Review Terbang dengan AirAsia

Berhubung hari ini kami sedang travel pulang ke Indonesia naik AirAsia, sekalian jadi pengen cerita tentang pengalaman naik AirAsia sejak jaman dahulu kala. Mungkin kategori yang tepat bukan review tapi ya cerita-cerita aja hahaha.

sekarang giliran papa jagain anak-anak hehehe

Kami menggunakan AirAsia sejak sebelum menikah, ya maklum aja harga tiket penerbangan lain jauh diatas rate AirAsia. Pilihannya ya pakai AirAsia atau naik kapal laut, tentu saja milih naik pesawat. Masih ingat pengalaman pertama ditinggal pesawat juga ditinggal sama AirAsia (eh semoga nggak ada pengalaman ditinggal berikutnya). Pernah juga perubahan jadwal dadakan yang di majukan beberapa jam dari jadwal awal atau berangkat besok harinya, sehingga kami selesai pesta pernikahan harus buru-buru antar sebagian keluarga Joe ke airport. Ya perubahan jadwalnya sebenar waktu itu tidak harus kami terima, tapi sebagian anggota keluarga kebetulan ga bisa kalau harus dibesokkan lagi menunggu berangkatnya.

Ironisnya, dihari perubahan jadwal itu keluarga Joe ditunggu sampe beberapa menit mereka tutup pintu pesawat. Giliran saya dan Joe beberapa hari kemudian datang terlambat 5 menit dari batasan check in diijinkan 45 menit sebelum take-off eh kami ga boleh dong masuk huhuhu. Padahal oh padahal sebelumnya mereka menerima sampai 5 menit sblom jadwal take-off. Huh tak adil. Eh kok jadi curhat.

Sejak pindah ke Thailand, pilihan untuk pulang juga semakin mahal dengan penerbangan lain, kapal laut juga nggak bisa dipilih hahaa. Air Asia jadi pilihan lagi terutama kalau mau pulang lebih dari 1 x setahun. Waktu awal-awal, kami ga punya banyak pilihan, pulang ke Indonesia harus transit via Kuala Lumpur. Karena waktu itu AirAsia belum ada yang namanya fly thru, kami harus sangat repot sekali. Turun pesawat di Malaysia, keluar dari imigrasi, menunggu bagasi, ambil bagasi, pindah terminal ke terminal keberangkatan berikutnya, masukin bagasi lagi lalu imigrasi untuk keberangkatan ke Indonesia, proses pulang itu bener-bener perjuangan hahaha. Tapi balik ke Chiang Mainya lebih perjuangan lagi, karena ada step tambahan ketika sampai di Kuala Lumpur kami harus menginap di Tunes hotel 1 malam (karena tidak ada jam penerbangan berikutnya di hari yang sama), bangun super pagi untuk berangkat lagi ke Chiang Mai. Bisa aja nginap di tengah kota KL, tapi mana ada jaminan besok paginya nyampe subuh ke bandara buat berangkat lagi. Atau bisa aja ngampar di airport, tapi bayar tunes hotel ga terlalu mahal dan tentunya lebih nyaman daripada ngampar di airport.

Pernah sekali, sebelum kami punya anak, karena begitu repotnya perjalanan akhirnya kami iseng sekalian mampir sana sini. Jadi sebelum kembali ke Thailand, kami mampir dulu ke KL untuk berkunjung ke teman yang tinggal di KL, lalu kami mampir ke Singapur menginap 1 malam di Singapur. Dari Singapur kami terbang ke Bangkok, dan di hari yang sama dari Bangkok terbang ke Chiang Mai. Dipikir-pikir iseng banget ya hahaha. Kebetulan waktu itu dihitung-hitung dengan detour sedikit biayanya ga jadi jauh lebih mahal, dan karena teman-teman kami baik hati, kami ga perlu bayar hotel hahaha.

Setelah punya anak pertama, pulang pertama kali kami memutuskan naik Singapore Air demi kenyamanan perjalanan. Tapi perjalanan berikutnya untungnya sudah ada pilihan untuk fly thru  dan bisa terbang di hari yang sama jadi kami kembali naik Air Asia hehehe.

