Sudah beberapa kali muncul di media massa dan juga media sosial mengenai berbagai nama unik yang ada di Indonesia (misalnya: TUHAN, SETAN, dsb). Saya penasaran dengan berbagai nama yang lain, dan ternyata KPU pernah mengupload data semua orang di Indonesia yang memiliki hak pilih. Sayangnya saya terlambat mendownload data karena pilkada DKI sudah lewat, jadi datanya hanya yang non DKI saja.
Sekarang saya buatkan situs ini untuk eksplorasi berbagai nama yang ada di Indonesia. Kita bisa mencari nama yang diawali, diakhiri, mengandung, atau tepat sama dengan kata tertentu. Kita juga bisa melihat berapa banyak total nama yang ditemukan.
Nama yang di website KPU tidak bersih, misalnya ada karakter “/”, “.” dsb. Untuk memudahkan: saya hapus semua selain A-Z dan spasi. Setelah data dibersihkan ada sekitar 45 juta nama unik yang berhasil saya kumpulkan. Total datanya: 774 Mb.
Ada banyak hal iseng yang bisa dilakukan, misalnya mencari tahu berapa yang nama depannya ASEP (karena ada Paguyuban Asep Dunia). Hasil pencarian bisa dishare langsung URL-nya.
Satu hal yang sangat membuang waktu sebagai programmer adalah: mengupdate software untuk development. Untuk programmer, biasanya ini berkaitan dengan SDK dan IDE yang baru. Biasa kita punya dua pilihan: mengupdate sekarang atau nanti.
Mengupdate sekarang berarti membuang waktu sekarang, dan artinya bisa menunda pekerjaan. Sementara menunda update juga kadang menimbulkan masalah: beberapa hal tidak berjalan lancar, dan kadang jika kita melompati update terlalu banyak, tiba-tiba jumlah masalah jadi meningkat atau bahkan project tidak lagi bisa berjalan.
Kebanyakan IDE hanya akan update jika kita buka. Ini sering mengesalkan buat saya: saya tidak sering memprogram satu topik untuk waktu yang cukup lama. Ketika ingin mulai membuat program: harus update dulu. Kadang hal seperti ini menghilangkan mood untuk membuat program kecil.
Jika ingat, saya akan menjalankan IDE yang saya pakai hanya sekedar untuk mengupdate saja. Nanti kalau saya benar-benar butuh, setidaknya jumlah updatenya tidak terlalu banyak.
Salah satu alasan saya dulu menyukai OS X adalah: ada terminal di mana kita bisa menjalankan berbagai utility command line yang sudah saya kenal bertahun-tahun. Sementara dulu di Windows kita perlu menginstall Cygwin atau MSys agar bisa memakai shell, dan perintah yang adapun sangat terbatas.
Tapi sejak beberapa tahun lalu Microsoft mendukung Windows Subsystem for Linux (WSL) atau kadang dikenal sebagai: bash on Windows. Begitu diumumkan, saya langsung mendaftar agar bisa langsung mencoba fiturnya. Awalnya saya tidak berharap banyak, tapi ternyata implementasinya memang bagus, dan ini sudah jadi sesuatu yang saya pakai setiap hari.
Teknologi yang dipakai WSL adalah menjalankan langsung syscall Linux di Windows. Jadi kita tidak perlu mengkompilasi ulang program kita di Linux, bisa langsung dicopy dan akan jalan di Windows. Tentunya ini hanya bisa jika semua library/dependency dicopy juga ke Windows. Microsoft hanya mendukung WSL ini di sistem 64 bit. Tidak 100% program Linux bisa jalan (apalagi jika mengakses hardware), tapi lebih dari 90% aplikasi yang saya butuhkan bisa jalan di WSL.
Setiap kali butuh perintah yang biasanya hanya ada di Linux (misalnya find), saya langsung mengetik “bash” untuk masuk ke shell bash di direktori saat ini, lalu menjalankan perintahnya. Microsoft tidak menyediakan XServer, tapi kita bisa memakai VcXsrv untuk menjalankan aplikasi X.
Gabungan berbagai program GUI Windows dan keampuhan command line Linux membuat saya jadi betah memakai Windows. Dulunya saya sempat ingin mendalami PowerShell, tapi baru tahu permukaannya saja sudah merasa bahwa bahasanya agak aneh. Sekarang sejak adanya WSL ini, saya jadi lebih jarang lagi memakai powershell.
