Menyayangi Anak dengan Merdeka

Topik tantangan menulis KLIP minggu ini adalah “Merdeka dalam Menyayangi Anak”. Awalnya saya pikir, “Emang ada ya, yang tidak merdeka menyayangi anaknya?” Ternyata setelah dipikir-pikir lebih lanjut, ada loh yang tidak merdeka.

Namanya manusia, tidak ada yang cara berpikirnya sama. Selalu ada saja yang tanpa disadari berusaha memberi saran sampai keharusan tentang segala sesuatu termasuk cara menyanyangi anak.

Sejak anak masih di dalam kandungan,  selain banyak yang mengucapkan selamat, akan selalu ada orang menyambung berkomentar begini, “nanti melahirkannya harus usahakan lahiran normal ya, jangan mau Caesar karena bla bla bla …..”

Bahkan, ada saja orang yang bikin penelitian yang bilang kalau anak yang dilahirkan normal bisa ‘lebih’ dibandingkan anak yang dilahirkan Caesar. Padahal, cara lahir itu baru satu tahap pertama anak untuk berada di dunia ini, dan bagaimanapun caranya, orang tua tentu saja memikirkan yang terbaik dan memperhatikan keselamatan anak dan ibunya.

Pembahasan ini bisa panjang kalau saya teruskan, tapi intinya sih, orang tua tentu akan memilih yang terbaik versi mereka untuk anak dan ibunya dalam cara anak datang ke dunia ini. Apapun akhirnya yang jadi pilihan tidak perlu merasa ‘gagal’ hanya karena apa kata orang-orang. Perjalanan masih panjang loh, dan jangan mau dijajah dengan komentar orang yang bikin kita terhalang menyayangi anak kita.

Mungkin akan ada yang berpikir, “masa baru dikomentari cara melahirkan saja sudah bikin merasa gagal, ibu lemah!” Dan kalau ada yang berpikir begitu, menurut saya kemungkinan dia either tidak pernah melahirkan atau tidak pernah belajar ada yang namanya perubahan hormon yang besar ketika seorang wanita melahirkan, dan itu sangat mempengaruhi dengan psikologisnya yang bahasa sekarang bilangnya baperan ataupun sensi.

Lalu setelah anak lahir, akan selalu ada yang berkomentar, “harus inisiasi menyusui dini ya, ” atau “jangan dikasih susu formula, harus usahakan ASI eksklusif, bla bla bla….” Lalu setelah anak berusia cukup untuk makan, masih akan ada orang yang berkomentar tahapan pemberian makanan pengganti asi (mpasi), apa yang boleh dan tidak untuk dimakan. 

Yang berkomentar banyak itu, awalnya mungkin bermaksud baik, dan biasanya berasal dari keluarga dan atau teman-teman yang merasa dekat dan atau lebih berpengalaman. Tapi, tanpa mereka sadari, komentarnya itu seringnya memberi tekanan buat ibu yang masih lelah setelah berjuang melahirkan, dan ketika ASI tidak lancar keluar atau ketika proses menyusui tidak berjalan mulus, bisa membuat seorang ibu yang baru melahirkan malah jadi tambah stress.

Lalu, akan ada fase di mana ibu sedang pusing dengan gerakan tutup mulut dari anak yang tidak mau makan padahal menurut hasil pengecekan ke dokter kurva pertumbuhan anak baik-baik saja. Tapi komentar orang-orang bisa saja membuat orang tua merasa gagal karena tidak bisa melakukan seperti orang-orang lainnya.

Ketika anak umur 3 tahun, bicaranya belum lancar, maka orang-orang akan memberi nasihat ini dan itu. Atau ketika umur 5 tahun belum bisa membaca, siap-siap dengan kata orang tentang makanya kenapa gak dikirim ke PAUD yang tersohor dengan jaminan mutu.