Sekarang ini, perjalanan dengan AirAsia jauh lebih nyaman. Selain bisa langsung terbang di hari yang sama tanpa repot keluar masuk bagasi, sekarang ini kami bisa memilih berapa banyak bagasi yang harus kami beli karena toh kami ga pernah bawa barang terlalu banyak, kami bisa memesan makanan terlebih dahulu secara online dan bisa memilih kursi dan cek in online. Sistem Air Asia sudah jauh lebih baik dibandingkan dulu, kadang-kadang masih ada masalah ketika check in, atau membeli makanan. Kemarin kami harus mengkombinasikan penggunaan aplikasi AirAsia mobile dan web ketika membayar untuk bagasi, kursi dan makanan.

Beberapa waktu lalu, untuk bisa terbang langsung ke Indonesia dengan fly thru, kami hanya bisa memilih transit di Bangkok (DMK), padahal saya sering melihat kalau rute pilihannya CNX-KUL, lalu KUL-CGK atau KUL-KNO, seringnya harganya lebih murah daripada via DMK. Tapi belakangan ini saya perhatikan aplikasi airasia sudah bisa juga fly-thru via KUL. Sekarang ini, jadi ada pilihan transit mau di Bangkok atau KL.

Hari ini, setelah sekian lama ga transit di KL dengan AirAsia, kami mampir di KL lagi. Terakhir mampir sini sudah beberapa tahun lalu sebelum ada Joshua. Eh pernah sekali mampir sini naik Malindo Air, sayangnya rutenya udah ga ada lagi. Waktu naik Malindo kami transitnya super sebentar, dan gate nya sebelahan jadi ga melihat banyak hal di KLIA. Sekarang ini kami transit beberapa jam, makanya sempat nulis ini sambil nunggu pesawat berikutnya. Hal yang paling menyenangkan, masih di pesawat udah bisa konek free wi-fi Airport yang bisa digunakan selama 24 jam. Jadi sambil nunggu gini bisa tetep online, main pokemon juga bisa haha.

Oh ya, kadang-kadang kami memilih penerbangan lain karena waktu di cek harganya penerbangan lain lebih murah daripada AirAsia, tapi hal ini jarang sekali terjadi. Sejauh ini pengalaman terbang dengan Air Asia baik-baik saja, semoga ke depannya semakin baik lagi.

Tentang Drama Korea

Tulisan kali ini saya tidak secara khusus mereview drama Korea tertentu, cuma mau menuliskan kesan-kesan setelah menonton sekian banyak TV Seri K drama. Saya gak tahu persisnya udah nonton berapa banyak, soalnya belum pernah menuliskan listnya (kapan-kapan tulis listnya kalau mau nulis review satu persatu hahahaha).

Dulu, jaman teman-teman saya pada ramai  ngomongin drama Korea, saya ga ikutan karena kalau dengar cerita mereka kesannya K-drama isinya romance doang. Tapi mungkin juga mereka dulu nontonnya emang yang genre romance doang ya. Dulu alasan ga nonton selain belum tertarik, ga ada waktu, juga ga mau beli /nyewa CD, sedangkan yang diputar di TV yang saya ingat cuma Meteor Garden dan ini bukan K-drama.

Beberapa waktu lalu, waktu iseng-iseng liat di Netflix, saya gak sengaja melihat serial Boys Over Flowers yang katanya versi koreanya Meteor Garden. Awalnya cuma pengen lihat apakah mereka cuma beda pemeran dengan cerita yang sama persis, atau mereka adaptasi sendiri. Ternyata walau garis besarnya sama, tapi karena saya nonton Meteor Gardennya udah lama banget, ya akhirnya saya keterusan juga nontonnya hahaha.

Beberapa judul yang populer memang terkenal karena aktor dan aktrisnya. Saya lupa apa serial berikut yang saya tonton, tapi beberapa serial awal yang saya tonton jalan ceritanya hampir bisa ditebak. Akan ada kilas balik, ada amnesia, ada yang kalau ketemu berantem mulu terus akhirnya jadi pasangan, ada cinta beda latar belakang ekonomi, dan kebanyakan walau awalnya jalan ceritanya berjalan dengan cepat, di tengah-tengah akan ada beberapa episode yang jalan ceritanya terasa lambat sekali dan banyak kilas balik dari episode-episode sebelumnya dan akhirnya semua diselesaikan secara terburu-buru di episode terakhir.

