Dari hari Senin, dapat tema tantangan menulis untuk KLIP dengan tema: Mainan yang kuwariskan untuk anakku. Sejak membaca temanya, sampai hari ini, saya tetap tidak menemukan jawabannya.
Menurut saya, walaupun mainan itu ada yang tahan bertahun-tahun dan bisa saja secara literal diwariskan ke generasi berikutnya seperti Lego block, atau permainan game boy yang masih populer dari jaman saya kecil sampai sekarang, tapi entah kenapa hati ini berkata: warisan buat anak itu bukan mainan dan bukan benda secara fisik.
Mungkin pembaca akan bertanya-tanya: terus apa dong yang diwariskan kalau gitu? Sabar ya, nanti akan sampai ke sana, tapi saya mau cerita dulu tentang apa yang diwariskan orangtua saya kepada saya.
Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan tentang staycation pertama kami. Tanpa disadari, tahun lalu, di akhir pekan yang sama kami juga berlibur di dalam negeri Thailand. Bedanya, tahun lalu kami pergi ke Phuket dan menginap beberapa malam. Kemarin, karena tujuannya masih dekat dari rumah, kami sengaja menginap 1 malam, bersantai di penginapan dan sebelum pulang ke rumah barulah berjalan-jalan ke tempat wisata di sekitar tempat menginap.
Setelah lelah berenang di hari sebelumnya, kami tidur awal dan akibatnya anak-anak bangun kepagian! Jam 6 pagi mereka sudah bangun. Rencana awal, mau berenang dulu di pagi hari. Tapi anak-anak sudah kelaparan, jadi kami mengubah rencana untuk sarapan sebelum berenang. Tapi ternyata restorannya baru buka jam 8 pagi. Restorannya juga tipe pesan dulu baru disiapkan. Alhasil, sekitar jam 8.30 baru bisa menikmati sarapan pagi. Untuk yang biasa sarapan jam 8 pagi, perbedaan 30 menit ternyata cukup terasa, hehehe.
Sebenarnya ide staycation alias nginep di tempat yang cuma beberapa kilometer dari rumah tidak pernah menarik buat saya. Tapi, setelah terjadi pandemi dan Thailand aman kembali, baiklah kita membantu menggerakkan roda ekonomi sambil menyenangkan hati anak-anak.
Jonathan baru saja menyelesaikan semua pelajaran homeschooling kelas 4 nya, sebelum mulai kelas 5, kami memutuskan untuk memberi hadiah berupa liburan yang tidak terlalu jauh dari rumah. Lagipula perjalanan ke Bangkok yang kami lakukan akhir bulan Juni tidak bisa dianggap liburan, karena fokusnya ya urus passpor saja.
Tujuan liburan kali ini beneran dekat dari rumah. Menurut Google Map cuma sekitar 40 km dari rumah, tapi karena macet ya hampir 1 jam di jalan.
Salah satu kelebihan tinggal di Chiang Mai, tidak jauh dari rumah masih banyak sawah dan daerah yang serasa di kampung halaman. Tapi, karena kami tidak berniat ikut bercocok tanam, ya tentunya mencari penginapan yang walau lokasi suasana desa, tapi fasilitas modern. Wifi dan kolam renang, selain rumah yang kokoh dengan kamar mandi yang bersih tentu saja syarat utama.
Hari Senin yang lalu, merupakan hari libur di Thailand. Tapi kantornya Joe tidak libur. Jonathan ada kegiatan homeschool grup dengan teman-temannya. Setelah mengantar Jonathan, saya ajak Joshua jalan-jalan berdua.
Saya bawa Joshua ke taman kota, mumpung udara cerah. Tujuan utamanya ya tentu saja main di playground. Saya pikir akan ada banyak anak-anak bermain di sana. Tapi mungkin saya datang kepagian, anak-anaknya belum banyak yang datang bermain di sana.
Mungkin karena tidak banyak teman bermain, Joshua tidak terlalu bersemangat main di playgroundnya. Selain kami, ada 2 anak perempuan yang agak lebih besar main di sana. Tapi anak-anak itu mainnya bukan meluncur ke bawah, tapi memanjat ke atas.
Sebenarnya, saya ingat sebelumnya waktu kami ke sini bersama Jonathan, Joshua dan Jona juga mainnya bukan cuma meluncur ke bawah, tapi manjat ke atas baru meluncur ke bawah. Main dengan cara ini bagus untuk motorik kasar anak-anak, selama tidak membahayakan anak lain, seringnya saya biarkan mereka main perosotan dengan cara memanjat dulu baru merosot.
Setelah hampir 4 bulan di rumah saja, mulai dari gara-gara polusi sampai dengan pandemi Covid-19, hari Minggu kemarin kami ngemall lagi. Bersyukur kalau di Thailand tidak ada polusi lagi dan penyebaran infeksi Covid-19 sudah tidak ada transmisi lokal selama 40 hari lebih.
