Sebulan Joshua

Sebulan pertama dengan newborn merupakan masa penyesuaian baik untuk saya dan juga baby. Walaupun Joshua anak ke-2 dan seharusnya saya sudah punya pengalaman ngurus Jonathan tapi ternyata perjalanan ngurus anak pertama atau kedua masing-masing punya cerita sendiri. Sebelum lupa ada baiknya saya tuliskan proses kelahiran Joshua sampai sebulan hari ini. Puji Tuhan mama saya bisa datang ke Chiangmai untuk support saya selama sebulan pertama ini.

Masa hamil
Kehamilan Joshua ini hampir sama dengan masa hamil Jonathan, bahkan tanpa saya sadari berat badan pas awal hamil juga sama persis dengan pas hamil Jonathan. Total kenaikan berat badan juga hampir sama malah cenderung lebih lambat naiknya di 6 bulan pertama, 3 bulan terakhir naik lebih banyak sehingga akhirnya total kenaikan sama juga dengan kehamilan pertama yaitu sekitar 15 kg.

Trimester pertama berjalan mulus tanpa ngidam atau mual muntah kecuali pagi pas sikat gigi beberapa kali jadi muntah kalau terburu-buru untuk persiapan berangkat antar jonathan ke sekolah. Kalau kehamilan pertama saya ga nyetir sama sekali selama hamil, kehamilan kedua saya masih nyetir sampai seminggu sebelum melahirkan (minggu 38).

Secara umum kehamilan kali ini ga bisa terlalu manja juga soalnya mau ga mau ya tetap harus urus Jonathan, kerja (dapat kesempatan part-time lagi beberapa bulan sebelum hamil) dan sebulan terakhir sempat ambil kelas baca tulis Thai lagi. Bedanya di kehamilan Joshua, di Trimester terakhir tangan kiri mulai mengalami kesemutan yang masih terasa sampai sekarang sampai sebulan pasca melahirkan.

Selama masa kehamilan, Jonathan bertingkah manis menantikan adiknya. Dia mau membantu membuatkan susu untuk mamanya, dan ketika perut mamanya sudah semakin besar, dia sering kiss-kiss baby.

IMG_3138_resized
Lanjutkan membaca “Sebulan Joshua”

Bahagia

Seperti biasa: kadang mau menuliskan kisah bahagia, tapi takut dua hal: pertama kadang takut kalo kebahagiaan yang diceritakan tidak bertahan lama, dan yang kedua: kebahagiaan yang diceritakan akan membuat orang lain iri. Tapi selalu ingat dua hal juga: justru harus dituliskan/diceritakan biar kita ingat kebahagian yang pernah diberikan pada kita (andaikan keadaan berubah), dan tidak perlu khawatir pikiran orang (jangan cuma berbagi kesedihan dan hal yang gak baik yang kita terima).

Semalam sebelum tidur, saya bermain Cut the Rope 2 bersama Jonathan menggunakan tablet Android di tempat tidur. Wajahnya kelihatan sangat bahagia waktu bermain bersama saya, terutama ketika berhasil menyelesaikan sebuah level. Kadang-kadang kami hampir berhasil menyelesaikan sebuah level, dan di langkah terakhir gagal, dan dia akan tertawa-tawa, penuh dengan ekspresi lucu. Jonathan sangat ekspresif, kadang-kadang berdiri atau lompat atau berpegangan pada saya kalo ada hal-hal yang seru di film atau game.

Jonathan juga sudah mulai berebutan memainkan tabletnya, tapi caranya masih halus, tidak kasar dan tidak dengan tangisan. Rasanya semalam saya merasakan lagi bahagia seperti anak kecil yang bermain dengan saudaranya. Andaikan semalam adalah malam Sabtu, mungkin kami akan bermain sampe malam.

Kami sangat beruntung karena Jonathan anak yang tidak rewel, tidak tantrum, dan sejauh ini dia tidak mudah kecewa. Misalnya saya gagal mendapatkan tiga bintang setelah beberapa kali mencoba, dia yang bilang “its ok papa, yuk coba yang lain”. Saya merasa sangat bahagia dan beruntung bisa bermain dengan Jonathan beberapa jam tiap hari (dan full di weekend, kecuali jika saya ada kerjaan ekstra).

Katanya akan datang nanti usia di mana anak-anak mulai melawan, atau mulai menjauh dari orang tua, tapi saat itu masih lama, dan semoga tidak terjadi, untuk saat ini kami sangat menikmati waktu-waktu bersama Jonathan. Sekarang adalah usianya di mana dia sangat memperhatikan dunia sekitar dan suka berinteraksi dengan kami. Misalnya ketika Risna akan membeli dua batere untuk mainannya (buku dengan musik), Jonathan langsung mengingatkan: mama, mainannya baterenya ada tiga.