Udah tau pattern kayak gitu tapi tetep aja ya ditonton, salah siapa coba hahaha. Saya akhirnya sempat berhenti nonton karena mulai bosan dengan cerita yang gitu-gitu aja. Tapi ternyata setelah berhenti beberapa lama, saya menemukan serial kdrama yang jalan ceritanya ga cuma kisah cinta.

Salah satu kdrama yang topiknya hampir ga ada kisah cintanya itu seri yang tayang di Netflix Life. Ceritanya seputar konflik politik  antara manajemen di rumah sakit yang berorientasi profit dengan dokter yang berorientasi menyelamatkan pasien. Biasanya saya menonton kdrama yang sudah selesai seasonnya, serial Life ini salah satu yang saya tonton waktu masih harus menunggu 2 episode per minggu. Walaupun ceritanya berlangsung di rumah sakit, tapi tidak banyak cerita mengenai penyakit pasien tertentu. Kalaupun ada diceritakan soal pasien, karena pasien itu ada hubungannya dengan konflik kepentingan yang terjadi.

Salah satu seri yang saya tonton mengangkat cerita seorang pria terkena kanker payudara. Sebelum nonton film ini saya gak pernah tahu (dan seperti dikisahkan di film ini kalau kebanyakan orang gak pernah tahu) kalau pria juga bisa terkena kanker payudara. Dalam serial ini diceritakan mulai dari simptom awal, pemeriksaan awal, treatment yang dijalani sampai reaksi orang-orang ketika mengetahui seorang pria terkena kanker payudara. Walaupun ada kisah cintanya, film ini jadi bisa memberi edukasi juga supaya kita lebih aware dengan penyakit ini. 

Ide cerita yang juga menarik mengenai seorang yang punya kepribadian ganda dan jatuh cinta pada wanita yang sama. Walaupun penyelesaian ceritanya menurut saya gak masuk akal, tapi cukup menarik melihat 1 aktor memerankan 2 karakter yang sangat berbeda. Dalam serial ini diceritakan juga mengenai hypnotis itu bukan sihir tapi science. Ada bagian cerita dimana psikiater bisa menghipnotis orang secara massal dengan bunyi atau benda tertentu. Saya kurang tahu mengenai hipnotis, tapi saya jadi ingat dengan banyak cerita kejahatan dimana pelakunya menghipnotis korban sehingga tanpa sadar memberikan uang atau transfer atm dan sebagainya. Tapi di film itu disebutkan, biasanya orang bisa terhipnotis kalau yang dihipnotis menaruh kepercayaan ke orang yang menghipnotisnya.

Ada juga kdrama bercerita mengenai seorang spy yang sedang dalam pelarian lalu menjadi baby sitter tetangganya. Film ini menarik karena ada actionnya juga dan ibu-ibu komplek yang sangat canggih dalam mencari informasi. Jadi walaupun film ini berkisah mengenai agen rahasia, tapi banyak unsur komedinya juga jadi terasa lebih ringan, jangan dibandingkan dengan film Mission Impossible.

Walaupun sejak menonton Life saya bertekat ga akan menonton kdrama yang masih on-going, tapi ya kadang-kadang kalau lihat trailernya menarik saya akhirnya nonton juga tuh episode pertamanya untuk menentukan akan meneruskan menonton atau tidak. Sekarang ini sedang tergoda nonton Memories of the Alhambra. Film ini menarik karena walau saya sebelumnya ga tau apa itu Alhambra, di mana itu kota Granada, tapi karena dikisahkan tokohnya bermain game dengan augmented reality yang dilihat menggunakan contact lens dan adegan berantem melawan tokoh-tokoh yang muncul secara virtual. Entah kenapa malah teringat game pokemon hahaha. Sekarang ini baru ada 4 episode, dari 2 episode yang sudah ditonton, di akhir episode selalu ada hal yang bikin penasaran. Sepertinya saya akan menunda dulu menonton film ini sampai selesai di bulan Januari nanti (daripada saya penasaran tiap minggu hahaha).

