Jauh di Mata, Dekat di Hati

Pertama kali saya merantau jauh dari orang tua dan keluarga itu ketika saya diterima kuliah di Bandung. Saya butuh waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan baru dan teman-teman baru. Masa itu akses internet belum seperti sekarang yang tersedia dalam genggaman setiap orang. Ponsel pun masih belum seperti sekarang yang menjadi hal yang sepertinya bawaan wajib setiap orang.

Nasib Perantau Masa Kuliah

Setiap hari Jumat, beberapa teman yang berasal dari Jakarta terlihat sangat antusias untuk pulang ke rumahnya. Mereka bilang, kangen sama keluarga, kalau ga sama keluarga ya janjian sama teman SMA. Pulang itu hal yang mudah buat mereka, tinggal pilih mau naik bis atau kereta api, atau ada juga yang punya mobil pribadi gantian nyetir dengan teman-teman ke Jakarta.

Pulang itu suatu kemewahan buat saya. Pilihan untuk pulang dari Bandung itu harus naik kereta api atau bis dulu ke Jakarta, lalu naik pesawat dari Jakarta ke Medan. Bisa juga naik kapal laut dari Jakarta, tapi tentunya akan memakan waktu lebih lama lagi tiba di Medan.

Perjalanan dari Bandung ke Medan membutuhkan waktu kurang lebih setengah hari. Waktu itu belum seperti sekarang ada rute pesawat terbang dari Bandung langsung ke Medan. Berangkat subuh dari Bandung, terkadang tibanya malam sampai di rumah Medan.

Perjalanan dari Bandung ke bandara Soekarno Hatta waktu itu paling cepat 3 jam, menunggu pesawat datang sampai benar-benar duduk di pesawat bisa 2 atau 3 jam. Penerbangan Jakarta – Medan sekitar 2,5 jam, lalu proses turun dari pesawat ambil bagasi dan sebagainya bisa memakan waktu 30 menit lagi. Kalau di total perjalanan dari Bandung sampai Medan butuh 10 jam.

Nasib Perantau Setelah Menikah

Awal kami tinggal di Chiang Ma, perjalanan pulang ke Indonesia masih sangat sedikit pilihannya. Paling cepat perjalanan dari rumah di Chiang Mai sampai ke rumah tujuan di Depok atau Medan itu membutuhkan waktu 12 jam. Terkadang kami malah harus menginap dulu di Kuala Lumpur atau Singapura sebelum melanjutkan perjalanan berikutnya.

Menjadi perantau selama puluhan tahun, akhirnya mengajarkan saya untuk tidak cengeng dengan alasan rindu. Pulang itu mahal, jadi saya tidak pernah menuruti perasaan ‘homesick’ dan berkata ke diri sendiri walau mereka jauh di mata, toh dekat di hati.

Pilihan untuk membayar kerinduan waktu itu hanya melalui surat atau pergi ke warung telepon untuk ngobrol sebentar dengan orangtua. Kenapa sebentar? ya kalau lama-lama mahal, kalau mau murah teleponnya harus di atas jam 11 malam, tapi kan tidak baik kalau keluyuran tengah malam sendirian. Lagipula, kalau ngobrolnya lama akhirnya bayarnya mahal. Ngobrol sambil melihat angka-angka yang harus dibayar bergerak naik itu rasanya jadi tidak fokus.

Saya ingat, waktu itu menelepon dengan sambungan jarak jauh hanya saya lakukan untuk menelepon orang tua saya. Untuk komunikasi dengan teman-teman saya gunakan surat biasa. Menulis surat bisa berlembar-lembar, sampai pegal rasanya menuliskannya. Waktu balasannya datang, saya sudah lupa, waktu itu nanya apa aja ya, hehehe.

Itu semua usaha yang dilakukan dahulu, untuk tetap terhubung dengan teman dan keluarga yang jauh di mata supaya tetap dekat di hati. Saat ini, dengan adanya koneksi internet dan ponsel pintar, komunikasi itu ada dalam genggaman. Kapan saja di mana saja, bisa kirim pesan teks ataupun telepon suara, bahkan bisa dengan saling melihat wajah melalui panggilan video.

