My Gadgets

Dulu sejak belajar komputer kali pertama (kelas 2 SMP), aku dah pengen banget punya komputer. Karena dulu masih bukan orang yang mampu, bapak belum bisa beliin komputer. Sekitar kelas 3 SMP, ada suatu peristiwa. Ada seorang pria yang pulang lebih awal dan mendapati istrinya selingkuh, mereka pun segera menjual semua barang mereka saat itu jgua, dibagi dua lalu cerai, termasuk juga sebuah komputer. Bapak yang melihat ada komputer dijual murah, Rp 300 rb, langsung membeli. Komputer itu ternyata adalah Apple II/e. Memorinya cuma 64 kb, dengan disket 5.25″.

Itu komputer pertamaku, dan aku belajar banyak dari situ. Mengingat tidak ada info mengenai Apple II/e, aku ngoprek semuanya sendiri. Misalnya untuk tahu aneka perintah Basic yang spesifik ada di Apple II/e (HGR, PLOT, dll), aku men-dump isi memori dengan PEEK, dan memfilter karakter ASCII yang printable. Aku belajar banyak sekali dari komputer itu, sampai akhirnya rusak dan gak bisa diperbaiki. Sebelum rusak total, yang rusak adalah floppy drivenya. Dan aku masih tetep memakai komputer itu beberapa bulan, memprogram BASIC (dan setiap kali dimatikan, besoknya aku tulis ulang programku, karena gak bisa disave).

That was the old days. Sekarang aku punya banyak device yang bisa dioprek. Nah sekarang aku mau memperlihatkan benda-benda di mejaku dan benda-benda yang dibawa tiap hari, dan apa aja yang aku oprek.
Lanjutkan membaca “My Gadgets”

Tempe

Tempe (atau Tempeh kalo ditulis dalam bahasa Inggris) adalah makanan khas dari pulau Jawa. Di Chiang Mai ini kami makan tempe goreng baru dua kali. Yang pertama waktu beli di Bangkok (salah satu jemaat di gereja ada yang jual tempe), dan yang kedua kali adalah minggu ini waktu Risna berhasil bikin tempe sendiri (dari kedele + laru). Di Chiang Mai ini nggak ada yang jualan tempe, jadi karena malas dan mahal pergi ke Bangkok, Risna memutuskan untuk membuat tempe sendiri. Petunjuk pembuatannya bisa dibaca di blog masakan Risna. Sebenarnya kemarin waktu pulang liburan, Risna sudah berguru ke ibuku mengenai cara membuat tempe, tapi belum sempat dipraktikkan di Indonesia. Nah karena kurang yakin, kami mencari dulu info di Internet mengenai tempe ini.

Ternyata banyak sekali resource di Internet mengenai tempe. Artikel wikipedia mengenai tempe ternyata cukup bagus. Ada perusahaan di belgia yang menjual ragi tempe (tempeh starter kit). Ada beberapa buku berbahasa Inggris (yang tidak dikarang oleh orang Indonesia) yang membahas tempe. Dan bahkan tempe sudah banyak ditemui di Eropa dan Amerika untuk para vegetarian sebagai pengganti daging. Bahkan ada artikel di Motherearth dari tahun 1977 yang membahas mengenai cara membuat tempe.

Selain artikel-artikel berbahasa Inggris, kami juga menemukan sebuah file PDF menarik dari website SMK 1 Nabire mengenai langkah lengkap pembuatan tempe, bahkan juga ragi tempe. Penjelasannya lengkap, dilengkapi gambar dan dasar teori. Contoh teori misalnya: tahukah kamu kalau jamur yang tumbuh di tempe itu berbeda-beda di berbagai wilayah? sehingga rasa tempe pun berbeda meski yang paling terkenal adalah Rhizopus oligosporus. Sekarang saya mengerti kenapa Ibu saya selalu bilang kalau tempe Jakarta dengan tempe Solo rasanya beda (di Solo jamurnya adalah R. oryzae dan R. stolonifer, di Jakarta Mucor javanicus, Trichosporum pullulans dan Fusarium sp.).