Ada banyak alasan orang nonton k-drama, tapi buat saya ide ceritanya paling menentukan dibanding aktor dan aktrisnya. Biasanya trailer dan episode pertama bisa menentukan apakah filmnya cukup menarik atau tidak untuk ditonton. Kalau di episode pertama saja ceritanya sudah bertele-tele dan lamban, sudah pasti gak akan saya terusin hehehe. 

Kalau ada rekomendasi film (terutama k-drama) yang jalan ceritanya menarik, bagi-bagi judulnya ke saya ya hehehe.

Tentang Serial TV

Awalnya pingin menuliskan review TV Seri yang pernah ditonton, tapi bingung mau mulai dari mana (saking banyaknya). Dan karena kepikiran banyak hal mengenai cerita-cerita dalam Serial TV, saya kali ini cuma pengen cerita-cerita aja secara umum mengenai berbagai TV Seri yang pernah saya tonton.

Sejak kenal dengan Joe, kami banyak menonton Serial TV bersama-sama, genrenya biasanya mulai dari science fiction, horror, action sampai comedy. Cuma 1 genre yang gak ditonton sama Joe: drama yang sedih atau terlalu dekat ceritanya dengan dunia nyata. Alasannya: nonton itu buat hiburan, jadi gak mau nonton kalau ceritanya sedih hehehe. Saya suka nonton drama, tapi syaratnya boleh aja ceritanya sedih tapi akhirnya harus bahagia hahahaha. Kadang-kadang tapi kalau bagian filmnya terlalu sedih, saya gak terusin karena saya juga males nonton orang sedih melulu, apalagi tipe cerita sedih ditindas dan gak melawan.

Sejak saya gak bekerja, saya mengikuti lebih banyak Serial TV dibandingkan Joe hehehe. Sejak langganan NETFLIX, tambah banyak lagi serial TV yang diikuti hehehe. Awalnya saya lebih banyak mengikuti serial TV berbahasa Inggris. Pernah mengikuti Telenovela tapi udah lupa, jadi gak akan dibahas. Mengikuti kategori di NETFLIX, di posting ini saya akan bahas serial TV Western (berbahasa Inggris) dan serial TV Asia. 

Hal-hal mengenai TV Seri Barat

  • TV Seri bisa berupa pengembangan dari cerita di layar lebar, bisa juga dari TV Seri kemudian di filmkan di layar lebar. Kadang-kadang aktornya sama, kadang berbeda (tergantung bayarannya kayaknya hehehe).
  • TV Seri biasanya tentu saja lebih dari 1 episode. Sedangkan layar lebar kalaupun ada sambungan ceritanya mereka bikin sequel atau prequel.
  • TV Seri kadang-kadang bisa sampai ratusan episodes, dengan cerita yang tak kunjung habis. Beberapa TV Seri yang saya ikuti yang lebih dari 10 season misalnya Bones dan Grey’s Anatomy.
  • Dalam 1 season TV seri, jumlah episodenya bervariasi, rata-rata lebih dari 10 episode.
  • Cerita dalam TV Seri tidak selalu seru untuk setiap episodenya, ada kalanya ceritanya terasa membosankan seperti filler buat memperbanyak jumlah episode saja.
  • Dalam TV Seri, semakin banyak jumlah seasonnya, pemeran awal (original cast) biasanya semakin sedikit dan digantikan dengan tokoh-tokoh baru.
  • Beberapa TV Seri tidak selalu bersambung antar episodenya, tapi akan ada beberapa hal yang terkait dengan episode sebelumnya menjadi tema besar dalam 1 season. Contoh TV Seri yang tidak selalu ada hubungannya: Dr. Who, dan McGyver. 
  • Beberapa serial TV, kalau diketahui akan ada season berikutnya akan mengakhiri sebuah season dengan cerita yang menggantung. Untuk serial yang tidak diperpanjang, umumnya mereka akan menyelesaikan cerita semua bahagia.

