Wisata di Chiang Mai

Kadang-kadang, ada teman bertanya kalau mau ke Chiang Mai ada apa yang menarik untuk dikunjungi? Seperti biasa, begitu kita tinggal agak lama di suatu kota, kita udah nggak memikirkan lagi tempat wisata, karena semuanya itu ya bukan tempat wisata buat kita. Tapi kalau diganti pertanyaanya, misalnya suatu hari kami ga tingal di Chiang Mai lagi, kira-kira apa yang akan kami kunjungi kalau ke Chiang Mai? Tulisan ini juga buat jadi referensi kalau ada lagi yang nanya ke kami hehehe.

Jawabannya tergantung berapa lama rencana mengunjungi Chiang Mai, terus apakah kami datang tanpa anak atau dengan anak-anak. Kalau datang dengan anak-anak, tentunya yang dikunjungi tempat yang menarik untuk anak-anak juga. Tempat yang biasa mereka kunjungi sejak kecil. Beberapa yang bisa di list adalah:

  • Dalam kota Chiang Mai
  • kota sekitar Chiang Mai

Dalam kota Chiang Mai

Untuk dalam kota Chiang Mai, yang paling mudah tentunya Suan Buak Haad Park (nama di Google: Nong Buak Hard Public Park) di old city, mall, Night Safari Chiang Mai.

Nong Buak Hard Public Park

Di park bisa kasih makan ikan dan pigeon, main-main di playground atau sekedar berlari-lari mengelilingi taman sambil mencoba beberapa alat olahraga yang ada. Kalau sudah capai bermain, nongkrong di coffee shop yang ada di park minum kopi dan nyemil hehe. Kalau lapar, bisa beli ayam bakar plus nasi ketan di pintu keluar park, atau kalau mau paket hemat ya bawa makanan dari luar dan tinggal sewa tikar aja piknik dan buat dessert bisa beli eskrim/es puter versi sini. Jonathan senang makan es krim pake ketan terus ditaburin kacang. Di sini sepertinya apa saja bisa dicampur dengan ketan hehehe.

Memberi makan burung di park

Jalan-jalan di park

Central Airport Plaza Chiang Mai

Tujuan berikutnya ya tentunya mall. Dari beberapa mall yang ada di sini, Airport Plaza (CentralPlaza Chiang Mai Airport) merupakan mall yang paling sering kami kunjungi. Selain karena sekarang ini Jonathan ikut kelas Taekwondo di sana, mall ini adalah mall terdekat dari rumah (sekitar 5 menit kalau ga kena lampu merah).

Di mall biasanya kami akan makan berbagai pilihan makanan Thai di food court atau restoran makanan Jepang OISHI (ini restoran milik orang Thailand), naik kereta api gratis, Joshua bisa main di soft area gratis dan mungkin kalau anak-anak sudah cukup besar bisa diajak nonton di bioskop :-).

Mainan gratis di mall
Food court

Royal Flora Ratchapreuk dan Night Safari

Selain park di old city, kami juga sekarang ini sering mengunjungi Royal Flora Ratchapreuk dan Night Safari. Mudah-mudahan kalaupun nanti datang jadi turis, saya masih bisa dapetin harga lokal (asal ga lupa aja bahasanya).

Untuk harga turis, harga Night Safari tergolong mahal, dan rugi rasanya kalau datang cuma sebentar. Saat ini rate yang dikenakan untuk turis itu sekitar 800 baht dewasa (harus cek lagi buat tau harga anak-anak). Sementara itu kalau kami dapat harga lokal seperti orang Thai, dewasa itu harganya ga lebih dari 250 baht. Saat ini kami masih bisa mendaftar jadi member, harga member 500 baht untuk selama 6 bulan dan bebas masuk setiap hari juga boleh kalau mau.

Di night safari ada banyak kegiatan yang kalau diikuti semua butuh waktu 5 jam di sana. Kita bisa jalan keliling di walking zone sekitar 1 jam, makan, kalau ada waktu ekstra naik tram keliling 1 jam, menonton beberapa tarian dan animal shows (tiger show 30 menit dan night predator show 30 menit).

Diantara waktu tunggu show dan jadwal tram anak-anak bisa main di Playground. Karena cukup sering ke sana, kadang kami datang cuma untuk jalan keliling walking zone, main di playground dan makan saja.

Ratchapreuk
Ratchapreuk

Kami juga menjadi member untuk Royal Flora Ratchepreuk 400 baht per tahun. Kalau bukan member, sebagai orang Thai harus bayar 100 baht per datang, dan sebagai orang asing harus bayar 200 baht per orang (anak-anak biasanya harganya lebih murah).

Di taman bunga ini selain bisa main pokemon (kami masih main pokemon), ada playground juga buat anak-anak main dan bisa untuk melemaskan kaki keliling park hehe.

Hidden Village

Hidden Village

Salah satu tempat yang mungkin akan dikunjungi jika punya waktu ekstra di Chiang mai adalah Hidden Village. Tempat ini relatif baru, dan karena ga ada membership kami ga bisa terlalu sering ke sana.