Di posting ini saya hanya ingin sharing salah satu tips memakai aplikasi Termux di Android. Aplikasi Termux memungkinkan kita menjalankan sebagian aplikasi Linux di Android tanpa root. Saya sendiri punya server yang bisa diakses kapan saja, jadi jarang sekali butuh memakai ini untuk sehari-hari (cukup melakukan koneksi ke server untuk menjalankan sesuatu).
Meskipun tidak banyak saya pakai, saya punya beberapa trik yang ingin saya bagikan terutama terkait dengan Termux Widget. Dengan Widget ini kita bisa melakukan beberapa aksi dengan sekali sentuh dari launcher.
Apache Guacamole adalah clientless remote desktop gateway. Atau mudahnya: jika kita menginstall ini di sebuah gateway (atau di server remote), kita bisa mengakses Windows (via RDP), Linux (via VNC), atau SSH ke manapun dengan menggunakan browser saja.
Saat ini saya masih memakai Mini PC Router yang dibeli sekitar 2 tahun lalu. Mini PC ini cukup powerful untuk menjalankan berbagai aplikasi (memorinya 4 GB, dengan SSD 120 GB) termasuk juga Apache Guacamole yang memakai Java. Meskipun dalam 99% kasus saya lebih suka memakai aplikasi SSH langsung, tapi Guacamole ini sangat berguna ketika butuh akses GUI.
Sebelum memakai Guacamole saya memakai Team Viewer, tapi dulu sempat ada kecurigaan bug di team viewer yang memungkinkan orang masuk ke komputer kita. Selain masalah bug itu, TeamViewer juga kadang error ketika melakukan remote connection ke Linux. Solusi berikutnya yang saya coba adalah SSH + Port forwarding plus remote desktop dan VNC viewer. Hal ini cukup merepotkan, jadi jarang saya lakukan.
Sekarang dengan browser saja saya bisa melakukan koneksi ke rumah via Guacamole ke server Windows dan juga Linux. Untuk Linux saya menggunakan beberapa VNCServer (di satu server) untuk tujuan tertentu. Misalnya ada satu VNCServer untuk pentesting (yang memakai OWASP ZAProxy dengan GUI).
Saya juga memasang guacamole di server dedicated di Eropa. Kadang download sesuatu lebih cepat dilakukan dari server di Eropa. Dalam 90% kasus biasanya download bisa dilakukan di command line, tapi ada website yang melakukan banyak proteksi sehingga sulit dilakukan.
Contoh proteksi downloadnya:
Hanya boleh ada 1 koneksi setiap waktu
Harus memakai Cookie dan Cookienya terikat pada IP tertentu (jadi ketika dicopy paste ke server, jadi tidak valid)
Harus memakai user agent tertentu (jadi jika memakai command line, user agent harus dicopy persis)
Download menggunakan Javascript dan file didekrip di level Javascript
Daripada menghabiskan waktu mengakali, yang saya lakukan adalah:
membuka guacamole
memilih koneksi VNC ke server di Eropa
menjalankan browser di dalam koneksi VNC
mendownload file via browser yang berjalan di cloud
mentransfer file dari server ke rumah
Sepertinya langkah tersebut merepotkan, tapi dalam kasus tertentu bisa menghemat waktu sangat banyak. Kadang download yang butuh 3 jam bisa dilakukan dalam 10 atau 15 menit.
Sejak punya smartphone pertama (Nokia 3650) sekitar 2003, sudah tidak ingat lagi berapa jenis smartphone yang saya pakai. Sebagian reviewnya ditulis di blog ini tapi biasanya secara singkat saja. Supaya ingat, saya akan mencoba membahas benda-benda yang dipakai sekarang ini. Saya sudah membahas iPhone XR dan iPad di posting yang lalu, sekarang saya akan membahas Pocophone F1 (di India namanya Poco F1, untuk global namanya Pocophone F1).
Saya masih memakai Android karena memang lebih nyaman untuk saya, plus kebanyakan pekerjaan pentesting adalah untuk Android. Saya sudah memakai Pocophone F1 ini selama beberapa bulan dan sejauh ini cukup senang. Spesifikasi Pocophone F1 ini cukup bagus, intinya mereka membuat device relatif murah dengan spesifikasi mendekati device high-end. Tabel di bawah ini (meski tidak menyertakan semua ponsel) cukup untuk membandingkan kecepatan/harga Pocophone F1 dibandingkan ponsel lain.
Saya memilih yang RAM-nya 6 GB dan storage 128 GB. Di device sebelumnya saya memilih 64 GB dan saya merasa 64 GB tidak lagi cukup. Storagenya memakai UFS 2.1 yang sangat cepat. Harga ponsel ini relatif mahal dibandingkan banyak ponsel Xiaomi lain (12000 an baht, sementara yang lain sekitar 8000 baht) tapi menurut saya ini worth the price.