Belakangan ini, saya juga mengikuti beberapa TV Seri Asia (Thai, Jepang, Korea). Saya perhatikan, perbedaan yang paling signifikan dengan dari serial TV Asia dibandingkan produksi Barat adalah:

  • Biasanya hanya ada 1 atau 2 season. 
  • Setiap seasonnya tidak lebih dari 30 episode.
  • Jalan ceritanya seperti cerita bersambung, hampir setiap akhir episode bakal bikin kita penasaran buat menonton lanjutannya. Dengan alasan ini, saya lebih memilih menonton serial TV yang sudah complete, biar ga penasaran nunggunya.
  • Dari beberapa seri asia yang saya tonton cuma ada 1 yang sad ending, sisanya happy ending. Sebenarnya dari awal saya sudah tahu bakal sad ending, tapi saya tonton juga karena aktornya terkenal hahaha.

Beberapa jalan cerita dalam TV Seri terasa mengada-ada, tapi kadangkala mereka juga berusaha mengangkat cerita dari isu yang sedang hangat dibicarakan di dunia nyata. Belakangan ini saya lebih suka nonton drama asia karena ceritanya ga terlalu banyak sampai ratusan episode hehehe. 

Gimana dengan sinetron Indonesia? masuk kategori mana? aduh kalau itu sih saya ga bisa komen, karena saya ga pernah nonton lagi. Tapi kalau dari jumlah episodenya, ada juga yang seperti Serial TV Barat. Duluuuuuu pernah juga menonton beberapa sinetron, tapi seperti halnya telenovela, saya sudah lupa judulnya dan jalan ceritanya hahaha. Sekarang sih udah ga minat ngikutin sinetron Indonesia, karena adegannya terkadang penuh delikan mata dan perpindahan wajah dengan cepat yang bikin sakit kepala menontonnya hehehe. Eh tapi, kalau ada yang bisa rekomendasi sinetron Indonesia, boleh deh ntar dicoba tonton, siapa tahu sekarang sinetron Indonesia udah meningkat kualitasnya mengikuti TV Seri Korea hehehehe.

Review Homeschooling Grade 3 Term 1

Mulai besok, saya memutuskan untuk meliburkan kegiatan homeschooling Jonathan. Pelajaran kelas 3 yang sudah dimulai sejak bulan Juli dengan jadwal mengerjakan workbook 4 hari seminggu berhasil menyelesaikan lebih dari target materi yang direncanakan semula. Rencananya term ke-2 akan dimulai setelah kembali dari Indonesia. Liburan panjang dulu kayak sekolah-sekolah juga kan ada liburan panjang hehehe.

Kegiatan homeschool grade 3 ini lebih banyak dikerjakan Jonathan secara mandiri. Kegiatannya masih seperti sebelumnya dimulai jam 9 pagi dan selesai sebelum jam 12 siang. Hari tertentu bisa selesai jam 1.30 karena paginya ada kegiatan les piano 1 jam di luar rumah. Dibandingkan tahun sebelumnya, sekarang ini jadwalnya sudah semakin jelas dan saya juga berusaha mencetak jadwal mingguan untuk Jonathan. Kami masih cukup fleksibel, tapi biasanya saya upayakan kalau tidak terpaksa kami tetap kerjakan semuanya dipagi hari.

Lanjutkan membaca “Review Homeschooling Grade 3 Term 1”

Review Brain Quest Deck (Flash Card)

Kali ini saya mau mereview flash card dari Brain Quest. Pertama membeli produk brain quest ini waktu Jonathan masih 2 tahun. Kami menggunakannya tidak terlalu rutin, tapi biasanya sebagai salah satu aktivitas sebelum siap-siap tidur. Flash card brain quest pertama yang kami punya tentunya untuk umur 2-3 tahun, dengan 350 pertanyaan yang berguna membangun vocabulary dari anak usia tersebut. 