Di hidden village ini tiket masuk 100 baht/orang dan 50 baht untuk anak-anak. Di dalamnya ada restoran, playground, petting zoo dan animatronik Dinosaurus. Dengan bayar ekstra 20 – 40 baht ada lagi mainan seperti bouncy house dan softplay area di dalamnya.

Zoo, Aquarium dan Poo Poo Paper Park

Selain night safari, kami juga pergi ke zoo. Chiang Mai zoo cukup besar dan butuh seharian juga mengeksplornya termasuk bagian aquarium dan menonton animal show yang ada.

Kami juga sudah dua kali ke Poo Poo Paper park, tapi sudah dituliskan di posting yang ini. Sedikit tentang Chiang Mai Zoo pernah dituliskan di sini dan nanti mengenai Chiang Mai Night Safari dan royal flora Ratchepreuk akan ditulis di posting terpisah.

Luar kota (butuh drive lebih dari 30 menit)

Karena kami gak biasa nyetir jauh-jauh, maka perjalanan lebih dari 30 menit itu tergolong luar kota buat kami hehehe. Kami jarang pergi ke luar kota, jadi ya ga bisa kasih banyak saran juga untuk keluar kota. Tapi ada beberapa tempat yang sesekali kami kunjungi kalau lagi bosan dengan yang dalam kota.

Horizon Village

Horizon Village

Dulu kami sering sekali ke Horizon Village. Tempat ini butuh drive sekitar 30 – 40 menit dari rumah. Biasanya butuh waktu seharian kalau ke sana. Di sana ada pilihan untuk makan buffet di hari Sabtu dan Minggu, bersepeda dan atau keliling taman.

Taman di sini lebih rindang dibandingkan Ratchepreuk. Di taman horizon village ini juga ada mini zoo dan bisa kasih makan ikan atau burung unta. Dulu sebelum Jonathan 3 tahun, kami bisa ke tempat ini sebulan sekali, tapi belakangan karena Jonathan banyak kegiatan di hari weekend, kami jadi makin jarang ke sana (selain tempatnya juga makin mahal haha).

Hotspring Sankamphaeng

Hot spring

Tempat wisata yang menarik juga untuk dikunjungi dan ga jauh dari Chiang Mai itu Hotspring San Kampheng. Butuh nyetir sekitar 45 menit – 1 jam dari kota. Kami baru beberapa kali ke sana, sebenarnya seru juga rendaman air panas, atau bisa juga makan telur rebus yang di rendam di air belerang. Kalau misalnya datang pas musim panas, ya kayaknya ga disarankan.

Tempat ini menyenangkan dikunjungi di musim dingin tentunya. Tak jauh dari tempat ini ada cave yang katanya sih cukup menarik untuk dikunjungi, tapi kami belum kunjungi karena ga mau ambil resiko ngejar-ngejar Joshua dalam gelap hahaha. Kalau mau menginap, di sana juga ada pondokan yang bisa di sewa atau area untuk camping, tapi kami belum coba sampai sekarang.

Doi Suthep

Doi Suthep

Gimana dengan Doi Suthep? Hmm walaupun ada yang bilang belum sah sampai ke Chiang Mai kalau belum ke Doi Suthep, tapi rasanya ga ada yang istimewa dengan Doi Suthep, setidaknya buat kami begitu.

Kami pertama kali ke sana setelah beberapa tahun di Chiang Mai. Total selama 11 tahun di kota ini , kami baru 2 kali ke sana (bahkan kami lebih sering ke Doi Inthanon daripada Doi Suthep). Kenapa Doi Inthanon? Ya di Doi Inthanon itu udaranya lebih adem, dan juga naturenya lebih indah.

Butuh waktu 1 jam nyetir menanjak ke Doi Suthep. Di sana bisa melihat ke arah kota Chiang Mai dan foto-foto doang hehehe. Kalau ke doi Suthep, biasanya akan mampir juga ke Doi Pui, di sana bisa melihat kehidupan masyarakat tradisional dan ada taman bunga nya yang juga cukup indah.

Di bulan Januari, di dekat Doi Suthep bisa melihat hutan yang penuh dengan bunga sakura. Tapi karena jalannya ke sana sempit dan bunga sakura cuma mekar dalam waktu 2 minggu saja, biasanya weekend jalanan ke sana akan macet, dan yaaa setelah pernah sekali ke sana, kami belum ke sana lagi hehehee.

Doi Inthanon

Doi Inthanon

Doi Inthanon. Titik tertinggi di Thailand

Doi Inthanon, butuh sekitar 2 jam perjalanan (1 jam perjalanan menanjak). Kami suka ke sana karna udaranya adem. Pemandangannya juga jauh lebih indah dibanding Doi Suthep.

Ada banyak pilihan di Doi Inthanon ini, untuk yang suka trekking juga ada beberapa pilihan jalur trekking di sana (tapi kami belum pernah). Selain ada temple, taman bunga, di sana juga ada air terjun. Kalau ke Doi Inthanon, butuh waktu seharian untuk bisa mengeksplore/menikmati alam di sana.