Tablet dan anak-anak

Sebenarnya tulisan ini serupa dengan tulisan yang dulu mengenai: TV dan Tablet untuk anak-anak, tapi isinya sedikit berbeda terutama setelah baru pulang dari Indonesia dan melihat bagaimana orang tua lain memakai tabletnya.

Banyak orang sangat khawatir dengan televisi untuk anak-anak. Beberapa kekhawatiran banyak orang adalah: televisi membuat anak jadi pasif, program di televisi tidak mendidik, banyak iklan yang tidak bagus untuk anak-anak. Meski tahu efek buruk televisi, banyak orang membiarkan anak-anaknya di depan televisi supaya diam, daripada mengganggu orang tua.

Di sini kami jarang sekali melihat acara siaran televisi, dan ketika kami pulang, kami bisa melihat bahwa itu benar. Acara di televisi kebanyakan untuk dewasa, dengan bahasa dan kelakuan yang tidak baik untuk ditiru anak-anak. Acara televisi untuk anak-anak sangat penuh iklan: ketika melihat Doraemon, sekitar 10 menit film diikuti 10 menit iklan, ada beberapa belas iklan, hampir semuanya produk makanan untuk anak-anak (yang kurang sehat).

Tapi sekarang ada kekhawatiran baru dari para orang tua: tablet. Tablet bisa berfungsi seperti televisi (memutar film), dan juga bisa untuk bermain game. Dalam pembahasan ini, tablet atau smartphone akan saya sebut saja sebagai “tablet” (karena fungsi “telepon” biasanya tidak akan dipakai). Saat ini di Indonesia dan Thailand saya lihat hampir di semua tempat anak-anak memegang/memandangi/bermain tablet.

Tablet ini bisa lebih baik dan lebih buruk dari televisi. Televisi akan ditinggal ketika pergi keluar rumah, sedangkan tablet dibawa ke mana-mana. Dengan televisi: anak pasif di rumah di depan TV, tapi setidaknya di luar rumah masih harus melakukan aktivitas fisik.

Jika kita mendownloadkan film untuk anak-anak di tablet (atau membeli filmnya), maka akan bebas dari iklan dan filmnya bisa dipilih yang mendidik. Tapi sebagian orang tua membiarkan anak-anak membuka Youtube sendiri, sehingga bisa berkelana ke berbagai video yang tidak baik (atau membuka iklan yang tidak pantas).

Ada ratusan ribu game dan aplikasi yang bisa didownload/beli untuk anak-anak. Sebagian game yang gratis penuh iklan (yang sering tidak sengaja akan terklik). Sebagian game sama sekali tidak mendidik dan membuat anak kecanduan main. Tapi jika orang tua mau mencari tahu, ada juga ribuan aplikasi dan game yang bagus dan mendidik. Banyak game dibuat oleh tim ahli dalam edukasi atau oleh orang-orang yang tahu benar kebutuhan seorang anak.

Meskipun televisi bisa berdampak buruk, tapi tidak selalu demikian. Orang tua saya dulu tahu membatasi saya, dan saya sadar acara apa yang bagus dan tidak bagus untuk ditonton. Saya belajar bahasa Inggris dari Sesame Street (dan itu cukup untuk saya, saya tidak pernah ikut kursus bahasa Inggris). Saya belajar banyak hal dari acara-acara edukasi di TPI.

Sekarang dalam urusan tablet, orang tua harus lebih aktif: mencari tahu aplikasi apa saja yang bagus untuk anak-anak (bagian “Top” di appstore hanya berisi aplikasi populer umum), lalu mencoba memainkan berbagai permainan (supaya tahu apakah ada konten yang tidak sesuai). Orang tua juga perlu menyeleksi tontonan anak, dan perlu tahu cara membatasi pemakaian tablet (perlu mengerti berbagai restriksi yang bisa diterapkan di setting tablet).

Orang tua juga perlu tanggap dalam melihat interaksi anak dengan tabletnya. Sebagian anak (seperti Jonathan) menirukan banyak kata di tablet ketika mendengarkan (“awesome”, “excellent”, “try again”), sebagian anak malah menjadi pasif. Sebagian interaksi dalam game perlu diajarkan. Contohnya ketika main game kereta api dari Lego, Jonathan bingung ketika harus menggambar path kereta. Beberapa anak ketika bingung akan berpindah ke game lain sehingga tidak belajar. Setiap kali kami melihat dia kesulitan di bagian itu, maka kami bantu berkali-kali sampai akhirnya dia mengerti apa yang harus dilakukan.

