Liburan ke Pantai Atau ke Gunung?

Kalau dulu, ditanyakan ke saya: mau liburan ke pantai atau ke gunung? dengan cepat saya akan menjawab pantai, tapi pantai danau ya, bukan pantai laut.

Tadi pagi, tiba-tiba saya terpikir lagi dengan pertanyaan ini, dan saya tidak bisa menjawab dengan cepat. Ada begitu banyak pertimbangan kalau ke gunung bagaimana, kalau ke pantai bagaimana. Waktu saya tanya ke Joe, dia juga jawabannya: ada pilihan lain gak? pengennya yang datar aja ga harus ekstrim gunung atau pantai.

Kalau Liburan ke Gunung…

Alam pegunungan itu biasanya sejuk dan hijau. Suasananya juga terasa lebih indah dengan kicauan burung ataupun suara aneka hewan yang hidup di alam yang bisa terdengar sesekali. Semuanya membuat suasana terasa lebih santai untuk beristirahat dan melepas penat. Oh ya, ini bukan cerita naik gunung yang hiking ya, tapi ke daerah pegunungan saja. Seperti misalnya ke Doi Inthanon kalau di Chiang Mai.

Doi Inthanon

Pemandangan dari tempat yang tinggi biasanya juga cukup indah. Bisa melihat daerah di sekitar kaki gunung. Salah satu yang saya ingat dari liburan ke daerah pegunungan juga biasanya sayuran dan buah-buahannya semua enak, karena biasanya banyak petani di sekitar daerah pegunungan.

Terus kenapa gak memilih ke daerah pegunungan kalau memang indah, nyaman, sejuk dan semua alasan di atas?

Untuk sampai ke area pegunungan, biasanya kita harus melalui jalanan tanjakan dan berbelok-belok. Jalan menanjak sih gak masalah ya, karena toh kita bukan jalan kaki dan biasanya naik mobil. Tapi belok-beloknya itu loh kadang-kadang yang agak memabukkan. Belum lagi, kalau jalanannya bukan jalan yang mulus ataupun sempit. Rasanya agak ngeri gak sih kalau lewat jalan kecil dan berliku dengan kanan kiri itu jurang?

Biasanya, sinyal hp di gunung juga kurang bagus, apalagi kalau gunungnya bukan tempat yang sudah ada bts provider yang kita gunakan hehehe. Lah katanya mau liburan, kok mikirin sinyal sih? ya, kan walau liburan kita tetap butuh akses internet buat nonton film santai-santai. Ah kalau mau nonton film di rumah aja sana, gak usah ke gunung! Banyak alasan aja ya hehehe.

Kalau Liburan ke Pantai…

Waktu kecil, setiap liburan kenaikan kelas, saya pasti diajak orangtua saya ke Danau Toba. Sepertinya, karena liburan ke Danau Toba inilah saya selalu kepikiran liburan ke pantai itu menyenangkan. Untuk mencapai lokasi pantainya, tentunya harus melewati gunung dulu, lalu turun lagi. Jadi sama aja dong dengan ke gunung? nggak juga, karena setelah sampai di bawah, kita bisa dapat pemandangan ya pantai, ya gunung. Jadi pemandangannya terasa lebih indah.

Danau Toba tahun 2008

Walaupun dari kecil sampai lulus SMA saya tinggal di Medan, dan Medan itu adalah kota yang ada pelabuhannya, saya tidak pernah ke pantai laut. Pantai yang saya kenal itu ya pantai dari Danau Toba.

Saya senang ke Danau Toba untuk bermain air, berenang di danau, naik sepeda air, speed boat dan pernah belajar naik soluh (sejenis canoe). Selain itu tentunya makan indomie rebus, ikan bakar, mangga kecil-kecil (gak tau namanya apa) dan ya senang aja dengan semilir angin yang berhembus sepanjang hari yang terasa sejuk. Pulang dari Danau Toba biasanya kulit pada gosong dan mengelupas hehehe.

Pertama kali ke pantai laut itu waktu jalan-jalan kelas 2 SMA ke Parang Tritis. Nah, melihat deburan ombak yang keras dan angin yang terasa lengket di kulit, tidak ada keinginan untuk main air sedikitpun. Main pasir aja rasanya ogah. Sejak itu, keinginan untuk bermain ke pantai berkurang.