Queen Sirikit Botanical Garden

Queen Sirikit Botanic Garden

Buat pecinta tanaman dan nature, sekitar 1 jam naik mobil dari Chiang Mai juga ada taman bunga Queen Sirikit Botanic Garden. Kami baru sekali ke sana dan udah beberapa tahun lalu, jadi ga bisa kasih banyak update selain di tempat itu luas dan banyak jenis tanaman dan bunga yang indah.

Sekarang ini di sana ada canopy sky walk yang cukup panjang. Waktu kami ke sana canopy sky walk ini belum ada, mungkin ini bisa jadi alasan untuk ke sana lagi.

Golden Triangle

Kalau punya waktu ekstra, bisa juga ke Golden triangle. Tempat ini merupakan perbatasan antara Thailand, Myanmar dan Laos. Butuh perjalanan sekitar 3 jam dari Chiang mai. Di perjalanan menuju lokasi bisa berhenti di hotspring. Kami baru sekali ke sana ikutan tour sebelum ada Joshua.

Sebenarnya pengen lagi ke sana ajak Joshua, tapi dipikir-pikir temple yang menjadi tempat wisata di sana kurang cocok untuk dilihat oleh anak-anak. Untuk yang tidak bawa anak dan suka melihat arsitektur temple yang unik, tempat ini bisa jadi pilihan dan sekalian siapa tau pengen dapat cap mengunjungi negara Laos dan Myanmar sekalian.

Penutup

Ada beberapa tempat sekitar sini yang belum juga kami eksplore. Entah apakah kami akan eksplore suatu saat setelah kami ga di sini lagi atau entahlah. Kami belum pernah ke Doi Angkhan, padahal katanya tempat ini cukup dekat dari Chiang Mai dan indah, tapi sejauh ini belum tertarik untuk ke sana. Mungkin kalau sudah ga di Chiang Mai baru deh pengen ke sana dan ke mari jadi turis hehehe. Beberapa tempat yang jadi tujuan wisata juga waterfall. Tapi karena saya selau bayangkan air terjun sipiso-piso, saya ga pernah senang dengan waterfall di sini hehhe.

Jadi kembali ke pertanyaan: kalau ke Chiang Mai, sebaiknya ke mana dong? Kalau ga punya banyak waktu mending wisata memperhatikan kehidupan orang lokal. Pergi massage, wisata kuliner dengan harga lokal, pergi ke pasar tradisional biar ditanya: where are you come from, dan ketika kita jawab Indonesia mereka akan bilang ooh Filipin atau Malay sambil bilang same nunjuk ke wajah mereka yang artinya: wajah kita sama mirip orang Thai. Kalau punya waktu banyak, ya bisa deh mengunjungi semua tempat yang disebutkan di atas.

So, dari tulisan ini, kira-kira kalian bakal tertarik ga datang ke Chiang Mai jadi turis? Kalau kata saya, jangan jadi turis deh, rugi. Mending tinggal aja di sini, hidup nyaman pasti betah deh (kecuali buat yang sangat strict dengan makanan harus label halal, ini bisa jadi hidupnya berasa repot). Tapi walaupun demikian, banyak juga kok restoran halal di Chiang Mai. Buktinya beberapa teman orang Indonesia di Chiang Mai yang muslim juga bisa betah berlama-lama tinggal menetap di Chiang Mai.

Di posting lain akan dibahas mengenai event-event khusus di Chiang Mai (festival bunga, Songkran dsb), supaya tahu kalau mau datang sebaiknya bulan apa.

Memulai Homeschooling

Setelah memutuskan mau homeschooling, kami gak langsung terjun bebas. Homeschooling ini menuntut orangtua untuk belajar lagi, karena kami gak punya pengalaman mengajar anak kecil. Belajar seluk beluk dunia homeschooling terutama memutuskan mau seperti apa style homeschooling kami.

Mulai dari mana?

Kami mulai dengan banyak mencari informasi yang terkait dengan homeschooling dari berbagai sumber, diantaranya:

  • bertanya ke teman-teman yang sudah lebih dulu menghomeschool anaknya
  • cari informasi di internet
  • gabung dengan komunitas homeschooler online dan offline

Sebagai orangtua harus rajin mencari berbagai hal yang sesuai dengan kondisi keluarga dan gaya belajar anak. Orangtua juga harus memiliki komitmen untuk memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak. Setelah mendapatkan informasi yang dibutuhkan, sebagai orangtua harus menentukan/memutuskan mau seperti apa homeschoolingnya.

Saya akui saya pusing dengan berbagai istilah yang ditemukan mengenai homeschool. Ada banyak sekali metode dan pendekatan untuk melakukan homeschooling, ada yang melakukannya secara tradisional seperti memindahkan sekolah ke rumah (jam sekolah tertentu dan jadwal hari sekolah dan libur yang sudah ditentukan di awal tahun ajaran), ada yang memilih untuk membebaskan anak dari beban kurikulum dan hanya mengajarkan apa yang menjadi minat anaknya (unschooling), ada yang ikut kelas online bayar maupun gratis, ada yang mempelajari secara mendalam topik tertentu dengan unit studies. Ada yang mengikuti metode Charlotte Mason, Classical Conversation atau Montessori. Dan banyak istilah lainnya yang selanjutnya bisa di baca di wikipedia mengenai homeschooling.