Nasib Perantau di Masa Pandemi

Lalu pandemi terjadi. Pulang bukan lagi suatu pilihan. Semua disarankan di rumah saja untuk mengurangi penyebaran infeksi. Mulai dari masa Songkran di Thailand, sampai masa Idul Fitri di seluruh dunia, pandemi menghalangi orang bertemu dan berkumpul melepas rindu.

Beberapa keluarga terpisah berbulan-bulan, termasuk di masa yang biasanya dijadikan masa berkumpul dengan keluarga ini. Penerbangan internasional yang ditutup menyebabkan semua orang seperti terjebak di negara manapun dia berada pada saat pandemi terjadi.

Lalu sekarang ini, panggilan video menjadi seperti pengganti dari pertemuan langsung. Tapi tentu saja rasanya tak sama. Memang bisa saja kita bilang jauh di mata dekat di hati, tapi sesungguhnya akan lebih baik lagi kalau bisa dekat di mata makin nempel di hati.

Mudik itu Mahal, Jendral!

Saat ini, sudah 6 bulan sejak pertama kali Thailand menutup penerbangan Internasional. Beberapa keluarga akhirnya bisa berkumpul kembali, tapi tentunya dengan segudang syarat yang membaca daftarnya saja bikin sakit kepala.

Pulang ke Indonesia, butuh syarat test bebas Covid, harganya untuk orang asing di sini rata-rata di atas 3000 baht. Saat ini sepertinya masuk Indonesia tidak ada kewajiban karantina kalau sudah mengantongi surat bukti tidak terpapar Covid-19, tapi siapa yang tahu peraturannya kapan berganti?

Kembali ke Thailand, lebih sulit lagi. Selain syarat memiliki surat bukti tidak terpapar Covid-19 yang dilakukan dalam jarak waktu 72 jam sebelum terbang, setiap orang juga wajib memiliki asuransi dengan nilai pertanggungan 100.000 USD, lalu semuanya itu harus diusulkan ke kedutaan Thailand untuk mendapatkan surat certificate of entry (COE), yang mana COE ini diberikan spesifik untuk tanggal tertentu. Jika ada delay dari pihak penerbangan, akhirnya tidak jadi terbang deh.

Persyaratan masuk ke Thailand, update 1 Juli 2020

Buat urusan tiket, test swab dan urusan asuransi saja entah berapa biayanya. Tapi itu semua tidak cukup, ada lagi biaya karantina wajib ketika memasuki Thailand yang mana paling murah harganya 32.000 Baht, alias kurang lebih 15 juta per orang.

Total untuk kami sekeluarga kalau nekat pulang ke Indonesia dan kembali lagi ke Thailand kayaknya bisa bikin rusak kalkulator saya menghitungnya. Kalaupun ada uangnya untuk membayar semuanya, kok rasanya seperti buang-buang duit. Saat ini, terjadi resesi di mana-mana, saatnya mengatur keuangan dengan sebaik-baiknya, sampai pandemi berlalu dan ekonomi pulih kembali.

Kadang-kadang terpikir, mungkin lebih “murah” kalau mama saya saja yang diminta datang ke Chiang Mai, apalagi mulai 1 Oktober akan ada Visa Turis Khusus yang bisa untuk jangka panjang (90 hari, dan bisa diperpanjang 2 kali, total 9 bulan). Tapi, dipikir-pikir lagi, manalah mama saya betah berlama-lama di negeri yang dia tidak bisa bahasanya.

Penutup

Saat ini, saya bersyukur kalau saya sudah terlatih untuk tidak cengeng dengan perasaan rindu rumah. Beruntung dengan adanya teknologi internet di ponsel, telepon video menjadi sesuatu yang mudah dilakukan oleh hampir semua orang. Saya bisa melihat wajah mama saya ketika ngobrol menggunakan ponsel. Dan saat ini harus merasa cukup dengan kondisi ini.

Bertahun-tahun jadi perantau, saat ini merupakan saat terberat karena tidak adanya kepastian kapan semua kembali normal. Tidak tahu apakah masih akan bertemu dengan keluarga yang jauh di mata, tapi selalu dekat di hati.

Penulis: Risna

https://googleaja.com

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.