Sejak mulai menyetir mobil di Chiang Mai, saya jadi tahu ada layanan bayar pajak mobil drive thru di sini. Di Indonesia saya ga pernah nyetir dan ga pernah tau urusan pajak mobil hehehe. Kebetulan lokasinya dekat sekali dengan rumah kami waktu pertama sampai di Chiang Mai. Karena hari ini saya baru membayar pajak mobil tahunan dan prosesnya ga lebih dari 15 menit, saya jadi kepikiran menuliskan ini. Hal ini merupakan salah satu hal yang bikin hidup lebih nyaman di sini.
Di Thailand, sebelum bayar pajak, setiap mobil yang berumur lebih dari 7 tahun harus diinspeksi dulu mesinnya. Proses inspeksi ini biasanya sekitar 10 menit. Setelah itu kita wajib membayar asuransi pemerintah yang di sini di kenal dengan nama Po Ro Bo. Asuransi wajib ini biayanya sekitar 600 baht. Karena mobil kami masih belum 7 tahun, tadi saya bahkan ga perlu turun dari mobil. Saya datang ke garasi yang menyediakan layanan pembuatan Po Ro Bo, lalu bilang mau bayar pajak mobil. Kurang dari 5 menit orangnya sudah selesai mencetak dokumen asuransi Po Ro Bo untuk dibawa ke bagian bayar pajak mobil
Tadi saya bikin Po Ro Bo di garasi seberang tempat bayar pajak, jadi dari sana saya tinggal bawa mobil melewati tempat drive thru dan menunggu giliran di dalam mobil saja. Di loket pembayaran ada tulisan kira-kira menyatakan waktu yang dibutuhkan untuk melayani 1 mobil itu sekitar 1 menit 45 detik. Wow banget ya, mereka bisa melayani banyak orang yang bayar pajak dalam 1 hari. Setelah sampai di loket, kita serahkan buku biru mobil dan bukti sudah memiliki Po Ro Bo, lalu kita diberi tahu berapa biaya yang harus dibayarkan. Biaya tiap mobil berbeda tergantung umur dan jenis mesin, untuk mesin kami Nissan Almera kami membayar 1070 baht per tahunnya. Untuk 5 tahun pertama harga pajak akan tetap, dan setelahnya akan ada penurunan harga sekitar 10 persen.
Buku biru di sini merupakan buku yang berisi informasi mengenai mobil dan pemiliknya. Setiap kali transaksi jual beli mobil, kita biasanya langsung ganti buku biru dan ganti nama pemilik. Setiap bayar pajak juga akan ada catatannya di dalam buku biru ini. Stiker yang ditempel di kaca mobil berisi informasi bukti sudah membayar pajak dan kapan harus bayar pajak lagi. Angka besar yang tertera merupakan tahun dalam kalender Thai. Selain tahun itu ada informasi bulan dan tanggal expired dan nomor plat kita. Berbeda dengan yang saya ingat, di Indonesia orangtua saya ganti plat setiap 5 tahun, di sini kami ga pernah ganti plat tapi ya ganti stiker.
Setelah kita bayar pajak mobil, kita akan diberikan stiker yang harus ditempelkan di depan kaca mobil. Stiker ini untuk memudahkan polisi mengecek ketika ada razia. Pernah satu kali kami sudah bayar pajak, tapi Joe lupa belum ganti stikernya dan pas ada pemeriksaan. Akibatnya harus bayar denda deh karena stikernya juga ketinggalan di rumah. Dendanya juga lumayan, 500 baht. Denda nya bisa bayar di tempat, atau transfer di Bank. Joe waktu itu memilih bayar di tempat, daripada repot nyari banknya dan antri lagi di bank.
Kalau di Indonesia sekarang ini gimana ya kira-kira pembayaran pajak kendaraan bermotornya. Ada ga sih layanan bayar drive thru begini. Urusan bayar pajak jadi mudah dan ga makan waktu lama dengan pelayanan drive thru begini.
Tulisan ini merupakan bagian dari cerita jalan-jalan kami ke HongKong sejak 18 September – 23 September 2018.