Lanjutkan membaca “Memulai Homeschooling”

Mengajak Jonathan Membaca

Sejak bisa membaca, Jonathan senang membaca berbagai buku. Buku yang dia paling senang model buku Usborne yang ada lift the flapnya. Berikutnya dia mulai suka membaca komik. Kami berusaha mengenalkan dia untuk membaca buku tanpa gambar (chapter book), awalnya dia bilang kurang suka dan ceritanya ga menarik.

Bulan Januari 2018, saya berusaha melatih Jonathan untuk membaca buku setiap hari 1 selama 10 menit, saya ikuti kegiatan challenge Read Aloud yang ada di internet tentunya dengan memberi reward buku yang dia pilih sendiri. 

Walaupun  dia sudah bisa baca, waktu membacakan bersuara, kadang-kadang dia belum bisa berhenti ketika ada titik ataupun tanda baca lainnya. Dia cenderung membaca seperti kereta api yang tidak ada jeda walau ada titik koma. Semua diterobos aja gak berhenti sampai ganti halaman. Tentunya jadi tidak enak mendengarkannya dan saya harus mendampingi membacanya.

Buku yang saya berikan untuk dia baca selama sebulan Januari beraneka ragam. Kadang saya suruh dia membaca dongeng sebelum tidur yang cuma beberapa halaman, buku lift the flap, komik dan saya mulai kasih chapter book yang isinya berupa kumpulan cerita lepas dan membacanya tidak lebih dari 10 menit.

Lanjutkan membaca “Mengajak Jonathan Membaca”

Berbagai Alasan Memilih Homeschool

Dulu, kalau dengar misalnya artis ngaku-ngaku dia di-homeschool, saya mikirnya ah itu alesan aja tuh, paling bilang gitu biar ga ditanyain kenapa ga pernah ke sekolah. Ya, kalau diterjemahkan bebas homeschool itu sekolah di rumah, dan dulu saya belum banyak tahu kalau homeschool itu ada begitu banyak metode dan kurikulum yang tinggal dipilih sesuai dengan yang kita mau, dan homeschool itu bukan berarti anaknya terserah aja mau belajar atau nggak.

Homeschool itu anaknya tetap belajar seperti halnya anak yang dikirim ke sekolah, dan pada level tertentu bisa ikut ujian/test atau dievaluasi untuk mengetahui apakah anaknya memang pantas disebut di level yang sesuai dengan usianya. Tapi sebelum kami menjalani homeschooling, kamipun punya banyak pertimbangan dan pertanyaan yang bikin kami maju mundur.

Sejak Jonathan masih belum sekolah, kami sudah mulai sering bertemu dengan keluarga yang menghomeschool anaknya. Di Chiang Mai banyak komunitas homeschooling baik itu orang asing maupun orang Thailand. Di Indonesia saya juga mengenal teman yang memutuskan homeschool anaknya, dan setelah tau lebih banyak saya jadi kagum dengan orangtua yang komit menghomeschool anaknya.

Lanjutkan membaca “Berbagai Alasan Memilih Homeschool”

Gadget non Screen untuk Belajar : LeapFrog Scribble and Write, Talking pen, Smart Pad

Ada beberapa gadget/mainan yang kami beli untuk belajar Jonathan dan Joshua yang  tidak ada screennya. Joshua bisa bermain cukup lama dan belajar cukup banyak dari mainan-mainan ini. Supaya tidak lupa, saya akan menuliskannya di sini.

LeapFrog Scribble and Write

Benda ini kami beli sejak Jonathan belajar menulis. Awalnya saya kurang setuju untuk membelinya, karena saya pikir ga ada bedanya dengan menulis di tablet Ipad/Android. Ternyata, setelah diperhatikan, untuk menulisnya anak akan belajar memegang pen nya seperti memegang alat tulis dan harus ditekan seperti menulis di atas kertas. Anak belajar tracing dengan mengikuti led yang menyala per pixel. Mainan ini mengajarkan menulis huruf besar dan huruf kecil, selain menggambar beberapa bentuk dasar seperti lingkaran, segitiga, garis, segiempat dan juga beberapa gambar bebas. Versi yang kami beli belum ada untuk menuliskan angka, terakhir kami lihat versi yang sama dengan ini sudah ada menuliskan angka juga.

Joshua dari sejak umur setahun sudah senang dengan mainan ini, awalnya dia suruh kami yang tracing dan dia mengamati saja, atau dia senang mendengar instruksi-instruksi yang diberikan untuk tracing ataupun menebak huruf. Kemampuan Joshua mengingat huruf A-Z dan a-z sebagian besar karena mainan ini.