Setelah lama nggak makan tempe, sekarang jadi semakin menyadari bahwa tempe itu makanan yang sehat, enak, dan ternyata tempe sudah dihargai di seluruh dunia.

Toilet dan Telepon Genggam

Sebenarnya sudah lama pengen komentar tentang hal ini, tapi baru sekarang sempat menulisnya. Saat ini, hampir semua orang memiliki telepon genggam. Di Chiang Mai sini juga hampir setiap pegawai kantor punya telepon genggam. Setiap kali ke toilet, saya perhatikan hampir selalu ada orang yang “nongkrong” di toilet sambil ngobrol di telepon genggamnya. Kadang-kadang malah ada yang baru saja datang, langsung masuk ke bilik toilet dan langsung ngomong : “halo” (rasanya waktu di Bandung hal ini belum pernah saya jumpai).

Situasi orang bertelepon di toilet ini beda-beda. Ada yang sambil ngobrol masuk bilik toilet. Ada yang menerima telepon ketika sudah di dalam “bilik” toilet dan ada juga yang sengaja masuk toilet untuk teleponan. Well apapun situasinya jadi terpikir begini : kalau dulu di hotel biasanya kita bisa menerima telepon di kamar mandi, kira-kira kalau di bilik toilet dibuat semacam telepon umum dengan koin ataupun kartu, yang bisa digunakan sambil duduk nongkrong, kira-kira bakal laku gak ya?

Saya bukan orang yang suka membawa-bawa telepon genggam ke toilet. Sudah banyak orang yang tidak sengaja mencemplungkan HP nya ke toilet dan saya tidak mau menambah daftar tersebut. Selain itu saya juga bukan orang yang sangat sibuk sampai-sampai sambil nongkrong di toilet saja harus menyempatkan menjawab telepon. Tapi kadang-kadang terpikir juga, duh apa serunya ya nongkrong di toilet untuk ngobrol dengan bumbu aroma yang kurang sedap dan berbagai bunyi yang ga usah saya deskripsikan di sini :P. Terus, kalau orang yang di ujung telepon satunya mendengar bunyi dan bertanya : “kamu lagi di mana sih kok bunyinya aneh-aneh?” , kira – kira bakal di jawab jujur gak yah?

Anyway, untung saja teknologi telepon genggam hanya mengantarkan suara. Apa jadinya kalau mengantarkan bau juga :P. Apakah Anda termasuk golongan orang yang suka bertelepon di toilet?

Sekarang jodoh juga bisa dicari di Google

Hampir semua hal bisa dicari di Google, dan mungkin orang akan bilang ‘cuma jodoh yang nggak bisa dicari di Google’, tapi sekarang udah bisa lho, walau masih terbatas untuk daerah tertentu. Ini beritanya: Google Launches Search-Based Dating Service

Catatan buat yang nggak ngerti: ini cuma berita joke (bisa langsung terlihat dari berita-berita konyol lain di situs tersebut).

Night Myopia

Dengan kaca mataSejak mulai nyetir di Chiang Mai, aku memperhatikan kalau penglihatanku tambah turun kalau malam tiba. Kemarin, diantar Pi Chan, kami ke optometrist, dan setelah dicek, katanya mataku gak apa-apa, cuma minus 0.25, dan tidak perlu pakai kacamata, tapi dia menyarankan agar kami pergi ke dokter mata. Tadi pagi kami pergi ke Dokter mata, dan di sana rame sekali (mungkin karena dokter ini sangat terkenal, lulusan Johns Hopkins Univeristy). Setelah diperiksa, ternyata sepertinya aku menderita Night Myopia.