Jika digunakan dengan baik, tablet punya banyak sisi positif, tapi semua itu tergantung pada orang tua. Kami juga sangat setuju kalau terlalu banyak waktu di depan tablet kurang bagus, karena bagaimanapun juga aktivitas fisik yang dilakukan sangat minim.

Sebagai tambahan: saat ini kami jadi sering main Nintendo Wii lagi sebagai alternatif menonton film dan bermain tablet untuk Jonathan. Meskipun ini game elektronik, tapi “memaksa” kita untuk berdiri dan bergerak (menyeimbangkan diri, berlari, dsb) ketika bermain.

There is no knowledge that is not power

There is no knowledge that is not power adalah kutipan dari Ralph Waldo Emerson, tapi saya mengenal kutipan itu dari memainkan game Mortal Kombat 3 (dan waktu itu saya tidak tahu siapa yang mengatakannya).

Ada banyak yang bertanya waktu di sekolah: kenapa sih saya perlu belajar ini? kapan saya akan butuh menggunakan kalkulus dalam kehidupan sehari-hari? Kenapa saya perlu tahu pemberontakan APRA? (Angkatan Perang Ratu Adil) di pelajaran sejarah, kenapa saya perlu belajar geografi, akuntasi, dsb?

Beberapa orang memang tidak perlu ilmu-ilmu tersebut, dan tidak akan pernah menggunakannya. Saya sendiri sering kaget karena ilmu yang saya pelajari dulu ternyata berguna, dan kadang menyesal kurang memperhatikan beberapa pelajaran yang dulu saya ambil.

Karena bidang saya adalah komputer, dunia matematika masih sangat dekat dengan pekerjaan saya sehari-hari. Saya bekerja di perusahaan yang memakai bahasa Inggris, jadi pelajaran bahasa Inggris sangat berguna bagi saya. Di kota ini saya pernah diminta menerjemahkan teks bahasa Inggris ke bahasa Indonesia, jadi bahkan pelajaran bahasa Indonesia masih terpakai sampai di sini.

Saya pernah bercakap-cakap dengan professor yang bercerita tentang kehidupan ibunya di perang dunia pertama. Dia menanyakan apakah saya tahu latar belakang perang dunia pertama pada saya. Beberapa saat sebelumnya saya membaca artikel di Cracked.com mengenai Franz Ferdinand yang kebetulan terbunuh dan memulai perang dunia pertama. Biasanya ketika membaca artikel semacam itu, saya confirm ke wikipedia, jadi saya tahu mengenai perang dunia pertama.

Lanjutkan membaca “There is no knowledge that is not power”

TV dan Tablet untuk anak-anak

Sudah ada cukup banyak riset yang menyatakan bahwa terlalu banyak TV tidak baik untuk anak-anak, apalagi bayi di bawah usia dua tahun. Misalnya
artikel ini menuliskan berbagai macam kejelekan televisi:

Those studies have found that children don’t really understand what’s happening on a screen until they’re about 2 years old. Once they do, media can be good for them, but until then television is essentially a mesmerizing, glowing box.

Ada juga studi lain yang menunjukkan bahwa: bukan menonton TV yang membuat anak-anak menjadi “bodoh”. Tapi faktor edukasi dan finansial orang tua yang lebih berpengaruh.

In her initial analysis, Schmidt found that babies who spent more time in front of the TV performed worse on language and motor-skill tests at age 3 than those who watched less. But once Schmidt and her team controlled for other factors ” the mother’s educational status and household income” the relationship between TV-viewing and cognitive development disappeared. That means that TV-viewing alone did not appear to influence babies’ brain development; a parent’s education and finances mattered more. “Initially it looked like TV-viewing was associated with cognitive development,” says Schmidt, “but in fact TV-viewing is an outgrowth of other characteristics of the home environment that lead to lower test scores.”

Sayangnya riset tersebut kurang memperhatikan faktor ini: apakah karena pendidikan orang tua lebih baik, maka mereka jadi lebih menghabiskan waktu bersama anaknya? misalnya menjelaskan apa yang terjadi di televisi (dibandingkan orang tua yang pendidikannya kurang). Masalah ekonomi juga kurang dijelaskan. Apakah karena masalah ekonomi, maka orang tua harus bekerja ekstra dan membiarkan anak di depan televisi supaya diam, ataukah ada faktor lain.