My First SmartPad: Baby Einstein

Mainan Smartpad ini dibelikan sebagai hadiah ulang tahun Joshua ke-2. Seperti biasa, saya kurang setuju membelikannya karena menurut saya, Joshua sudah bisa ABC dan ga perlu lagi untuk dibelikan mainan ABC lainnya. Tapi alasan Joe: Joshua belum pernah dibelikan mainan bagus yang baru, semua mainan dia warisan dari kakaknya.

Dan dalam waktu singkat Joshua sudah bisa memainkan mainan ini dengan baik dan mengingat ejaan banyak kata-kata yang ada dalam bukunya. Dalam bundle yang dibeli, selain smart pad, disertakan juga buku yang mengajarkan kata-kata berawalan a sampai z, mengeja warna dan benda-benda yang memiliki warna tertentu, musik, dan lain-lain. Mainan ini juga menanyakan huruf awal dari sebuah kata.

Mainan ini membantu menambah banyak kosa kata Joshua, dan juga mengenali huruf awal dari sebuah kata. Setelah main dengan smartpad ini, Joshua sangat cepat mencari huruf untuk mengeja kata-kata yang ada dalam bukunya. Dia juga belajar untuk mengetik di keyboard komputer papanya dan bisa mengetik A-Z dan angka-angka dengan cukup cepat.

Talking Pen

Kami tertarik dengan talking pen  karena Joe pengen bisa ngoprek mainan ini (walaupun sampai sekarang dia belum sempat membuat sesuatu dari benda ini).  Talking pen yang kami beli ini bisa untuk belajar 3 bahasa (Inggris, Thai dan Mandarin), tapi kami beli untuk bahasa Inggris dan terutama bahasa Thailand.  Pulpen ini bisa membaca buku khusus yang sudah ada mark nya di dalamnya, buku yang diterbitkan sudah sangat banyak. Ketika membeli paket pulpennya, kami mendapat banyak buku dan flashcard yang sampai sekarang belum habis dimainkan anak-anak. Kami akhirnya beli 2 pulpen karena awalnya Joshua dan Jonathan selalu berebutan untuk memainkannya. Joe bilang, ya beli 2 nanti yang 1 buat dia program kalau anak-anak udah bosan mainannya.

Mainan ini agak lama tidak dimainkan karena repot membereskan tiap kali selesai main. Tapi belakangan ini, sejak kami stop tontonan, mainan ini kami keluarkan lagi. Sejak mulai main dengan talking pen, Joshua tertarik untuk mengenali huruf Thai. Awalnya dia suka untuk mendengarkan saja, sekarang dia sudah hampir mengingat 44 huruf konsonan Thai dalam waktu seminggu.

Mainan-mainan ini memang agak mahal harganya, tapi kalau dilihat dari kegunaan dan memang cukup lama dimainkan, rasanya mainan ini sudah sangat terpakai dan dipakai oleh 2 anak. Untuk talking pen, nantinya saya juga ingin pakai untuk belajar mandarin.

Selain mainan yang menggunakan baterai, ada banyak juga mainan lain yang membantu anak-anak untuk belajar menulis dan membaca. Mainan favorit Joshua yang sering dia pakai adalah: white board + spidol, huruf2 magnetik, eva mat yang bermotif huruf dan magnetik drawing board.

Mahalnya Sekolah

Beberapa waktu lalu, saya iseng cari tahu biaya sekolah kalau pulang ke Indonesia untuk dibandingkan dengan biaya sekolah di Chiang Mai sini. Saya masih ingat waktu saya SD uang SPP nya sekitar 300 rupiah, SMP dan SMA saya lupa tapi saya ingat ga pernah bayar lebih dari 1000 rupiah per bulan. Saya sekolah negeri sejak SD, SMP, SMA dan yang paling mahal ketika saya harus kuliah di Bandung tiap semesternya biaya 445 ribu rupiah. Masa SD saya bisa jalan kaki ke sekolah, SMP mulai naik bemo/becak/sepeda dan SMA naik angkutan kota yang jaraknya 7 km dari rumah. Ketika jadi mahasiswa saya semakin jauh deh dari orangtua saya karena saya merantau ke Bandung.

Biaya sekolah mengirim saya ke universitas terasa lebih mahal buat orangtua saya karena saya diterima di ITB (Bandung) dan orangtua saya di Medan. Mereka harus kirimin uang buat saya tiap bulan sekitar 150 ribu rupiah buat ongkos dan makan saya. Uang kontrakan kost sudah dibayarkan langsung setahun supaya saya pasti punya tempat tinggal selama setahun dan harganya ga naik selain dapat diskon 200ribu kalau bayar pertahun dibandingkan bayar perbulan. Saya merasa beruntung karena orangtua saya dengan kondisi ekonomi yang cukup sehingga saya masih bisa sekolah dan fokus belajar tanpa harus memikirkan biaya hidup saya. Saya bisa lihat, mereka berusaha mencukupkan kami anak-anaknya untuk mendapatkan pendidikan dengan harapan mendapat masa depan lebih baik dari mereka.