Saya memakai dual sim card. SIM card pertama adalah yang saya pakai sejak kali pertama sampai Thailand (sudah terdaftar di mana-mana) dan yang kedua untuk LINE Mobile yang paket datanya cepat tapi murah. Saya tidak pernah menemui masalah signal dengan pemakaian dua SIM card ini, kecuali di daerah terpencil di mana memang tidak ada signal.
Sebagai orang yang suka ngoprek, saya senang karena ponsel Xiaomi semuanya bisa diunlock bootloadernya. Berkali-kali beredar isu bahwa mereka akan menutup fitur ini tapi sampai saat ini semuanya hanya hoax. Seperti tertulis di posting sebelumnya saya menginstall Magisk. Tiap kali upgrade software, saya uninstall Magisk, update lalu reinstall lagi Magisk. Ini memang agar merepotkan, tapi instalasinya hanya beberapa menit saja. Anggap saja seperti sesekali membersihkan meja yang berantakan yang juga butuh beberapa menit).
Sejauh ini yang saya komplain dari Pocophone F1 hanya: tidak ada IR Blaster (tidak bisa jadi remote TV dan AC). Sementara fitur lainnya cukup: ada jack earphone, memakai USB-C dan bisa Quick Charging. Saat ini ponsel ini memakai Android 9.0 dengan MIUI (dan saya tidak keberatan dengan kebanyakan fitur MIUI). Memori 6GB juga cukup untuk semua yang perlu dilakukan sekaligus.
Setelah memakai berbagai ponsel Android dari yang sangat murah (yang paling murah: 400 baht) sampai cukup mahal (dulu Galaxy Note 4 baru, sekitar 30 ribu baht), saya merasa ini cukup di tengah. Ponsel yang lebih murah akan memperlama kerja dan ponsel yang terlalu mahal juga tidak terlalu berbeda dari ponsel menengah.
Salah satu benda elektronik yang paling menyebalkan adalah: printer. Sejak sampai sini kami sudah membeli beberapa jenis printer, baik inkjet maupun laserjet. Semuanya akhirnya sudah rusak: Ada yang feedernya error (tidak bisa menarik kertas), ada yang mengeluarkan asap (ini laser printer), ada yang headnya rusak, dsb.
Membetulkan printer cukup merepotkan (berat membawa-bawa printer), apalagi kalau sudah di luar masa garansi. Plus harga printer baru lebih murah dari ongkos reparasi atau membeli head baru. Bahkan pada kebanyakan printer: harga tinta/tonernya beberapa kali lipat harga printernya.
Kami tidak terlalu sering memakai printer, tapi kalau sedang butuh, perlu mencetak agak banyak. Printer laser sebenarnya cukup enak, tapi entah kenapa selalu rusak setelah masa garansi habis. Printer inkjet lebih ekonomis, tapi masalah dengan printer inkjet adalah: biasanya tintanya menggumpal jika tidak sering dipakai.
Sekarang printer saat ini adalah Canon PIXMA G2000 dengan sistem isi ulang (sistemnya ini resmi dari sana, bukan tambahan). Sudah pernah rusak dua kali tapi masih dalam masa garansi. Kali pertama rusak karena saya menaruh buku yang berat di atas printer sehingga bagian scanner-nya error, dan karena scanner error, printernya nggak mau startup sama sekali. Menurut saya designnya aneh, tapi mungkin supaya orang tidak kecewa karena tidak bisa memakai fitur fotokopinya. Kerusakan kedua: tintanya tidak bisa keluar sama sekali (sudah dicoba deep cleaning).
Karena memakai tinta isi ulang, biaya tintanya cukup ekonomis. Tapi tidak seluruh tinta ini bisa terpakai optimal, karena tetap bisa menggumpal jika lama tidak dipakai dan harus pake nozzle cleaning (yang menghabiskan tinta) supaya bisa muncul lagi warna yang hilang.
Terpikir menulis ini karena pagi ini masalah yang sama saya alami lagi: tinta hitam bisa normal (karena minggu lalu saya sempat memprint banyak paper dalam hitam putih), tapi warnanya tidak muncul dengan benar. Akhirnya harus menghabiskan waktu melakukan prosedur deep cleaning supaya bisa lagi.
Sekarang ini saya berusaha untuk seminimal mungkin memakai kertas, tapi tetap saja ada banyak urusan administrasi yang butuh kertas. Craft anak-anak (seperti mewarnai untuk Joshua) juga butuh kertas (sangat berbeda mewarnai di iPad dengan di kertas).