Selamat Natal 2009 dan Tahun Baru 2010

Seperti halnya tahun lalu, tahun ini kami melewati Natal dan pergantian tahun baru 2010 di Chiang Mai Thailand. Tidak ada kegiatan yang khusus, hanya menantikan sajian kembang api yang sebentar lagi pasti bisa dinikmati dari balkon. Romantis ga tuh duduk berdua di balkon menatap pergantian tahun sambil menikmati homemade cookies.

Setahun berlalu sudah, tahun 2009 merupakan tahun yang penuh dengan pelajaran hidup. Banyak hal yang terjadi yang mungkin tidak sempat dituangkan ke dalam blog ini.

Buat saya pribadi, walau banyak yang bilang 1 tahun itu tidak terasa dan cepat berlalunya, tapi tahun 2009 terasa banget. Hobi aja bisa nambah 2, di awal tahun saya mulai belajar jahit dan di akhir tahun mulai menjajal baking  (Natal tahun ini ga perlu beli kue lagi deh). Yang jelas, airmata cukup banyak tertumpah di tahun 2009 dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya.

Well..mengutip apa yang ditemukan Joe hari ini dari Abraham Lincoln): “And in the end, it’s not the years in your life that count. It’s the life in your years.”

Oke, selamat datang 2010. Semoga pengharapan dan kegembiraan tetap hadir ditengah apapun yang terjadi dalam kehidupan ini. Dan semoga semakin banyak bisa menghasilkan karya-karya yang berarti dalam tahun-tahun kehidupan yang di anugerahkan Tuhan pada kita.

Hobi Elektronik

Sejak kemarin saya baca-baca lagi isi blog ini yang sudah dimulai sejak 2004, dan ternyata sepertinya banyak hal dalam hidup ini yang tidak dituliskan. Nah supaya nggak lupa, sekarang mau nulis soal hobi baru: elektronik, atau tepatnya lagi elektronik digital. Dari dulu sebenarnya saya ingin belajar elektronika tapi nggak pernah dapet pelajarannya waktu SD, SMP ataupun SMU, jadi dasar elektronika yang saya punya cuma dari kuliah Fisika. Di ITB, dulu di Teknik Informatika tidak diajarkan sama sekali dasar elektronika (nggak tau ya sekarang setelah bergabung dengan elektro menjadi STEI).

Awal dari keinginan belajar elektronika lagi adalah karena kemalasan. Kami tinggal di sebuah apartemen yang kuno (fasilitas perusahaan, bukan milik sendiri). Sebenarnya isi apartemennya sangat bagus, kecuali AC yang harus dikendalikan langsung dari thermostat, tidak bisa via remote. Membeli thermostat yang lebih modern harganya cukup mahal (di Internet sekitar 1 juta rupiah), dan mungkin tidak kompatibel dengan AC yang sudah ada. Jadi saya ingin bisa mengendalikan remote tersebut dengan memodifikasi thermostat yang sudah ada. Saya hanya ingin bisa menyalakan/mematikan AC dari tempat tidur (tidak perlu bisa mengatur suhu).

Dengan berbekal kit dari buku berbahasa Thai, awal bulan lalu saya mulai belajar elektronika. Karena saya belum bisa baca bahasa Thai (paling cuma mengerti beberapa kata saja), saya belajar dengan melihat diagram, foto, dan source code. Kit dari buku itu menggunakan microcontroller PIC16F627A, dengan beberapa komponen (transistor, resistor, kapasitor, motor, LED, LDR, thermistor, potensiometer) dan disertai dengan programmer (disebut juga downloader/flasher) dengan serial port. Sebuah breadboard kecil juga disertakan, jadi saya tidak perlu menyolder ketika mulai belajar (breadboard adalah papan kecil dimana kita bisa menancapkan/melepaskan komponen dengan mudah).
Lanjutkan membaca “Hobi Elektronik”

Mereka yang suka protes

Inti posting ini sebenarnya ingin “mencela” orang-orang yang suka “mencela”. Konteks utamanya adalah dalam hal orang yang suka mempertanyakan: kenapa si Risna belajar crochet, menjahit, dsb? Kebanyakan waktu luang ya? Ngapain jauh-jauh di luar negeri kalo cuma belajar menjahit? Jadi ilmu kuliahmu S1 dan S2 ITB gak kau pake? Lalu berikutnya: kenapa belajar menjahit yang ini? kenapa gak belajar jahitan/model baju thai? kenapa gak belajar keahlian yg lain aja?

Waktu saya berkenalan dengan Risna, sampai dengan menikah, Risna belum bisa menjahit, bisa sedikit crochet, tidak bisa masak, tidak bisa nyetir mobil ataupun motor, belum bisa berbahasa Thai, dan kemampuan bahasa Inggrisnya terbatas. Tiga bulan setelah menikah, kami pindah ke Thailand, karena pekerjaan saya. Sekarang kami sudah lebih dari 2 tahun di sini. Saya bekerja full time, sedangkan Risna bekerja 4 hari seminggu (tiap harinya full time). Satu hari dia gunakan untuk aneka kegiatan di luar pekerjaan.