Sampai sekarang, setelah beberapa kali liburan ke pantai laut seperti Bali, Pattaya, Ancol dan Phuket, perasaan tentang pantai laut tetap sama. Saya hanya senang melihat-lihat saja, tidak ada keinginan berenang atau bermain air. Tidak ada keinginan untuk menghabiskan waktu seharian bermain air.

Pantai di Phuket

Saya mulai agak takut dengan pantai laut sejak banyak bencana tsunami. Tapi ya ketakutan ini gak bikin jadi gak mau ke pantai laut sama sekali sih. Namanya bencana bukan hanya terjadi di laut saja, jadi kalau ada kesempatan berlibur ke pantai laut, ya dinikmati juga dan lupakan takutnya.

Jadinya Pilih ke Mana?

Karena Chiang Mai jauh dari pantai, ya sekarang ini kami cukup senang dengan jalan-jalan sekitar kota Chiang Mai yang waktu tempuhnya tidak terlalu lama. Kalaupun ada waktu, ya libur ke gunung atau ke pantai sama menyenangkannya untuk melihat pemandangannya, tapi tidak ada perasaan lebih ingin ke salah satunya.

Kalau mau libur ke gunung ataupun ke pantai, yang jelas tidak dilakukan di musim hujan. Musim hujan mendingan kita ke mall aja deh daripada gak bisa enjoy hehehe.

Satu hal yang paling penting juga, kalau mau liburan ke manapun, sekarang ini yang perlu dipertimbangkan adalah anak-anak. Mereka perlu melihat gunung, pantai, danau, lembah, sungai, hutan, tapi ya tentunya diperkenalkan sesuai dengan kesiapan mereka menerimanya.

Untuk sekarang ini, kami belum menanyakan ke anak-anak lebih suka ke gunung atau pantai, kami yang memutuskan untuk membawa berganti-ganti supaya mereka mempunyai pengalaman di berbagai tempat. Karena kalau ditanya, jangan-jangan jawabannya malah: di rumah aja lebih enak hahahaha.

Baca Buku: The Subtle Art of Not Giving a F*ck

Baca buku ini sudah lama, maksudnya sudah lama mulai dan akhirnya selesai tahun lalu. Waktu itu mau nulis tentang buku ini, tapi karena sudah banyak yang nulis, malah jadi menunda.

Tapi dipikir-pikir, ada baiknya menuliskan sendiri apa yang diingat dari buku ini.

Cover Buku Digital dari Google Playbook

Buku ini sebenarnya tidak tebal, cuma 224 halaman dan terdiri dari 9 chapters. Joe sudah membacanya duluan dan merekomendasikannya ke saya. Awalnya saya agak enggan membacanya karena buku ini kategori self help dan bahasanya terasa kurang sopan.

Lanjutkan membaca “Baca Buku: The Subtle Art of Not Giving a F*ck”

Selamat Tahun Baru 2020: Tetap Bersyukur

Setelah beberapa hari tidak menulis, dan setelah liburan akhir tahun 2019 kemarin, ada banyak sekali yang ingin dituliskan di blog ini. Tapi ijinkan saya mengucapkan selamat memasuki tahun 2020 kepada teman-teman yang mampir ke blog ini.

Sedikit oleh-oleh dari liburan akhir tahun ke Sukothai dan Si Satchanalai kemarin adalah: kita tidak tau apa yang ada di depan kita, sampai kita menjalaninya. Kadang ketika melihat rintangan, ada perasaan takut dan ingin berhenti atau berbalik arah. Tapi kalau kita jalani bersama-sama, ada perasaan lebih berani untuk menjalaninya. Dan ketika kita sampai di tujuan, ada perasaan bangga dengan diri sendiri karena sudah mengalahkan ketakutan dan kekhawatiran, walaupun mungkin tempat tujuan itu belum tentu super indah seperti yang kita pikirkan sebelumnya.

Apapun hasil dari perjalanan kita, tetap bersyukur karena kita sudah mengalahkan rasa takut dan selamat sampai tujuan. Bersyukur kita tidak kalah sebelum bertarung. Perjalanannya tidak kalah penting dari tujuannya.

Bersiap-siap untuk petualangan di Si Satchanalai Historical Park dengan sepeda

Aduh jalan-jalan apa meditasi sih kemarin itu ya hahaha. Jadi begini latar belakang renungan di atas. Alkisah, kami ke salah satu tempat wisata historical park tanpa membaca buku panduan terlebih dahulu. Seperti semua orang, kami memutuskan sewa sepeda untuk keliling historical park nya.