Aku nggak tau sejak kapan mataku mulai minus 0.25, karena minus 0.25 ini sama sekali nggak mengganggu aktivitas sehari-hari (membaca, nonton subtitle TV dari jarak 5 meter, dll). Di malam hari, di tempat yang pencahayaannya kurang, myopia ini bertambah parah, meski masih bisa lihat segala macam rambu jalan, aku merasa nggak nyaman karena gak bisa lihat aneka tulisan kecil yang biasanya bisa dilihat di siang hari. Akhirnya dokternya menyuruh aku pake kaca mata, dan katanya hanya perlu dipakai waktu nyetir aja (walau di siang hari juga bisa dipake kalo mau).

Sebenarnya ada kemungkinan lain mengapa penglihatan seseorang menurun, yaitu karena masalah retina. Tapi dokternya bilang pemeriksaan retina hanya perlu jika ternyata kacamata tidak membantu. Malam ini kami udah jalan-jalan, dan sepertinya penglihatanku jauh lebih baik dengan kacamata ini.

Belajar

blank book Aku inget banget, aku baru mulai bisa membaca di umur hampir 7 tahun (sebelum naik kelas 2 SD). Dibanding anak-anak lain aku termasuk telat belajar membaca. Aku inget waktu pertama kali mendapat pencerahan tentang membaca. Waktu itu pas di hari pemilu tahun 1987, kami berangkat untuk mencoblos (aku diajak, karena nggak ada orang di rumah). Waktu itu aku tiba-tiba mengerti bagaimana caranya membaca, sepanjang perjalanan aku bertanya ke Mas Yatno (salah satu saudaraku), “mas, kalo B sama A jadi BA ya?” dst. Sekedar informasi, aku baru kenal dengan bahasa Indonesia waktu umur 6 tahun, sebelumnya cuma bisa bahasa Jawa.

Sejak itu aku selalu membaca apa saja. Di kelas 5 SD aku dah bisa ranking 1. Saking inginnya bisa membaca segala macam hal, aku juga belajar membaca cepat. Aku inget waktu kelas 3 SMP, Ibu membelikan buku “Pengenalan Komputer” karangan Jogiyanto, bukunya kira-kira 1000 halaman tebalnya, dan bisa kuselesaikan dalam 2 hari. Kalo aku bener-bener suka sesuatu, aku akan berusaha membaca dengan sungguh-sungguh, misalnya waktu masih tingkat 1 di ITB, aku dah selesai baca buku Tannenbaum (Operating System) sebelum semester pelajaran OS dimulai.

Tapi rajin membaca bukan berarti aku langsung mengerti segala macam hal. Ada beberapa titik pencerahan dalam hidupku, misalnya aku baru ngerti bener tentang integral dan diferensial di kelas 2 SMA, tentang fisika mekanika di kelas 3 SMA. Aku juga kadang nggak ngerti, gimana ya caranya dulu aku bisa lulus semua itu, tanpa pengertian yang jelas.

Lanjutkan membaca “Belajar”

Nonton Film di Chiang Mai

filmSemalam adalah kali pertama kami nonton film di Chiang Mai. Kami nonton di Central Aiport Plaza, di salah satu cabang dari Major Cineplex. Film yang ditonton adalah Pirates of the Caribbean: At World’s End. Harga tiketnya 120 bath per orang (sekitar 30 ribu rupiah), ini mahal dibandingkan Bandung yang tiketnya 15 rupiah di hari biasa.

Berbeda dengan di Bandung (tepatnya BIP), di sini masuk bioskop harus tepat waktu (karena penonton film sebelumnya belum keluar), sedangkan di BIP, kalau tepat waktu bisa telat nonton filmnya (karena sering film diputar 10-15 menit sebelum jam yang tercantum di tiket). Setelah masuk, kami masih disuguhi trailer film-film yang akan datang, dan juga iklan-iklan selama 30 menit. Setelah itu lagu kebangsaan diputar, dan semua orang harus berdiri.
Lanjutkan membaca “Nonton Film di Chiang Mai”