Hari Sabtu, 22 September 2018 merupakan hari terakhir dimana kami bisa jalan-jalan melihat HongKong. Ada banyak pilihan sebenarnya yang bisa dikunjungi, tapi kami putuskan untuk ke The Peak saja. Tapi sebelum ke The Peak, kami pengen ajak anak-anak ke playground di Kowloon Park. Lokasi Parknya juga ga jauh dari hotel.
Traveling dengan anak-anak ga bisa bikin itinerary yang banyak, kami juga sengaja ga menargetkan harus berangkat pagi-pagi. Pengennya ya jalan-jalan santai saja. Sekitar jam 10 lewat kami baru keluar dari hotel, tujuan pertama ke Kowloon Park mengikuti google map, jalan kaki sekitar 8 menit.
Seperti kebanyakan tempat di HongKong, dari luar ga keliatan kalau tempat itu adalah park yang sangat besar. Kowloon Park ini ada kolam renangnya segala, sekitarnya tertutup tembok tinggi. Masuk ke dalam, kami mencari playground. Jalan masuk ke dalam yang kami temukan, kami harus menaiki tangga, mungkin ada pintu masuk lain yang stroller friendly karena di dalam kami melihat banyak juga yang bawa anak di stroller.
Tulisan ini merupakan bagian dari cerita jalan-jalan kami ke HongKong sejak 18 September – 23 September 2018.
Hari berikutnya Rabu 19 September 2018. Anak-anak bangun sebelum jam 7 karena tidur awal malam sebelumnya. Matahari di luar sudah cerah banget. Karena hari sebelumnya kami makan malam masih agak sore, pagi-pagi kami udah lapar. Bersyukur juga udah pesan sarapan di hotel, jadi bisa langsung turun buat sarapan.
Awalnya saya bingung mau milih makanan apa buat Joshua, akhirnya kami menemukan susu dan sereal di restoran untuk sarapan Joshua. Highlight dari sarapan di hotel adalah berfoto dengan Chef Mickey. Tapi berhubung chefnya cuma menyediakan sesi foto 30 menit, jadi kami harus antri foto juga sebelum Chefnya pergi. Anak-anak yang yang gitu kenal tokoh Mickey ya biasa aja deh hehehe.
Sekarang Joshua berumur 3 tahun 2 bulan dan masih belum dikirim ke sekolah/playgroup atau daycare manapun. Jonathan dulu umur 3 tahun kurang sudah dikirim ke daycare/taman bermain. Sebelumnya ga kepikiran mencari/memilih sekolah aja bisa jadi rumit. Mencari sekolah ini selalu jadi topik yang menarik buat saya karena di sini walaupun ada banyak sekolah, tapi mencari sekolah yang sesuai dengan kami itu ternyata ga mudah. Bahasa, harga, lokasi selain kualitas jadi pertimbangan sebelum mengirim anak ke sekolah/taman bermain.
Waktu Jona masih di daycare, saya bertemu dengan salah seorang ibu yang sama-sama mencari sekolah terbaik buat anak. Kami mengunjungi banyak sekali sekolah di Chiang Mai. Tapi karena teman saya ini orang Thailand kami lebih banyak mengunjungi sekolah Thai atau bilingual yang mengakomodasi orang asing. Dari dulu sekolah Internasional itu mahal, jadi kami ga pernah menargetkan sekolah Internasional. Kalau kata teman saya, anak dikirim ke sekolah Internasional cuma bisa berbahasa Inggris, dan kadang-kadang malah ga punya skill lainnya. Mungkin karena dia memandang sebagai orang lokal tinggal di negara sendiri, dia merasa kemampuan bahasa Inggris itu ga harus jadi kemampuan utama, apalagi kalau sampai harus bayar mahal. Dia juga punya beberapa ponakan yang lulusan sekolah Internasional tapi akhirnya kerjanya biasa saja dan penghasilannya ga berbeda dengan anak-anak lulusan sekolah lokal.
Saya sebagai lulusan sekolah negeri dari SD sampai kuliah, ga bisa argue juga mengenai sekolah Internasional. Kemampuan bahasa itu bisa dipelajari, kami ga pernah menargetkan anak-anak harus bisa bahasa Inggris dulu atau bahasa Thailand dulu, tapi karena kami ga tinggal di Indonesia kami malah menargetkan anak-anak harus tetap bisa berbahasa Indonesia selain bahasa apapun yang mereka suka.