Waduh intro jadi kepanjangan karena bernostalgia. Dari hasil browsing saya mengenai uang sekolah, saya pikir di sini saja sekolah mahal, ternyata di Indonesia juga ga kalah mahal (bahkan mungkin lebih mahal). Jaman sekarang kalau mau cari sekolah buat anak lebih banyak pertimbangan dibanding jaman saya sekolah dan biayanya juga bikin saya menahan napas. Saya yakin dulu orangtua saya kirim kami ke sekolah terdekat dari rumah dan sekolah negeri karena masa itu orangtua saya ya mampunya sekolah negeri, dekat rumah lebih baik karena lebih gampang untuk antar jemput dan saya ingat kelas 1 SD kadang saya pulang sekolah jalan sendiri, kadang saya jalan dengan kakak saya dan masa itu semua terasa aman-aman saja.

Saya tidak tau biaya sekolah negeri sekarang ini berapa, tapi sepertinya jaman sekarang ini ada banyak kekhawatiran memasukkan anaknya ke sekolah negeri. Entah kenapa dan sejak kapan, ada kesan sekolah negeri kurang bagus mutu pendidikannya dan kekhawatiran bertemu anak yang nakal dari lingkungan masyarakat kurang mampu. Banyak orang tua terutama yang di kota besar memilih memasukkan anaknya ke sekolah swasta yang punya nama dan menurut survey cukup berkualitas dari segi pengajaran dan keamanan. Beberapa orang memilih yang dekat kantor supaya bisa berangkat dan pulang bareng. Atau ya yang menyediakan layanan antar jemput. Umumnya anak SD akan diantar karena sekolahnya ga walking distance dari rumah (kecuali mungkin sekolah dalam komplek perumahan). Beberapa orangtua yang lebih dari cukup juga umumnya akan berusaha mencari sekolah terbaik walaupun agak jauh dari rumah dan biaya yang mungkin ga sedikit.

Angka yang saya dapati yang bikin shock itu uang pendaftaran. Dari hasil google sejak beberapa tahun terakhir yang paling murah harus habiskan di atas sepuluh juta di awal masuk sekolah. Dari level TK ke level SD walaupun di sekolah yang sama, orangtua harus bayar lagi uang pangkal/pembangunan/pendaftaran. Jadi kebayang untuk masuk Preschool (usia 3 tahun) orangtua harus nabung sejak anak lahir, lalu ketika anak masuk SD harus bayar sekian puluh juta lagi. Kalau anak lebih dari 1 dan beda usia berdekatan, orangtua harus kerja ekstra keras mendapatkan penghasilan tambahan.

Sumber : http://www.the-alvianto.com/2017/10/binus-school-kinderfield-global.html

Ada beberapa sekolah yang membutuhkan orangtua siapin uang sekitar 100 juta rupiah untuk daptar TK. Saya bayangkan orangtuanya mungkin pengusaha yang omsetnya Miliar perbulan atau kalau pegawai pastinya punya gaji lebih dari 100juta perbulan. Biaya bulanan juga variasi, yang paling murah sekitar 450 rebu perbulan untuk TK. Untuk level daycare bahkan ada yang memasang harga sekitar 5 juta sebulan.

Waktu Jonathan menjelang usia 4 tahun, saya survey banyak sekolah di Chiang Mai. Ada 3 jenis sekolah di sini, Thai, bilingual (kurikulum Thai tapi menggunakan bahasa pengantar Inggris dan sebagian Thai) dan sekolah Internasional (menggunakan kurikulum Amerika atau British, full bahasa Inggris). Untuk biaya sekolah sudah pasti sekolah Thai paling murah, dibandingkan dengan sekolah Internasional bisa berpuluh kali lipat.

Contoh biaya salah satu sekolah bukan internasional, sumber http://www.varee.ac.th/en/admissions.php (diakses Mei 2018)

Saat ini kurs 1 THB sekitar 440 rupiah. Untuk uang pendaftaran, beberapa sekolah Thai meminta sekitar 10.000 baht dan uang sekolah persemesternya sekitar 18.000 – 22.000 baht. Sekolah internasional uang pendaftaran sekitar 50.000 baht dan uang semesternya bisa mencapai di atas 100.000 baht. Di Thailand sini, sekolah itu seperti tempat menitipkan anak. Mereka menyediakan kelas mulai dari umur 18 bulan (persiapan TK), lalu sejak umur 3 tahun kelas TK sebanyak 3 level, dan mulai SD sejak umur 6 tahun selama 6 tahun. Level SMP dan SMA ada 6 tahun.

Contoh biaya sekolah internasional. Sumber: https://www.vcis.ac.th/fee-schedule/ diakses Mei 2018

Ketika melihat angka yang fantastis untuk menyekolahkan anak, saya dan Joe sering berpikir dengan uang sekolah semahal itu, kalau anak sekolah sejak umur 3 tahun sampe kuliah, berapa dana pendidikan yang harus disiapkan? Setelah menyekolahkan anak semahal itu, kira-kira anak harus jadi apa supaya penghasilan nya bisa lebih dari biaya pendidikannya? Saya tahu kita harus berpikir optimis dan berharap anak akan lebih dari apa yang kita capai sekarang ini, dan saya tahu mengirimkan anak ke sekolah adalah bentuk investasi kita untuk masa depan anak yang mandiri dan bisa membiayai keluarganya kelak. Tapi kalau angkanya sekarang udah fantastis, berarti kami harus mempersiapkan anak yang bisa menyekolahkan anaknya lebih lagi dari yang dibayarkan sekarang ini.

