Ketika perjalanan ke Bangkok kemarin, saya perhatikan ada beberapa orang menggunakan face shield selain masker. Sebenarnya sudah tahu lama tentang face shield ini, tapi mau beli langsung kok tidak ketemu juga. Akhirnya pulang dari Bangkok, kami membeli face shield secara online.
Secara garis besar ada 3 jenis face shield yang tersedia online. Tapi karena sekilas berbeda, kami membeli 5 face shield yang harganya mulai dari 19 baht sampai 150 baht. Saya akan mereview masing-masing faceshield tersebut.
Tipe pertama, model kacamata
Waktu pertama kali melihat ini, datangnya berupa lembaran plastik dan kacamata yang terlepas dari plastiknya. Awalnya saya merasa aneh karena terlihat plastiknya buram dan tidak bening. Lalu saya berhasil melepas 1 lapisan di bagian luar plastiknya, tapi terlihat masih tetap buram. Akhirnya saya baru menyadari kalau ternyata ada 1 lapisan lagi di bagian dalam yang perlu dilepas. Dan sekarang plastiknya terlihat lebih bening.
Hari Senin yang lalu, merupakan hari libur di Thailand. Tapi kantornya Joe tidak libur. Jonathan ada kegiatan homeschool grup dengan teman-temannya. Setelah mengantar Jonathan, saya ajak Joshua jalan-jalan berdua.
Saya bawa Joshua ke taman kota, mumpung udara cerah. Tujuan utamanya ya tentu saja main di playground. Saya pikir akan ada banyak anak-anak bermain di sana. Tapi mungkin saya datang kepagian, anak-anaknya belum banyak yang datang bermain di sana.
Mungkin karena tidak banyak teman bermain, Joshua tidak terlalu bersemangat main di playgroundnya. Selain kami, ada 2 anak perempuan yang agak lebih besar main di sana. Tapi anak-anak itu mainnya bukan meluncur ke bawah, tapi memanjat ke atas.
Sebenarnya, saya ingat sebelumnya waktu kami ke sini bersama Jonathan, Joshua dan Jona juga mainnya bukan cuma meluncur ke bawah, tapi manjat ke atas baru meluncur ke bawah. Main dengan cara ini bagus untuk motorik kasar anak-anak, selama tidak membahayakan anak lain, seringnya saya biarkan mereka main perosotan dengan cara memanjat dulu baru merosot.
Setelah hampir 4 bulan di rumah saja, mulai dari gara-gara polusi sampai dengan pandemi Covid-19, hari Minggu kemarin kami ngemall lagi. Bersyukur kalau di Thailand tidak ada polusi lagi dan penyebaran infeksi Covid-19 sudah tidak ada transmisi lokal selama 40 hari lebih.
Semua yang dulu ditutup sudah mulai dibuka kembali. Semua sudah terasa normal, bedanya selama di luar setiap orang disarankan memakai masker. Sebelum masuk mall tetap ada pemeriksaan suhu tubuh dan check-in dengan aplikasi. Kalau masih ada kasus infeksi setiap harinya, pastinya kami masih di rumah saja.
Saya perhatikan, check-in aplikasi ataupun mendaftarkan nama dan nomor telepon sebenarnya bisa saja tidak dilakukan. Tapi kami memilih tetap melakukannya, supaya kalau tiba-tiba ada penyebaran kasus baru, kami bisa dihubungi dan segera diperiksa. Tidak berharap ada kasus baru sih, tapi namanya juga lebih baik menjaga daripada terkena.
Tulisan ini merupakan kelanjutan cerita ketika kami ke Bangkok akhir bulan Juni 2020 untuk mengurus paspor saya dan anak-anak. Setelah mengambil paspor dari KBRI Bangkok, kami memanggil taksi untuk mengantarkan kami ke bandara Don Muang. Kami naik pesawat dari Don Muang menuju Chiang Mai.