Jonathan bisa bahasa Thai dan Inggris dan sempat cuma prefer bahasa Inggris. Sejak homeschool dan banyak berbahasa Indonesia, dia mulai lebih banyak kosa kata bahasa Indonesianya. Joshua sampai sekarang lebih banyak berbahasa Inggris walaupun mengerti bahasa Indonesia. Tapi belakangan dia juga mulai suka mengucapkan kata-kata bahasa Thai yang dia dengar. Kenapa kami memaksakan anak-anak harus bisa bahasa Indonesia padahal ga tinggal di Indonesia? ya karena mereka orang Indonesia dan oppung/eyangnya ga bisa bahasa Inggris ataupun Thai. Mereka harus bisa bahasa Indonesia biar bisa ngobrol dengan keluarga besar kalau lagi pulang kampung.
Di Chiang Mai, daycare yang gurunya bisa bahasa Inggris itu pilihannya ga banyak, dan harganya 2 kali lipat dari jaman Jona daycare. Kadang2 kepikiran, dulu orangtua kami rasanya ga pusing-pusing amat milih sekolah, mereka akan cari sekolah terdekat negeri yang mereka mampu bayar dan itupun kadang terasa berat tiap awal tahun ajaran karena harus beli baju seragam maupun buku pelajaran dan alat tulis, sepatu dan tas kalau misalnya yang sebelumnya sudah kekecilan/rusak.
Di Chiang Mai ada banyak orang asing. Ada banyak sekolah Internasional dan bilingual, setiap sekolah Thai juga selalu ada English Programnya, tapi dari hasil survei, walau mereka bilang English Programme atau Bilingual umumnya semua pemberitahuan ke orangtua atau penjelasan apapun pakai bahasa Thai. Harga uang sekolah di sini juga sangat beragam, yang pasti untuk sekolah Internasional, rata-rata berkisar mulai dari 250.000 baht/tahun atau diatas 110 juta per tahun. Saya tahu, di Indonesia uang sekolah Internasional juga ga murah, tapi karena kami bukan lulusan sekolah internasional dan merasa bisa berhasil tanpa sekolah internasional, kami jadi merasa sekolah internasional ga sepadan dengan harganya.
Untuk mengeluarkan uang sekolah ratusan juta per tahun sejak anak umur 3 tahun sampai lulus universitas kalau dihitung-hitung bakal jadi beban untuk anak itu juga. Pilihan daycare bisa lebih murah (walau ga murah banget juga), dan untuk umur di bawah 6 tahun, pendidikan formal itu belom dibutuhkan. Anak lebih butuh diajak bermain dan belajar life skill. Saya mencari sekolah paruh waktu buat Joshua, tapi inipun belum berhasil menemukan yang tepat. Dengan kemampuan akademis Joshua yang mulai membaca di umur 3 tahun, sepertinya bakal semakin sulit mencari sekolah yang tepat buat dia.
Untuk sebelum umur 6 tahun, saya mencari sekolah yang tidak mahal, guru bisa berbahasa Inggris dan tidak menekankan akademik tapi lebih banyak mengajak anak bermain. Sekolah yang guru-gurunya ga sibuk main HP dan tetap mau perhatikan anak main walaupun judul kelasnya free play. Sekolah/daycare yang ga banyak kasih anak video walaupun itu kasih lagu nursery rhyme. Karena kalau gurunya main HP mulu atau kasih video doang akhirnya sama aja dengan saya dong dan bisa saya lakukan di rumah tanpa bayar atau ribet antar jemput hehehe.
Pada akhirnya, walaupun saya sangat ingin mengirimkan Joshua ke sekolah supaya saya bisa lebih ringan tinggal ngajarin Jonathan di rumah tanpa harus ajak Joshua main, yang paling tepat sampai sekarang ini ya tidak mengirimkan Joshua ke sekolah. Beberapa pertimbangan nantinya mencari nanny biar bisa ninggalin Joshua dan Jona di rumah kalau mamanya butuh me time.
Tanpa terasa, saya sudah memaksakan diri untuk menulis posting blog minimal 1 tulisan seminggu sejak bulan Mei yang lalu. Di awal semangat masih tinggi dan banyak topik yang rasanya ingin dituliskan. Dalam seminggu bisa lebih dari 1 tulisan diposting, tapi semakin mendekati finish, mulai sering jadi nulis kejar setoran. Tulisan ini termasuk tulisan kejar setoran menjelang pergantian minggu.