Komentar orang ini tidak akan ada habisnya. Sampai kapan? Entahlah, bahkan sampai anak itu menikah, punya anak lagi, akan selalu ada orang yang berkomentar dengan pilihan-pilihan dalam hidupnya. 

Komentar-komentar yang awalnya maksudnya baik tersebut, tanpa sadar telah membuat seseorang merasa terjajah dan tidak bisa menikmati perannya sebagai orang tua. Komentar-komentar yang rentangnya mulai dari saran sampai keharusan ini sayangnya tidak akan berhenti begitu saja.

Akan selalu ada komentar di sekitar kita sampai kapanpun. Karena setiap orang itu punya cara berpikir masing-masing, maka akan selalu ada pandangan yang berbeda dalam menghadapi situasi yang sama.

Ketika ngobrol-ngobrol di salah satu WAG yang saya ikuti, seorang teman mengatakan: “Hidup kita yang jalanin, orang lain yang komentarin.” Saya setuju sekali dengan kalimat tersebut. Tapi tentu saja akhirnya kembali ke diri kita bagaimana merespon komentar orang.

Saya berprinsip: Hidup saya yang jalani, orang bebas berkomentar, tapi saya tidak wajib mengikuti semua kata orang. Yang terpenting itu, kesepakatan dengan pasangan, dan tentu saja orang tua yang bahagia akan lebih bisa menyayangi anak daripada orang tua yang selalu merasa gagal dan tertekan karena dihakimi dengan apa kata orang.

Ada banyak label mengenai cara pengasuhan anak, atau metode mendidik dan membesarkan anak. Membaca buku mengenai pola pengasuhan baik untuk menambah wawasan, tapi praktiknya kembali dengan keputusan kita masing-masing. Semua buku-buku itu juga menyebutkan kalau anak itu unik dan tidak semua anak akan persis seperti yang di buku.

Mungkin karena saya orangnya tidak terlalu mikirin apa kata orang, saya sering tidak ambil pusing ketika ada yang berkomentar dengan pilihan-pilihan kami dalam mendidik dan membesarkan anak-anak kami. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, ada saja komentar yang sebenarnya bisa saja menjadi halangan bagi kami kalau kami terlalu memikirkan apa kata orang. 

Saya juga mengalami dikomentari soal kenapa begini kenapa begitu. Kenapa tidak kerja padahal sudah sekolah tinggi-tinggi, kenapa tidak kirim anak ke sekolah dan malah homeschool, kenapa kenapa kenapa. Saya tidak wajib menjawab ke semua orang, yang penting saya bahagia dan kembali lagi: hidup saya yang jalani, orang komentar ya silakan saja.

Buat saya, selain tidak merasa wajib mengikuti apa kata orang, bukan berarti saya akan bertindak sesuka hati juga. Selalu ada batasan yang tetap diperlukan dalam setiap kemerdekaan. Kemerdekaan itu selalu seiring dengan tanggung jawab.

Menyayangi anak itu bukan berarti memanjakan dan memberikan semua yang diinginkan anak. Menyayangi anak itu, bisa berarti mendisiplinkan anak dan memberikan tanggung jawab kepada mereka sesuai dengan umurnya.

Sebagai orang tua, kita perlu belajar banyak dalam mempersiapkan anak menjadi anak yang mandiri dan di masa depan, tapi bukan berarti kita menuntut anak harus selalu jadi juara kelas atau juara dalam segala bidang yang dia ikuti. Bukan berarti harus bisa berjalan sebelum 1 tahun, bisa membaca umur 5 tahun, atau bisa main 10 alat musik. Tapi mengajarkan anak untuk berusaha tekun dengan apa yang dia memang kerjakan dan berusaha sebaik mungkin.

Sebagai orang tua kita bebas menyayangi anak, tanpa harus turut dengan kata orang, dan bebas untuk memiliki cara yang berbeda dengan orang lain asal sepakat dengan pasangan kita yang menjadi partner kita dalam mendidik dan membesarkan anak.

Penulis: Risna

https://googleaja.com

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.