Situasi kami sebagai orang asing tinggal di Thailand awalnya bikin pusing pilih sekolah buat Jonathan. Kami pingin anak-anak kami tetap bisa bahasa Indonesia, tapi juga fasih berbahasa Inggris dan Thai. Sekolah berbahasa Indonesia cuma ada di kedutaan di Bangkok. Awalnya kami sepakat bahasa Inggris lebih penting dari bahasa Thailand karena kami belum tahu berapa lama kami akan di sini dan supaya logatnya Inggris nya ga seperti Thaiglish ataupun Indoglish.

Harapannya anak-anak bisa menyerap bahasa Thai setelah fasih berbahasa Inggris dan tetep bisa bahasa Indonesia. Untuk saat ini target kami cukup berjalan sesuai harapan buat Jonathan. Kami cukup beruntung Jonathan bisa kami masukkan sekolah Internasional yang harga seperti sekolah Thai. Tapi setelah hampir 3 tahun di sana, Jonathan kami homeschooling.

Berdua belajar

Sejak homeschooling perhitungan uang sekolah digantikan dengan uang beli buku, berbagai peralatan dan mendaftarkan Jona berbagai kegiatan yang  ga bisa saya ajarkan sendiri. Ternyata sekolah ga harus mahal. Di tulisan berikut akan saya tulis lebih banyak soal homeschooling Jonathan.

Screen vs No Screen

Kami nggak punya nanny/mbak yang bisa dititipi jaga anak2, jadi memang selama ini supaya “aman tentram” masak atau pas lagi ngajarin Jonathan, saya kadang kasih lagu-lagu nursery rhymes atau tontonan edukasi di TV buat Joshua. Terkadang kasih iPad atau handphone pas di luar rumah supaya ga berisik. Tapi kadang pas saya udah lowong, saya jadi malas dan biarin saja Joshua nonton TV/main gadget.

Jonathan juga kadang jadi ikutan nonton lagu buat Joshua. Kadang bangun tidur sore, saya pasang film buat Jonathan yang ikut ditonton Joshua, dan walaupun tau kebanyakan screen time ga baik buat anak-anak, tetep aja saya cari alasan pembenaran untuk kemalasan saya. Sampai pada satu titik, saya dan Joe akhirnya sepakat untuk stop gadget/screen time dan mengalahkan sejuta alasan kami mulai dari: ah mereka kan belajar dari YouTube, biar anteng, lagi cape buat ajak main yang sebenernya kami malas dan mau main gadget juga.

Memang sih Joshua banyak belajar dari tontonannya, belum 3 tahun dia sudah bisa mengenali (dan menulis) huruf A sampe Z, hitung 1 sampai 100 dan juga mengingat beberapa fakta penjumlahan dan perkalian. Tapi efek buruknya juga ada, dia jadi seperti terobsesi belajar mulu dan kurang mau diajak obrolan sehari-hari.

Sudah sebulan ini kami stop mengijinkan anak-anak main gadget/screen time. Awalnya sempat ragu-ragu dan ga yakin bakalan bisa, karena memang memberikan gadget ini membuat kami semakin malas untuk berinteraksi dengan anak dan pastinya kami sendiri semakin punya alasan buat berlama-lama di depan gadget kami.

Kami mulai menghentikan pemberian gadget termasuk tontonan YouTube walaupun isinya materi edukasi di suatu weekend. Sepert biasa kami ajak anak-anak ke park dan playground. Pulang ke rumah biasanya kami beri gadget supaya tenang, tapi mulai saat itu kami ajak main dengan mainan yang ada dan memilih membiarkan anak-anak berantakan.

Joshua membaca sight words

Minggu pertama, Jonathan berusaha menawar dan masih berusaha mencari kesempatan untuk dapat kesempatan main game. Kami tetep gak kasih karena kalau kami mulai kasih lagi, pasti akhirnya kembali lagi main game mulu. Terkadang Jonathan akan mengeluh bosan. Saya bilang kalau bosan ya tidur aja, atau baca buku, atau mewarnai, atau bikin game sendiri. Gak mudah memang berhenti main gadget, mungkin ga fair buat anak-anak, karena mereka ga boleh main gadget tapi kami tetap main hp di depan mereka. Tapi tentunya supaya anak-anak ga rebut gadget, di masa awal kami juga ga make gadget di depan mereka dan lebih banyak bermain sama mereka. Secara ga langsung kami juga berkurang sih main gadget karena harus mengajak mereka main, terutama Joshua. Kami memutuskan stop total screen time, Jonathan juga ga dikasih supaya Joshua ga ikutan minta.