Sebagian dari koleksi BrainQuest kami

Jonathan tergolong cepat berbicara dan mengerti banyak hal, dia senang sekali bermain dengan kartu-kartu brain quest ini. Biasanya dalam 1 box ada 2 set kartu, dan terbagi berbagai topik seperti topik bangun tidur, berpakaian, siap-siap berangkat sekolah, kegiatan di sekolah, ke taman, ke playground, di rumah bahkan sampai topik liburan. 

Brain quest ini memang menggunakan bahasa Inggris, tapi karena memang kami dari awal menggunakan 2 bahasa, Inggris dan Indonesia, Jonathan tidak ada masalah dan memang menambah banyak perbendaharaan kata-katanya dia. Setelah agak lama, Jonathan sempat bosan dan kami jadi lupa dengan kegiatan bermain dengan kartu Brain Quest ini.

Setelah Jonathan masuk sekolah, dia ingat dengan kartu Brain Quest yang dia punya dan minta dibelikan seri umur berikutnya. Waktu itu, ga selalu ada urutan umur berikut dari 2-3 tahun, jadi kami sempat skip membeli umur berikutnya 4-5 tahun dan 5-6 tahun. Setelah Jonathan bisa membaca, dia sering membaca sendiri pertanyaan dan jawaban yang ada di kartu. Kadang-kadang dia minta kami bacakan, dan semua pertanyaan yang ada dia bisa ingat jawabannya. Sekali bermain kami ga selalu membaca dari awal sampai akhir, paling ya 5 – 10 kartu saja.

Sejak Joshua mengenal huruf a,b,c dan tertarik dengan membaca, Joshua juga senang diajak bermain dengan Brain Quest. Perkembangan bicara Joshua berbeda dengan Jonathan, Joshua lebih memilih berbahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Setelah beberpa kali diajak tanya jawab dengan kartu brainquest, dia malah sering main sendiri dengan kartu-kartu yang ada. Dia seperti bisa membaca pertanyaan dan jawabannya sehingga kadang saya bertanya-tanya Joshua beneran bisa baca atau dia memang mampu menghapal tanpa pengertian 100 persen?

Karena Joshua suka juga bermain dengan kartu Brain Quest, kami melengkapi seri umur 3-4 tahun. Tapi sejak beberapa waktu lalu, Joshua ga berhenti dengan brainquest yang diperuntukkan sesuai umurnya, dia malah pengen baca juga punya Jonathan untuk kelas 1 dan kelas 2 (tapi kosakatanya sudah terlalu sulit, jadi dia sering minta kami bacakan saja).

Contoh pertanyaan dan jawaban kartu BrainQuest

Selain flash card, brain quest juga ada workbook, app di nintendo dan seri write&erase. Untuk workbook, kami tidak beli semuanya, kami beli hanya kalau Jonathan berjanji untuk mengerjakannya. App nya juga ada untuk grade tertentu saja. Untuk write&erase nya saya belum pernah menemukan di Chiang Mai, padahal kalau ada, pasti Joshua akan senang sekali hehehe.

Kami suka Brain Quest ini karena ukurannya kecil bisa dengan mudah dibawa-bawa di mobil. Pertanyaan dan jawabannya juga dikategorikan berdasarkan umur dan bisa dimainkan sedikit demi sedikit. Untuk anak yang tertarik baca seperti Joshua, kartu-kartu ini juga bisa dipakai untuk dia berusaha baca. Mungkin awalnya dia menghapalkan pertanyaan dan jawabannya, tapi sekarang saya perhatikan dia mulai mengerti dan berusaha merangkai huruf di mana saja untuk dia baca.

Kami menggunakan kartu-kartu ini bukan untuk mendrill anak dan harus hapal, tapi mengikuti apakah anaknya mau bermain atau tidak. Kalau misalnya mereka sedang tidak ingin tanya jawab ya kami bacakan buku yang lain saja. Tapi melihat bagaimana Jonathan dan Joshua bermain menggunakan kartu-kartu dan workbook dari Brain Quest, kami cukup senang karena mereka menganggap belajar itu bukan beban dan seperti menjawab teka-teki silang saja hehehe. Kartu dan workbook dari Brain Quest ini seperti investasi buku. Membantu anak untuk suka belajar tanpa beban dan tetap fun.