Semua yang dulu ditutup sudah mulai dibuka kembali. Semua sudah terasa normal, bedanya selama di luar setiap orang disarankan memakai masker. Sebelum masuk mall tetap ada pemeriksaan suhu tubuh dan check-in dengan aplikasi. Kalau masih ada kasus infeksi setiap harinya, pastinya kami masih di rumah saja.
Saya perhatikan, check-in aplikasi ataupun mendaftarkan nama dan nomor telepon sebenarnya bisa saja tidak dilakukan. Tapi kami memilih tetap melakukannya, supaya kalau tiba-tiba ada penyebaran kasus baru, kami bisa dihubungi dan segera diperiksa. Tidak berharap ada kasus baru sih, tapi namanya juga lebih baik menjaga daripada terkena.
Tulisan ini merupakan kelanjutan cerita ketika kami ke Bangkok akhir bulan Juni 2020 untuk mengurus paspor saya dan anak-anak. Setelah mengambil paspor dari KBRI Bangkok, kami memanggil taksi untuk mengantarkan kami ke bandara Don Muang. Kami naik pesawat dari Don Muang menuju Chiang Mai.
Jarak dari KBRI Bangkok ke Bandara Don Muang itu sekitar 22,5 km. Sepanjang perjalanan sekitar 1 jam, supir taksi bercerita tanpa henti dalam bahasa Thai dan sesekali berbahasa Inggris. Dari logatnya ketika mengucapkan kata-kata dalam bahasa Inggris, saya dan Joe sepakat, kalau bahasa Inggrisnya si tukang taksi ini cukup lumayan. Tapi, karena saya selalu menjawab dalam bahasa Thai, tentu saja dia lebih memilih ngobrol dalam bahasa Thai.
Ceritanya mulai dari pertanyaan tentang situasi Covid di Indonesia, sampai pembangunan BTS Skytrain di Bangkok dari Don Mueang yang menuju ke pusat kota Bangkok. Tulisan ini sekalian juga untuk menceritakan ke Joe tentang apa saja yang diceritakan si supir taksi.
Karena kami naik taksi dari depan kedutaan Republik Indonesia, supir taksi langsung bertanya, “Kalian orang Indonesia ya? mau pulang ke Indonesia atau baru datang dari Indonesia?” Saya jawab kalau kami orang Indonesia tinggal di Chiang Mai, ke Bangkok untuk urusan surat-surat saja.
Supir taksi bertanya lagi, “Indonesia masih tutup karena Covid-19 kan? Saya baca, setiap hari ada sampai di atas seribu orang yang terkena Covid-19?” Saya menghela napas sebelum menjawab, “Iya, tiap hari sekarang ada di atas 1000 orang positif, dan totalnya sudah sekitar 50 ribu orang terkena.” Percakapan ini terjadi hari Selasa, tanggal 30 Juni 2020 lalu, pada waktu itu saya ingat sih 50 ribuan, ketika saya cek lagi ternyata saat itu sudah 55 ribu kasus aktif dan hari ini ketika saya menuliskan sudah lebih dari 60 ribu kasus positif di Indonesia.
Tentunya, reaksi si supir taksi sudah bisa saya duga. Dia membanggakan Thailand yang sudah tidak ada transmisi lokal lebih dari sebulan (hari ini sudah 41 hari tidak ada transmisi lokal), dan total kasus yang terjadi tidak lebih dari 4000 kasus. Dia dengan bersemangat menceritakan kalau sekarang ini sebenarnya dia bahkan berani tidak memakai masker karena sudah merasa aman, tapi ya karena aturannya masih menganjurkan memakai masker, maka dia menuruti saja.
Sekali-kali cerita tentang kampus Institut Teknologi Bandung (ITB). Mumpung ITB nya lagi ulang tahun ke-100 (3 Juli 1920 – 3 Juli 2020). Ceritanya panjang kalau mau diceritakan semuanya, jadi mending saya cerita apa yang teringat saja. Kalau mau baca cerita versi Joe, bisa baca di sini.
Beberapa hari ini, ada banyak teman-teman di Facebook yang ganti foto profil dengan bingkai 100 tahun ITB. Saya jadi menyadari ada banyak teman-teman alumni ITB di FB saya, tapi selama ini mereka tidak update status, mungkin mereka bikin akun cuma untuk baca-baca status yang lain saja.
Saya, tentu saja ikutan ganti foto profil dengan lambang gajah duduk itu. Terbayang kalau sekarang tidak sedang masa pandemi, kemungkinan akan ada perhelatan besar diadakan di kampus ITB. Usia 100 tahun itu istimewa, patut dirayakan, tapi ya karena pandemi, marilah meramaikan ulangtahun ITB ke-100 secara virtual di dunia maya.