Sudah lama saya tidak mendengar kabar bahasa pemrograman Nusa. Ternyata sekarang namanya berubah (lagi) menjadi Nusaptel. Dulu di awal namanya adalah batak, lalu berubah menjadi nusa, dan sekarang menjadi nusaptel.Saya juga tidak tahu kenapa namanya berubah, atau apa arti akhiran ptel itu. Satu hal yang jelas: bahasa ini katanya mulai diajarkan di training/tutorial di berbagai universitas (kalau tidak salah di antaranya adalah ITS, UKSW, dan Amikom). Training diberikan ke dosen, dan bukan ke mahasiswa. Saya pun tidak tahu versi compiler mana yang diberikan di training tersebut, karena menurut rekan yang ikut milis nusa, belum ada compiler baru yang dirilis.
Kegiatan ini rupanya didukung oleh Depkominfo. Bahkan ternyata ada lelang pengadaan library untuk nusaptel senilai 280 juta rupiah. Kalau dilihat dari jadwal di situs Sistem e-Pengadaan Pemerintah, proyek ini seharusnya sudah berjalan.
Saya sendiri masih agak heran dengan dukungan Depkominfo ini. Apakah boleh seseorang membuat produk (dalam hal ini compiler Nusaptel), lalu minta bantuan pemerintah untuk mempromosikan dan bahkan mendanai untuk membuat librarynya? perlu dicatat Nusaptel ini tidak open source, bahkan tidak tersedia gratis secara umum, perancang bahasanya pun terang-terangan menyatakan bahwa bahasa ini nantinya akan komersial. Untuk mendownload compiler nusa saja, kita harus mendaftar jadi anggota milis (perlu mendapat persetujuan moderator dan bisa ditendang keluar jika membuat kritik, seperti yang terjadi pada saya). Sampai saat ini pun belum ada sama sekali paper baik nasional maupun internasional yang ditulis mengenai bahasa Nusa, jadi produk ini merupakan produk proprietary.
Dalam salah satu komunikasi dinyatakan bahwa lambatnya perkembangan bahasa nusa adalah karena tidak tersedianya dana. Jika itu benar, semoga dana yang diterima untuk pengembangan nusa tersebut bisa dimanfaatkan. Seharusnya 280 juta (yg sekarang setara dengan 27 ribu USD) itu cukup, sesuai dengan kutipan dari situs ini:
“Ridho bercerita pernah mencoba menyerahkan pembuatan translator ke pihak peneliti di AS. “Tapi biayanya mahal sekali berkisar US$10.000 – US$ 30.000 tergantung tipe translator yang diinginkan, apakah mau yang sederhana atau sampai yang mendukung GUI (Graphical User Interface-red). Saya tidak punya uang sebanyak itu,” paparnya.”
Kita tunggu saja bagaimana kelanjutan bahasa ini, apakah benar bisa menjadi bahasa yang besar dengan adanya dukungan pemerintah. Atau justru hal ini akan membuktikan bahwa bahasa tersebut belum layak untuk dikembangkan.