Jadi selama 4 hari, Risna menggunakan ilmu yang dipelajarinya bertahun-tahun di bangku S1 dan S2 ITB. Karena lebih sering pamer soal hobbynya, sebagian orang menyangka Risna tidak bekerja. Kalau Risna tidak pernah ‘ngember’ dengan status facebook mengenai pekerjaan, rapat, dsb, itu karena kami pikir hal-hal pekerjaan tidak pantas untuk ditaruh di media pertemanan (kecuali mungkin ada hal-hal khusus yang tidak menyangkut pekerjaan, misalnya tentang H1N1 di sekitar gedung kantor). Berapa banyak sih orang di sekitar Anda yang pekerjaannya sesuai dengan jenjang kuliah yang diambilnya? Alasan lain Risna suka memamerkan pekerjaannya adalah karena dia sendiri bangga, dan merasa “wah ternyata aku bisa bikin ini ya”.

Ketika sampai di Thailand, Risna tidak langsung mulai bekerja. Dia belajar bahasa Thai, dan karena dia harus pergi sendiri, dia belajar menyetir. Sekarang Saya dan Risna sudah memiliki SIM Thailand. Ketika les Thai, Risna berkenalan dengan beberapa orang, termasuk yang mengajarinya untuk knitting. Dari awal knitting itu, Risna bisa mengembangkan diri, karyanya sudah banyak (silakan lihat di risna.info). Apakah bahasa Thai dan belajar merajut tidak berguna? Risna mempraktikkan bahasa Thai ke siapa saja, termasuk ke tukang pijat. Dia bahkan belajar rajutan khas Thailand dari tukang pijat di depan apartemen, yang akhirnya diajarkan ke banyak orang asing di mailing list (lihat ini, sudah pernahkan Anda bisa mengupload suatu keahlian yang belum pernah dicantumkan di Internet?).

Berada di negeri orang artinya jauh dari masakan yang biasa kita makan. Sekarang Risna sudah bisa memasak aneka macam masakan kesukaan saya (bahkan bisa membuat Tempe dari kedelai, membuat empek-empek dari tepung, membuat tape ketan, martabak, dsb). Ini semua dilakukan tanpa pembantu lho. Dia sudah mengembangkan aneka macam cara untuk meminimasi waktu yang diperlukan supaya bisa memasak sepulang kerja. Misalnya: memotong sayuran di weekend, dan memasukkan ke freezer, serta menggunakan food processor dengan optimal.

Awal tahun ini dia belajar menjahit, dan sekarang dia sudah bisa menjahit beberapa baju, celana, dsb. Perlu dicatat bahwa pelajaran diberikan dalam bahasa Thai, bukan dalam bahasa Inggris. Dari kemampuannya menjahit, ketika membeli pakaian, sekarang dia mampu menilai apakah suatu pakaian bagus atau tidak (baik dari segi bahan, jahitan, dsb). Sekarang ini yang dijahit Risna masih merupakan baju yang umum, tapi mungkin suatu saat Risna juga akan mempelajari baju khas yang ada di sini.

Apakah Risna terlalu banyak waktu luang? jawabannya: tidak. Risna bekerja serius setiap hari, melakukan testing program untuk sebuah perusahaan di Eropa, dan melakukan dokumentasi sistem (dalam bahasa Inggris). Apakah berarti Risna tidak pernah santai? jawabannya juga tidak. Dia merajut sambil menonton TV. Dia sempat menyelesaikan seluruh episode Ally McBeal sambil merajut beberapa karya. Kami masih mengikuti lebih dari 7 serial televisi. Kami masih pergi ke bioskop setiap kali ada film bagus.

Buat Anda yang suka memprotes orang: ngapain sih belajar menjahit/merajut/dsb? kebanyakan waktu luang ya? dsb. Cobalah tanya ke diri Anda sendiri: Anda ngapain aja? apakah Anda yang tidak terlalu banyak nonton sinetron atau bergosip? (padalah itu bisa sambil merajut). Saya menanyakan ini, karena kebanyakan orang yang bisa mengatur waktunya (dan punya hoby sama/sejenis dengan Risna), tidak pernah memprotes dan mempertanyakan hobby orang lain. Karena orang-orang ini tahu bahwa hobby akan membuat hidup semakin menyenangkan, menambah pengetahuan, dan bisa dilakukan asalkan kita bisa mengatur waktu kita.

Tambahan: Risna tidak langsung bekerja ketika sampai Thailand, dan andaikan nanti Risna tidak bekerja lagi pun, saya tetap mendukungnya. Segala ilmu yang telah dipelajari di bangku kuliah selama bertahun-tahun sudah pernah digunakan dalam berbagai pekerjaan yang pernah dia lakukan (jadi engineer, dosen, dsb), dan akan tetap bisa diamalkan secara tidak formal dalam aneka bidang kehidupan. Dalam keluarga Kristen, beban bekerja adalah kewajiban seorang suami, kepala keluarga. Jika Risna ingin bekerja, itu pilihannya.