Kilas balik dengan target ikutan grup ini supaya mulai lagi mengisi blog dan ya kalau bukan karena ikutan grup sudah bisa dipastikan saya sudah berhenti lagi posting blog. Target tercapai walau terkadang menulisnya buru-buru dan sejauh ini tetap tidak memakai gaya bahasa formal.
Pengalaman dari ikutan ODOP99Days ini lumayan banyak, saya jadi menemukan banyak yang rajin menulis (bukan cuma blog), tapi buat mereka menulis itu menjadi karya yang juga bisa menjadi sumber penghasilan. Apakah saya jadi pingin menulis buku? ya sebenernya keinginan menulis buku sudah ada dari dulu, tapi belum pernah benar-benar memaksakan diri untuk mulai menuliskannya (ga baik, jangan ditiru).
Dari sejak Mei, saya juga jadi memaksakan diri membaca minimal 1 buku dalam seminggu. Seharusnya bisa membaca buku lebih banyak lagi, tapi ya belum bisa konsisten untuk duduk membaca buku karena masih lebih tertarik membaca konten sosmed ataupun blogwalking.
Dari sharing teman-teman di grup, menulis itu butuh latihan seperti ketrampilan lainnya. Menulis itu juga sebaiknya menuliskan apa yang memang kita ketahui dan apa yang kita suka untuk tuliskan. Kalau melihat tulisan yang akhirnya saya posting, kebanyakan tulisan seputar homeschooling ataupun anak-anak.
Sebenarnya terkadang banyak sekali opini yang pingin dituliskan, tapi saya merasa kalau opini saya ga bermanfaat untuk orang lain sebaiknya saya simpan sendiri, apalagi kalau dituliskan tidak terstuktur lebih baik jadi draft saja hehehe. Untuk memfasilitasi menulis opini ini grup ODOP juga menyarankan kita setiap harinya menyediakan waktu untuk free writing. Mungkin target saya mengikuti sesi berikutnya nanti berupa harus mulai rutin menulis free writing dan juga membaca.
Buat yang belum tau, ODOP99days ini diperuntukkan untuk wanita usia 18 tahun ke atas, walaupun namanya 0ne day one post, kita dikasih minimal untuk menulis 1 kali dalam seminggu sebanyak 500 kata. Mungkin awalnya terasa sulit untuk menuliskan sebanyak 500 kata, tapi umumnya lama-lama tulisan yang disetorkan jumlahnya bisa sampai ribuan kata. Informasinya bisa diikuti di FB Group ODOP99days.
Dari beberapa tahun yang lalu, Joe memberi tahu saya soal NaNoWriMo (National Novel Writing Month), ini targetnya menuliskan novel selama sebulan di bulan November. Sejauh ini saya dan Joe masih gagal buat ikutan, ide ceritanya mentok mulu dan seringnya juga karena tidak menyediakan waktu secara konsisten untuk menulis.
Kadang-kadang menuliskan novel/cerita fiksi buat saya sulit dibagian percakapan para tokohnya. Kalau lagi membayangkan saja sih saya bisa, tapi giliran nulis saya bingung kebanyakan kata si A atau kata si B. Menuliskan opini begini saja paragraphnya terkadang masih terlalu panjang.
Mudah-mudahan saja kalau tetap berlatih di ODOP99days, tahun ini saya bisa mengikuti NaNoWriMo. Targetnya mungkin ga harus sampe dipublish ya, tapi ya minimal mengasah kemampuan menulis sebagai bentuk bercerita. Kalaupun bukan menulis novel, bisa juga bikin target untuk memulai menuliskan buku yang dari dulu ingin dituliskan. Mari kita lihat bagaimana konsistensi menulis di hari -hari mendatang. Semangat (menyemangati diri sendiri heheehehe).
Post ini sekedar untuk catatan beberapa buku baru yg dibeli belakangan ini. Bulan lalu beli beberapa buku dari Asiabooks.com. Kebetulan lagi ada diskon 20 persen untuk semua buku kalau beli online (ada beberapa toko asiabooks offline juga di sini). Berhubung Jonathan sudah selesai membaca buku Harry Potter 1 dan 2, maka kami beli buku 3 dan 4. Selain itu kami membeli buku set Minecraft.
