begitu bisa membiarkan anaknya ikut geng motor. Ah namanya juga cerita ya, lebih baik dinikmati saja. Diambil baiknya dan belajar untuk menghindari yang gak baiknya.