Dua Tahun di Chiang Mai

Bulan ini genap 2 tahun hidup di Chiang Mai. Rasanya semakin betah saja tinggal di sini walaupun keadaan politik negeri ini kurang stabil. Bulan April yang lalu kami pulang ke Bandung setelah 2 tahun meninggalkan kota Bandung. Setelah melihat keadaan Bandung yang cukup semrawut, kok ya rasanya kota Chiang Mai jauh lebih nyaman buat ditinggali ya. Walaupun beberapa bulan terakhir ini ada polusi udara dan juga hawa yang sangat panas, tapi rasanya masih sedikit lebih baik daripada polusi asap rokok dan kenderaan bermotor yang ada di Bandung, belum lagi cuacanya yang berubah tak menentu ketika kami berkunjung.

Lanjutkan membaca “Dua Tahun di Chiang Mai”

Perjalanan Hari 2: Grand Palace

Hari ini karena masih lelah, semua bangun siang. Anehnya kantin yang dekat tempat penginapan belum menyediakan sarapan. Supaya cepat, Risna meminta izin pemilik kantin untuk menghangatkan bebek goreng yang dibawa dari Indonesia. Ternyata pemiliknya mengizinkan, dan akhirnya kami sarapan bebek goreng plus tempe dari Indonesia.

Tadinya kami berencana pergi ke pasar terapung damnoen saduak, tapi karena sudah sangat telat (kami pergi jam 9, padahal harusnya jam 5 pagi), maka kami pergi ke pasar yang lain di tepi sungai. Di situ kami naik kapal di sungai, pulang balik sekitar 75 menit. Di sungai ada ikan yang bisa diberi makan dengan roti (yang bisa dibeli di kapal seharga 10 baht per roti).

Setelah itu kami pergi ke  Grand Palace. Biaya masuk ke Grand Palace adalah 350 baht per orang. Grand palace sangat luas, sehingga kami sudah lelah baru mengunjungi beberapa tempat saja. Meski belum mengunjungi semuanya, kami merasa sudah cukup, dan kemudian kembali ke penginapan. Sebelumnya kami makan dulu di salah satu restoran pinggir jalan yang kami temui.

Perjalanan Hari 1: Chiang Mai – Bangkok

Hari ini adalah awal perjalanan liburan kami. Rencananya adalah: berangkat pagi-pagi ke bangkok, mencari hotel, lalu menjemput orang tua serta adik kami. Pagi ini kami berangkat jam 6.45, melewati jalanan yang lancar. Menurut kami suasana di jalan nggak berbeda jauh dari Indonesia. Kalau tiba-tiba di jalan kami di teleport ke Indonesia, sepertinya kami tidak akan menyadarinya.

Kami berhenti 4 kali, pertama cuma untuk pipis, kedua untuk makan siang di nakornsawan, ketiga untuk mengisi bensin, dan keempat untuk pipis lagi. Makan siang kami cukup murah, masing-masing hanya 40 baht (nasi + 3 jenis lauk/sayur).

Sampai di bangkok kami harus mencari hotel. Hotel pertama yang ditemui ternyata cukup mahal, 1200 baht/malam. Hotel kedua yangditemui lebih baik, hanya 500 baht per malam. Kamarnya bersih, dengan AC, kulkas, dan tv kabel. Untuk hotel kecil, sistem keamanannya cukup canggih, pintu utama menggunakan rfid, ada kamera di setiap hallway, ada access point (tapi hanya untuk yang menyewa bulanan), dan terlihat dari hardware-hardware di tempat registrasi, orang yang menyetup tempat ini sepertinya cukup hebat.

Sekarang kami sedang beristirahat, menunggu jam 7 malam. Kami akan menjemput keluarga di airport suvarnabhumi. Untuk akses internet, kami menggunakan GPRS unlimited dari True Move, yang dalam masa promosi (250 baht/bulan atau sekitar 75 ribu rupiah).

Foto-foto dalam perjalanan sementara ini akan diupload ke plurk saja dalam resolusi rendah, karena koneksi EDGE kurang memadai untuk upload foto resolusi tinggi.

Plurk Joe: http://plurk.com/tinyhack

Plurk Risna: http://plurk.com/rhin

Sakura Thailand

Sejak sebelum tahun baru 2009 di kantor Joe udah heboh soal bunga di Doi Pui. Semua orang bilang: wajib lihat! bla bla bla. Heboh banget ya mo lihat bunga doang. Emang bunga apaan sih. Setelah sibuk pindahan, sempet malas dan hilang keinginan untuk pergi, apalagi setelah dapat informasi tambahan bahwa untuk melihat bunga itu jalannya kecil dan ga bisa dilalui dengan mobil sedan dan dengan kemampuan kami nyetir sih udah hampir ga ada harapan deh ke sana.

Kalau bukan karena Shari menelpon soal komputernya yang rusak kami tidak akan ketemu dengan khun Manu yang merupakan supir andalan Shari. Keinginan jalan-jalan yang sudah setengah terbang akhirnya datang lagi. Tiba-tiba terpikir buat bertanya ke Khun Manu apakah bersedia mengantarkan dan dia bersedia.

Lanjutkan membaca “Sakura Thailand”