Efek yang paling terasa sejak anak-anak gak main gadget adalah mereka jadi mencari buku. Dari dulu saya berusaha mencari akal gimana supaya Jonathan suka membaca dan Joshua mau duduk tenang kalau dibacain buku. Saya sudah coba bikin rutin membacakan buku untuk mereka sebelum tidur, tapi ya mereka kayak ga tertarik dan lebih tertarik melihat gadget. Kalau ga ada gadget akhirnya mereka ga punya pilihan lain dan mereka mendengarkan buku yang saya bacakan. Jonathan bahkan mulai mencari buku sendiri untuk dibaca, dan mereka gak pernah berusaha rebut handphone kami setelah seminggu berhenti main gadget dan nonton TV. Joshua sekarang malah berusaha mengeja semua kata yang dia kenali dan berusaha baca. Kalau di luar rumah, dia suka main membentuk huruf dan angka dari pensil, tusuk gigi ataupun sumpit.

Jonathan kami suruh membaca chapter book yang ada di rumah. Awalnya dia bilang suka dengan jalan ceritanya satu buku, tapi belakangan saya lihat dia baca juga buku lain yang tadinya dia bilang gak suka. Setelah Jona selesai baca 2 chapter book yang berupa kumpulan cerita singkat, Joe coba kasih Jonathan baca buku serial micro adventure di Kindle. Eh ternyata Jonathan sangat tertarik dan semangat sekali membacanya dan menyelesaikan baca dalam waktu sehari. Dia juga bersemangat untuk mencoba mengetik listing program BASIC yang menjadi bagian dari cerita. Buku ke -2 kami print karena saya pikir supaya ga kembali ke kebiasaan pegang gadget karena kindle itu serasa tablet. Buku ke-2 dibaca Jona dalam waktu beberapa jam saja. Akhirnya kami ijinkan baca buku ke 3 di Kindle lagi karena lumayan banyak juga kalau harus di print, dan dia bisa selesai juga dalam waktu singkat.

Melihat semangat Jonathan membaca buku, saya jadi pengen ikutan baca buku yang dia baca. Ternyata, membaca buku di handphone dengan aplikasi Kindle itu terlalu banyak yang bikin terpecah konsentrasi. Sebentar – sebentar ada pop-up notifikasi yang akhirnya jadi godaan buat baca pesan di WhatsApp ataupun buka Facebook. Saya perlu membaca di kindle tablet atau sekalian buku fisiknya.

Akhir pekan kemarin, kami berburu buku ke toko buku bekas di Chiang Mai, sayangnya ga banyak buku cerita yang cocok untuk umur Jonathan di toko buku yang ada. Tapi dari 2 buku yang kami beli, Jonathan menyelesaikannya dalam hitungan jam, dia sekarang juga membaca ulang buku yang sudah dia selesaikan itu karena kami belum beli buku lagi. Saya juga jadi ikutan coba baca buku yang Jonathan baca, dan disitu saya menyadari memang baca buku fisik jauh lebih bisa fokus dan dinikmati daripada baca e-book.

Kalau sudah begini, rasanya harus mulai mencari membership perpustakaan yang ada koleksi bahasa Inggrisnya di kota ini. Biasanya membeli buku berbahasa Inggris ya dari group jual beli saja. Dulu sempat ada toko buku bekas yang koleksinya banyak banget, sayangnya sudah beberapa bulan ini toko bukunya tutup karena pemiliknya sedang ke Amerika dan belum tahu kapan kembali.

Saya bukan tergolong orang yang suka membaca buku, saya lebih sering berlama-lama di depan handphone membaca timeline media sosial ataupun artikel-artikel yang seliweran di timeline saya. Tapi melihat Jonathan sedang semangat membaca, saya jadi pingin punya semangat yang sama dan berharap dia bisa tetap memelihara semangat bacanya. Mungkin sudah waktunya saya juga dilarang pake gadget ya hahaha. Tapi kalau saya dilarang pake handphone, saya makin ga punya waktu dong buat nulis blog begini. Alasan selalu ada ya supaya ga lepas dari gadget hahaha.

Sekarang ini Jonathan kami ijinkan main komputer untuk belajar mrogram atau mengetik dan menonton YouTube bersama Joe sebagai sarana belajar di saat Joshua tidur/Joshua main dengan saya. Kami masih berpendapat screen time ga selalu jelek, yang jelek itu kalau orangtua jadi malas dan ga mengarahkan dengan benar.

Untuk bisa membatasi screen time pada anak, perlu kesepakatan orangtua dan kesediaan orangtua untuk mengalahkan rasa capek dan mau bermain dengan anak. Efek dari less screen time ini sejauh ini lebih banyak postitifnya, bahkan untuk kami sendiri rasanya kami cukup senang melihat anak-anak tertawa ceria dan gak melulu cari gadget. Kalau dulu Joshua akan insist nyalain TV minta dikasih tontonan, sekarang ini dia gak pernah lagi nyalain TV ataupun nangis merengek minta diambilkan gadget. Setidaknya sampai Joshua mau berkomunikasi yang ga melulu angka dan huruf, Joshua masih di stop screen timenya. Mungkin kalau dia emang pengen bisa baca, kami akan ajarin baca aja hehhee.