Sebagai orang tua, kami memiliki pendapat seperti ini: tidak apa-apa anak menonton video di layar televisi, asalkan ditemani dan tontonannya dipilih. Jonathan sampai saat ini tidak suka melihat film tv (dia tidak peduli jika saya atau Risna menonton film di TV). Jonathan suka banyak video musik. Dulu sempat menonton barney, tapi sekarang tidak suka lagi. Sampai sekarang Jonathan masih tidak suka film animasi.

Jika kami tinggal di Indonesia, tentunya kami tidak akan memberikan tontonan sinetron atau acara-acara lain yang tidak baik. Sudah ada riset juga yang menyatakan bahwa apa yang ditonton berpengaruh terhadap perkembangan anak. Acara yang buruk akan berpengaruh buruk (misalnya acara kekerasan), sedangkan acara yang baik (program edukasi) berpengaruh baik. Dari pengalaman saya pribadi: saya dulu belajar bahasa Inggris dari Sesame Street, dan jadi suka matematika karena acara Mathnet. Lebih banyak materi mengenai sejarah dunia yang bisa saya ingat dari menonton serial TV Voyager!.

Sekarang ini, tablet sudah umum dipakai anak di rumah yang memiliki tablet. Menurut artikel ini:

According to some research out today from Nielsen in the U.S., in households that own a tablet, seven out of 10 children under the age of 12 use them.

Dibandingkan televisi: tablet bukan benda pasif, butuh interaksi (menyentuk objek), aplikasinya bisa dipilih, dan tablet juga lebih mudah disembunyikan. Risna sudah menemukan banyak sekali permainan edukasi untuk Jonathan. Kadang Jonathan belajar sesuatu lebih dulu di tablet di banding di dunia nyata. Misalnya dia sering kesulitan dengan puzzle, tapi setelah mahir bermain puzzle di iPad, dia tiba-tiba mau mencoba lagi puzzle fisik dan bisa.

Sampai sekarang ini Jonathan memakai tabletnya untuk:

  1. Menonton video musik, dan video rekaman dirinya sendiri
  2. Main game educational (sebagian daftarnya bisa dilihat di: situs Jonathan)
  3. Video call (dengan papa di tempat kerja atau anggota keluarga lain di Indonesia)
  4. Main game non educational (Angry birds dan Cut The Rope)

Sejauh ini Jonathan selalu menskip semua aplikasi yang tidak dia suka. Jika misalnya tidak sengaja salah sentuh (dan membuka website pembuat aplikasinya), Jonathan akan menutup browsernya dan kembali ke game/aplikasi tersebut.

Apakah tablet itu sangat membantu untuk pendidikan anak sehingga orang perlu membeli tablet? Menurut saya sih tidak sepenting itu. Saya sendiri tidak dibesarkan dengan televisi apalagi tablet, punya televisi setelah usia 8 tahun. Tapi jika punya tablet: bisa dicoba mencari berbagai aplikasi yang berguna untuk pendidikan anak. Saya rasa tablet lebih baik dibanding televisi. Dan jika Anda tetap memilih televisi: pilihkan acara yang baik. DVD film anak akan lebih baik dibandingkan dengan sinetron.

Khusus untuk acara televisi: kadang acara televisinya bagus, tapi iklan-iklannya kurang bagus. Apalagi nanti kalau sang anak sudah mengerti apa yang diiklankan, jadi ingin punya benda yang diiklankan. Jadi untuk amannya sebaiknya menonton selalu ditemani.

Ibu bekerja vs Ibu rumah tangga

Sebagian orang mempertanyakan, kenapa Risna tidak bekerja? padahal kan pendidikannya tinggi (S1 dan S2 keduanya Informatika ITB). Banyak yang menyayangkan kenapa tidak dipakai ilmunya dan menjadi Ibu rumah tangga saja. Kalau menurut kami sih, keputusan kami sudah tepat.

Menurut saya, kalau seorang Ibu memiliki pekerjaan yang amat sangat bagus, berhubungan dengan menyelamatkan hidup banyak orang (misalnya jadi ahli bedah), atau sangat penting bagi sebuah perusahaan (misalnya jadi CEO). Sehingga bisa menghasilkan uang yang sangat banyak sehingga bisa menyewa orang-orang terbaik untuk membantu mengasuh anak, maka tidak apa-apa Ibu itu bekerja. Tapi jika selisih gaji seorang Ibu setelah dipotong dengan ongkos, dipotong gaji pembantu, dsb hanya bersisa sedikit, Menurut saya sebaiknya seorang Ibu mendidik anaknya saja di rumah. Akan saya jelaskan lebih lanjut kenapa saya berpandangan seperti ini.