Kami mengikuti jalur yang banyak orangnya saja. Terus eh, kok di depan ada tanjakan dan ada larangan menaiki sepeda sambil menanjak. Kalau mau naik, kita harus menuntun sepeda kita atau tinggalkan saja di bawah.

Larangan menaiki sepeda sambil menanjak

Awalnya sempat ragu-ragu untuk naik ke atas tanjakan. Kami kuatir waktu turun malah lebih susah lagi, atau takut masih jauh dan ada tanjakan berikutnya. Takut kecewa juga kalau tujuannya tak seberapa indah. Kepikiran juga apa sebaiknya sepedanya ditinggalkan saja di bawah dan jalan ke atas.

Karena sama-sama tidak tahu berapa jauh lagi lokasi tujuan setelah tanjakan itu, kami memutuskan menuntun sepeda ke atas tanjakan. Lebih baik bersiap-siap, siapa tahu masih jauh tujuannya.

Keliatan gak tanjakannya? di foto sepertinya gak seberapa ya

Ternyata, setelah menuntun sepeda dengan susah payah, masih ada tangga lagi untuk naik ke atas. Setelah berhasil membawa sepeda sambil jalan menanjak, rasaya naik tangga tidak seberapa. Tapi alamak, ternyata botol minum yang saya bawa isinya hanya setengah dan Joe tidak bawa minum sama sekali. Tapi dengan ada yang sedikit itupun masih lebih baik daripada tidak sama sekali.

Sampai di atas, Joe yang mendorong sepeda naik sambil bawa Joshua di boncengan sepeda udah mau pingsan sepertinya hahaha. Tapi ya setelah istirahat beberapa menit, akhirnya bisa menikmati pemandangan dari ketinggian. Tentunya walaupun tidak terlihat ketinnggiannya berapa, penting banget buat foto di sana haha.

Setelah beristirahat, baru deh bisa senyum pas di foto

Kalau tenaga sudah terkumpul, siapa takut untuk naik lebih tinggi lagi. Akhirnya Joe dan Joshua naik ke atas reruntuhan templenya juga. Waktu saya bilang ke Joshua: I’m so proud of you Joshua, terus Joshua jawab: I’m so proud of you too mama. Iya saya bangga Joshua mau duduk manis di sepeda walau sebelumnya gak biasa dibonceng sepeda. Nggak ngeluh walau panas-panasan matahari. Mau naik tangga dengan semangat walau sampai atas mukanya merah kepanasan. Semangat buat eksplorasi tempat baru walau belum sepenuhnya mengerti tempat apa ini.

Udah sampai atas, naik sampai atas lagi deh

Perjalanan turun tidak sesulit perjalanan naik karena kami memutuskan kembali ke arah kami datang. Kalau saja kami sudah tahu sebelumnya, mungkin kami akan memutuskan meninggalkan saja sepeda di bawah. Kalau kami sudah tahu sebelumnya, mungkin kami juga akan memutuskan untuk tidak usah naik saja karena tanpa sepedapun tanjakannya lumayan terjal.

Pesan lainnya: ketidak tahuan bisa membuat kita lebih berani dan mencoba dengan lebih gigih. Kalau sudah tahu dan tetap ingin menjalani, bisa membuat kita lebih bersiap-siap dengan membawa minuman lebih banyak atau tidak perlu bawa sepeda naik karena pasti akan turun lagi.

Tahun 2020 ini dimulai dengan berbagai berita yang tidak semuanya membahagiakan. Di Jakarta, kakak saya (dan banyak penduduk di berbagai area Jakarta) rumahnya dan mobilnya terendam banjir. Beberapa orang lagi liburan keluar kota, dan tidak tahu bagaimana nasib rumahnya.

Di Chiang Mai, polusi sudah dimulai sejak akhir tahun lalu dan entahlah akan membaik atau tidak. Di Australia, musim kering membuat banyak semak-semak terbakar dan hampir seluruh daerah dilanda asap. Kita tidak tahu apa yang akan kita hadapi di depan kita. Tapi untuk semua hal yang akan datang, mari kita hadapi bersama dengan berani dan tidak cepat menyerah.

Tetap bersyukur untuk semua hal yang akan kita hadapi di tahun 2020 ini.