Review Mainan Tupperware Shape – O Ball

Saya baru tahu Tupperware memproduksi mainan juga setelah membeli bola yang berisikan puzzle bentuk-bentuk geometri ini. Waktu Jonathan masih 2 tahun, saya pernah melihat mainan seperti ini ketika sedang playdate di gereja, tapi saya tidak memperhatikan kalau bola biru merah ini merk tupperware.

Waktu Joshua masih bayi, saya gak sengaja menemukan mainan ini di sebuah toko barang bekas dari Jepang yang jualnya kiloan. Sempat pesimis kalau bentuk-bentuknya masih lengkap, tapi ternyata masih lengkap 10 puzzle bentuk di dalamnya. Serasa nemu harta karun deh.

Sejak Joshua masih belum bisa jalan, sekitar 1 tahunan dia sudah senang main dengan puzzle bola ini. Dia bisa main cukup lama dan berkali-kali walau sudah berhasil dia minta main lagi dan lagi.

Setelah agak lama saya perhatikan, baru saya melihat ada tulisan Tupperware di bola nya. Lalu saya juga baru mengamati, di dalam bentuk geometrinya ada angka dan titik-titik sejumlah angkanya. Kalau diperhatikan mereka berusaha membuat angka yang tercetak di dalamnya sejumlah sisi dari bentuk geometrinya. Mulai 1 untuk lingkaran dan 10 untuk bentuk bintang.

Selain bermain memasukkan puzzle ke dalam bolanya, Joshua juga berusaha menyebutkan nama bentuknya setiap kali sebelum memasukkan bentuk ke dalam bola.  Setelah dia mengenal angka, dia juga suka mengurutkan objeknya berdasarkan angka di dalamnya.

Barusan saya iseng membaca review benda ini, ternyata mainan ini merupakan mainan klasik dari puluhan tahun silam. Ada yang anaknya sudah berumur 30 tahunan dan mainan ini diwariskan ke cucuya. Kalau melihat dari material plastiknya memang cukup kuat, asalkan jumlah shapesnya nggak hilang, mainan ini memang bisa bertahan cukup lama.

Tapi sepertinya, daripada disimpan puluhan tahun, mainan ini akan saya donasikan atau dijual lagi saja. Lumayan kan bisa untuk beli mainan lainnya hehehe. Tapi untuk sekarang ini, walau mainan ini sudah terlalu gampang untuk Joshua mainkan, dia masih suka memainkannya cukup lama. 

Mainan ini selain mengenalkan bentuk dan angka, juga bisa dipakai untuk mengajarkan kata-kata buka, keluarkan, masukkan, urutkan. Ukurannya juga cukup besar dan tidak perlu kuatir di masukkan ke mulut, tapi juga tidak terlalu besar sehingga anak susah memegangnya. 

Kalau ada yang punya anak toddler dan bingung mau beliin mainan lagi, saya merekomendasikan mainan ini. Kalau bisa beli bekas saja, soalnya harganya barunya sepertinya cukup mahal. Asal bentuk-bentuknya masih lengkap, mainan ini masih cukup fun untuk dimainkan

Review TV Series Numberjacks

Hari ini mau mereview salah satu tontonan yang sering ditonton sama anak-anak. Awalnya nemu ga sengaja dari youtube, waktu itu mencari cara supaya Jonathan merasa lebih fun untuk belajar math facts, eh ternyata malah dapat serial yang sifatnya bukan cuma mengajarkan mathfacts saja.

Serial numberjacks merupakan animasi komputer yang disisipkan ke dunia nyata. Tokoh utama yang akan menyelesaikan permasalahan   adalah karakter animasi nomor mulai 0 sampai 9 dengan cara matematis. Seri ini asalnya dari UK, tapi bahasa Inggrisnya ga british-british amat. Kami biasanya memberikannya random kadang-kadang berdasarkan nomor yang akan jadi pahlawan. Satu episodenya sekitar 15 menitan, tapi ya di YouTube kadang sudah digabung misalnya semua episode untuk numberjacks nomor 4 dan 5.

Lanjutkan membaca “Review TV Series Numberjacks”