Kalo menurut kami: di dunia ini, apa sih harta kekayaan yang lebih dari anak? Jika kita sudah susah belajar sampai berpendidikan tinggi, apakah akan rela jika anak kita diasuh dan dibesarkan oleh orang yang pendidikkannya sangat rendah? (misalnya banyak pembantu di Jakarta yang dibayar 500 rb/bulan yang hanya lulusan SD). Rasanya percuma membaca semua jenis buku mengenai membesarkan anak jika tidak bisa kita praktikkan langsung dan pembantu yang lebih banyak praktik. Misalnya saya mendapat forward tentang jangan menggunakan kata-kata “bayi” seperti “nenen” tapi gunakan kata dewasa (“minum”). Jika 80% waktu anak bangun adalah bersama pembantu, apakah pembantu bisa mengerti hal-hal seperti itu?

Jika pembantunya cukup pintar untuk bisa mengerti, apakah pembantunya tidak akan pindah jika orang sebelah menawarkan gaji 50 ribu lebih banyak? Intinya apakah pekerjaan yang dilakukan pembantu itu bisa segenap hati seperti Ibu pada anaknya?
Lanjutkan membaca “Ibu bekerja vs Ibu rumah tangga”

Tantangan masa depan

Saya merasa beruntung, waktu saya lahir, dunia Personal Computer baru dimulai, dan saya bisa mengejar ilmu teknologi komputer hingga saat ini. Menurut saya, generasi masa depan tantangannya lebih besar, karena perkembangan teknologi yang begitu pesat. Dari sejak kecil dulu, saya melihat film yang menggambarkan masa depan. Kebanyakan yang ada di berbagai film belum menjadi kenyataan, tapi banyak hal-hal lain yang tidak terbayangkan yang kini mulai datang.

Masa depan sudah datang

Semua orang pasti sudah mendengar mengenai “information age” atau “digital age”. Masa itu sudah datang, tapi masih banyak yang belum menyadari. Mungkin karena istilah ini sudah dimunculkan sejak bertahun-tahun yang lalu, dan belum langsung terlihat. Misalnya sejak bertahun-tahun yang lalu orang-orang menyatakan bahwa masa depan adalah online, buku cetak akan mati, tapi orang-orang masih melihat bahwa ada banyak buku cetak di sekitar kita. Mungkin belum banyak yang tahu: sekarang ini Amazon sudah menjual lebih banyak buku digital daripada buku cetak.

Memang tidak semua teknologi masa depan datang secara langsung ke semua tempat, tapi teknologi masa depan datang bertahap, biasanya dimulai dari negara maju. Sebagian teknologi sudah sampai ke seluruh dunia, sebagian lagi masih menunggu harga menjadi murah. Sekarang perubahan teknologi sangat cepat, dan hal-hal yang harus dipelajari semakin banyak. Sebagian besar pekerjaan sekarang BISA digantikan mesin, meski banyak yang masih dilakukan manusia, karena masih lebih murah, atau lebih baik.

Bersaing dengan mesin

Tantangan yang dihadapi oleh orang-orang di masa depan ada banyak. Pertama adalah persaingan dengan mesin. Para pekerja kasar akan bersaing dengan robot. Memang saat ini robot masih sangat terbatas di rumah tangga (misalnya roomba untuk membersihkan lantai), tapi di industri mulai banyak digunakan. Selama pekerja kasar masih lebih murah dari robot, para pekerja kasar masih akan dipakai, tapi masa depannya kurang bagus. Bahkan menjadi sopir pun berisiko diambil alih mesin, Google sudah menguji coba mobil yang bisa menyetir sendiri.

Bos saya yang datang dari Eropa selalu kagum melihat betapa banyaknya orang yang dibutuhkan untuk membangun rumah atau gedung di sini, atau untuk membersihkan jalan. Di negara asalnya (Belanda), semua pekerjaan tersebut hanya butuh beberapa orang saja, dalam banyak kasus, hanya satu atau dua saja. Semua proses dibantu oleh mesin, sehingga tidak butuh banyak orang. Pekerjaan kuli masih akan ada, hanya jika mereka tidak menuntut gaji terlalu banyak (lebih ekonomis dibandingkan menggunakan mesin). Seperti yang telah saya sebutkan bahwa sekarang semuanya sudah global: jika membayar kuli pabrik di suatu tempat sudah terlalu mahal, mungkin lebih murah membangun atau memindahkan pabrik ke negara lain yang biaya tenaga kerjanya lebih murah.

Lanjutkan membaca “Tantangan masa depan”