Semua buku yang dibeli ini sudah dibaca berulang-ulang oleh Jonathan. Untuk Joshua kami membelikan buku wipe and clean 1 set yang isinya ada 5 buku. Sejak buku datang sampai sekarang, entah sudah berapa kali bukunya ditulisin dan dihapus. Untuk papa dan mamanya kayaknya ga beli buku deh, papanya palingan ikutan baca buku Minecraft saja.
Karena buku Fat and Cat sudah beberapa kali dibaca oleh Joshua, pas jalan ke toko buku liat buku Cow Take a Bow dan beberapa cerita lainnya. Papanya langsung semangat beliin buat Joshua, dan benar saja, sejak beli sampai sekarang entah sudah berapa kali dibacakan dan dihapalkan oleh Joshua.
Beberapa waktu lalu ada acara Big Bad Wolf di Bangkok. Saya awalnya ga kepikiran untuk beli-beli, karena ongkos buat ke Bangkoknya saja mahal. Kalau di Jakarta, teman saya cerita antrinya minta ampun dan kalau pergi ke sana harus siap-siap bawa koper dan ya siap-siap pegel ngantri selain bisa kalap liat buku banyak banget. Nah ternyata dari seorang teman yang pernah tinggal di Bangkok dan sekarang pindah ke Chiang mai, saya dikasih tau ada grup buat nitip beli. Waaaah langsung deh ikutan kalap hahaha.
Sebenernya saya masih cukup sukses menahan diri, melihat foto buku banyak banget. Kadang-kadang saya bingung, itu banyak banget buku apa ada yang baca ya? terus bukunya judulnya mirip-mirip gitu modelnya. Buku aktivitas buat anak juga banyak selain buku cerita.
Dari Big Bad Wolf Bangkok akhirnya saya nitip buku dalam bentuk set, karena harganya memang jauh banget hematnya. Jonathan sudah kami belikan dan baca buku Captain underpants 1 sampai 3, tapi kami belum beli lagi karena alasan agak mahal. Akhirnya kemarin nitip beli Capt. Underpants yang set (10 buku). Harga setnya ini kira-kira cukup untuk beli 4 buku satuan. Selain set itu kami juga beli buku Diary of Wimpykids set dan buku wipe and clean untuk menulis tulisan sambung (cursive). Buku-buku ini semua umumnya untuk Jonathan walaupun buku Capt. underpants saya ikutan baca buat hiburan. Oh ya, saya juga membeli buku The Famous Five-nya Enid Blyton, saya ingin bernostalgia sedikit sekalian mengenalkan ke Jonathan bacaan chapter book saya dulu.
Ketika paket buku BBW sampai, saya baru menyadari saya ga pesan apa-apa untuk Joshua, tapi Joshua ternyata malahan senang dengan buku latihan menulis sambung. Sejak buku itu sampai kayaknya lebih banyak Joshua yang pakai daripada Jonathan. Joshua secara umum lebih senang tulis-tulis daripada Jonathan.
Awalnya, saya kurang setuju Joe beliin buku Captain Underpants buat Jonathan, karena tokoh ceritanya 2 anak sekolah yang agak “usil”, tapi setelah dibaca-baca, sebenarnya mereka bukan usil tapi kreatif. Buku ini juga mengenalkan konsep flip-0-rama. Konsep flip-o-rama ini sebenarnya bukan hal baru, tapi baru buku ini yang saya temukan cukup serius memperkenalkan flip-0-rama.
Buku Captain Underpants ini juga ada ide-ide yang bisa mengembangkan imajinasi anak, misalnya mesin fotokopi dari gambar jadi benda 3dimensi, mesin membesarkan atau mengecilkan, formula untuk memberi kekuatan super, dan pernah juga ada dibahas percobaan science sederhana mencampurkan vinegar dengan baking soda. Setelah membaca beberapa bukunya, menurut saya buku ini masih baik-baik saja untuk hiburan, tapi kita perlu ingatkan anak kita apa yang tidak baiknya dan jangan ditiru.
Sebelumnya saya berusaha mencari buku Famous Five nya Enid Blyton di toko buku di Chiang mai tapi ga pernah ketemu, nah dari foto-foto jasa titip, saya lihat ada 1 buku Famous Five. Berhubung ini buku lama, buku ini udah ga populer lagi sekarang, hampir saja yang dititipin kelewat karena dia ga pernah dengar The Famous Five (ketauan beda generasi). Untung akhirnya dia menemukan dari buku pertama, dan lebih menyenangkannya karena ada versi collection, 1 buku isi 3 judul buku. Saya langsung beli 3 buku koleksi yang ada di pameran itu. Yay dapat deh 9 buku hahaha.
Buku Captain Underpants udah selesai dibaca Jonathan sampai nomor 10, sekarang dia jadi terinspirasi ikut-ikutan bikin komik seperti tokoh dalam cerita captain underpants walau masih agak susah dimengerti. Saya baru selesai baca buku pertama Lima Sekawan. Jonathan juga tertarik dengan cerita Lima Sekawan karena saya bacakan bersuara. Menarik membaca buku lima sekawan versi bahasa Inggris (dulu yang saya baca versi bahasa Indonesia). Saya kagum dengan Enid Blyton yang bisa menulis banyak sekali buku dan karya yang dia tulis sebelum tahun 42 bisa dibaca tanpa terasa janggal di jaman sekarang ini. Gak kalah deh dengan Harry Potter.
Buku Diary of Wimpykids belum saya berikan ke Jonathan, karena pas saya baca lagi reviewnya ternyata ada bagian yang perlu didampingi. Sekarang ini Jonathan masih belum minta juga, jadi ya disimpan dulu. Harapan saya nantinya setelah baca buku Diary of Wimpykids, Jonathan kembali lagi mengerjakan jurnalnya dan siapa tahu mulai rajin mengisi blognya. Kadang-kadang Jonathan punya semangat yang sesaat saja, dan perlu disemangati terus menerus supaya dia tetap kerjakan.
Saya ini bukan orang yang terlalu rajin membaca, tapi saya suka ga bisa menahan diri untuk membeli buku apalagi kalau ada potongan harga. Sekarang ini udah banyak tumpukan buku yang harusnya dibaca, tapi gara-gara baca FB dan kadang-kadang nonton Netflix, jadilah bukunya ga dibaca juga. Joe lebih rajin membaca dari saya, dia bisa baca buku elektronik tanpa terdistract dengan segala pop up yang muncul di HP (Joe lebih sering baca buku teknis dan udah langganan Safari books, jadi jarang beli buku cetak).
Sekarang ini kami juga subscribe ke Kindle Unlimited supaya bisa mengakses lebih banyak buku lagi tanpa harus membelinya. Jonathan sepertinya lebih rajin membaca daripada saya, sekarang ini dia sedang meneruskan baca buku Micro Adventure yang ke-7 yang ke-8 (waktu bikin draft posting ini masih yang ke-7). Saya masih belum meneruskan baca buku Micro Adventure di buku ke-4 dan beberapa buku yang belum selesai di Kindle.
Waduh catatan buku aja jadi panjang gini. Biar ingat punya buku apa aja dan dibaca semuanya hehee.
Berapa banyak teman yang kamu punya di FB? Berapa banyak dari teman itu yang masih tetep kontak denganmu? Berapa banyak temen yang masih saling berkomentar dan atau kasih jempol saja? Berapa banyak yang kamu tungguin update kabar beritanya? Berapa banyak yang kamu kontak langsung setelah mendapati temen kamu ga ada di daftar temen kamu lagi (masa ga punya cara kontak lain selain di FB)?
Berapa banyak teman yang kamu ucapkan selamat ulang tahun bukan karena kamu lihat notifikasi di FB tapi karena kamu sengaja set reminder di calendar pribadimu? Berapa banyak teman yang kamu tahu umur anak-anaknya berapa walau sudah beberapa tahun ga ngobrol (alih-alih nanya mulu tiap ngobrol)? Berapa banyak teman yang kamu selalu bisa ngobrol bukan pas butuh bantuan/ada keperluan doang? Berapa banyak teman di FB yang ga kamu unfriend/hide gara-gara beda pandangan politik atau perbedaan memandang masalah asi/sufor, vaksin/nonvaksin atau karena perbedaan pendapat lainnya?
Saya bukan orang yang terlalu ramah dan sebagian besar kenalnya saya orang galak (mungkin karena saya sering ngomong to the point), tapi dibanding Joe, temen saya lebih banyak mulai dari temen TK sampai temen kuliah yang masih terhubung via FB ataupun sekedar punya nomor telponnya. Beberapa teman tetap saling kontak, beberapa hilang karena mereka ga punya FB atau udah ga tau lagi mau ngomong apa.
Daftar teman saya di FB masih terlalu banyak menurut saya, karena sebagian teman di FB itu saudara dan atau teman sealmamater yang ya kenal tapi ga kenal-kenal banget. Kadang kepikiran buat merampingkan daftar teman, tapi saya pikir nanti bisa salah paham kalau saya putus pertemanan, akhirnya ya sudah sementara ini biarin dulu. Sesekali kalau ada teman di FB yang terlalu rajin jualan ngetag-tag, atau terlalu banyak share politik, berita hoax dan berita yang bikin sakit mata, ya paling temen itu saya unfriend saja. Beberapa saya kasih tau baik-baik kalau saya ga suka di-tag, lalu mereka ga nge-tag saya lagi, beberapa bilang ya udah unfriend aja.
Waktu kuliah seorang teman berkata: tidak ada teman sejati, yang ada kepentingan sejati. Saya waktu itu ga setuju dengan kalimat itu. Masa kuliah itu bisa dibilang saat terlama bersama-sama teman sekelas (waktu SD belum merasakan serunya punya temen berlama-lama). Makanya saya ga buru-buru lulus 4 tahun. Kalau masa SMP dan SMA saya menanti-nantikan liburan panjang kenaikan kelas, masa kuliah saya merindukan kapan bisa kembali lagi kuliah sampai pas lagi liburan panjang terbawa mimpi lagi kuliah hahaha. Perasaan ga terima aja kalau dibilang kita berteman dengan seseorang itu karena ada “kepentingannya”, masa sih ga ada ketulusan dalam berteman? masa sih? masaaaa??? (eh kok jadi dramatis gini).
Belakangan ini setelah lama ga bertemu dengan teman-teman selain mostly lewat FB saya mulai merasa kalimat itu ada benarnya. Hubungan pertemanan yang masih terpelihara itu biasanya karena ada kepentingan dari kedua belah pihak, manusia kan mahluk sosial jadi pastilah kita membutuhkan manusia lainnya, dan itu juga termasuk kepentingan toh. Kalimat itu bukan berarti kepentingan dalam arti memanfaatkan teman, tapi lebih ke: kita masih berteman karena masih ada irisan kesamaan urusan (aduh apa sih irisan urusan). Ya kadang-kadang kepentingannya ga penting-penting banget juga, cuma seneng aja kan gitu ngumpulin temen lama, sesekali ketemu dan atau kalau ada yang butuh bisa ditanyakan tanpa harus kenalan dulu atau basa-basi.
Sejak jaman Friendster, saya malas menambah teman yang ga kenal. Setelah Friendster digantikan FB, saya makin malas nambah teman hahaha. Saya menambah teman kalau memang kenal (irisan urusannya misalnya sama-sama kota tinggal atau ya dulu pernah juga nambah teman jaman rajin hobi main benang). Beberapa teman yang bertambah karena hobi akhirnya hilang juga karena sejak saya ga hobi main benang lagi ya irisan urusannya hilang, tapi beberapa tetep jadi teman baik karena mereka tetep asik buat diajak ngobrol selain ngomongin benang.
Beberapa tahun terakhir ini, ada banyak ajakan reuni. Pertama kali bertemu di grup WA atau FB dengan teman-teman sekolah itu rasanya seru banget. Tapi lama-lama sepertinya obrolannya mulai ga seru karena yang diobrolin ga bertambah yang baru. Sejauh ini, saya belum pernah ikutan ke acara reuni ataupun reuni akbar, karena kalau dipikir-pikir saya memang pingin ketemu beberapa teman tapi saya ga terlalu pengen juga ketemu dengan teman baru. Beberapa teman bilang kan seru punya temen baru dan wawasan baru, atau beberapa teman bilang kan buat networking. Mungkin kalau saya punya bisnis saya akan merasa perlu juga punya banyak teman baru, tapi untuk sekarang ini sepertinya saya memilih untuk memaintain pertemanan dengan yang sudah ada saja.