Jarak dari KBRI Bangkok ke Bandara Don Muang itu sekitar 22,5 km. Sepanjang perjalanan sekitar 1 jam, supir taksi bercerita tanpa henti dalam bahasa Thai dan sesekali berbahasa Inggris. Dari logatnya ketika mengucapkan kata-kata dalam bahasa Inggris, saya dan Joe sepakat, kalau bahasa Inggrisnya si tukang taksi ini cukup lumayan. Tapi, karena saya selalu menjawab dalam bahasa Thai, tentu saja dia lebih memilih ngobrol dalam bahasa Thai.
Ceritanya mulai dari pertanyaan tentang situasi Covid di Indonesia, sampai pembangunan BTS Skytrain di Bangkok dari Don Mueang yang menuju ke pusat kota Bangkok. Tulisan ini sekalian juga untuk menceritakan ke Joe tentang apa saja yang diceritakan si supir taksi.
Karena kami naik taksi dari depan kedutaan Republik Indonesia, supir taksi langsung bertanya, “Kalian orang Indonesia ya? mau pulang ke Indonesia atau baru datang dari Indonesia?” Saya jawab kalau kami orang Indonesia tinggal di Chiang Mai, ke Bangkok untuk urusan surat-surat saja.
Supir taksi bertanya lagi, “Indonesia masih tutup karena Covid-19 kan? Saya baca, setiap hari ada sampai di atas seribu orang yang terkena Covid-19?” Saya menghela napas sebelum menjawab, “Iya, tiap hari sekarang ada di atas 1000 orang positif, dan totalnya sudah sekitar 50 ribu orang terkena.” Percakapan ini terjadi hari Selasa, tanggal 30 Juni 2020 lalu, pada waktu itu saya ingat sih 50 ribuan, ketika saya cek lagi ternyata saat itu sudah 55 ribu kasus aktif dan hari ini ketika saya menuliskan sudah lebih dari 60 ribu kasus positif di Indonesia.
Tentunya, reaksi si supir taksi sudah bisa saya duga. Dia membanggakan Thailand yang sudah tidak ada transmisi lokal lebih dari sebulan (hari ini sudah 41 hari tidak ada transmisi lokal), dan total kasus yang terjadi tidak lebih dari 4000 kasus. Dia dengan bersemangat menceritakan kalau sekarang ini sebenarnya dia bahkan berani tidak memakai masker karena sudah merasa aman, tapi ya karena aturannya masih menganjurkan memakai masker, maka dia menuruti saja.
Hari ini topiknya seputar kokoriyaan lagi. Jadi topik ke-12 ini intinya tentang drama remake. Apa itu drama remake? Ya kalau versi saya drama remake itu kira-kira drama yang dibuat ulang, baik ditiru/diambil tokoh-tokohnya dan garis besar ceritanya sebagian atau keseluruhan.
Drama Korea tidak semuanya asli idenya dari Korea, ada banyak juga yang merupakan tiruan dari negara lain dan bisa tetap sukses. Banyak juga drama Korea yang ditiru oleh negara lain (termasuk Thai dan Indonesia).
Salah satu faktor drama dibuat ulang itu tentunya karena cukup sukses di negara asalnya. Dari berbagai drama Amerika yang saya tonton, ternyata banyak juga yang ditiru dan dibuat ulang versi Koreanya. Misalnya saja Good Wife, Designated Survivor dan Suits.
Sekali-kali cerita tentang kampus Institut Teknologi Bandung (ITB). Mumpung ITB nya lagi ulang tahun ke-100 (3 Juli 1920 – 3 Juli 2020). Ceritanya panjang kalau mau diceritakan semuanya, jadi mending saya cerita apa yang teringat saja. Kalau mau baca cerita versi Joe, bisa baca di sini.
Beberapa hari ini, ada banyak teman-teman di Facebook yang ganti foto profil dengan bingkai 100 tahun ITB. Saya jadi menyadari ada banyak teman-teman alumni ITB di FB saya, tapi selama ini mereka tidak update status, mungkin mereka bikin akun cuma untuk baca-baca status yang lain saja.
Saya, tentu saja ikutan ganti foto profil dengan lambang gajah duduk itu. Terbayang kalau sekarang tidak sedang masa pandemi, kemungkinan akan ada perhelatan besar diadakan di kampus ITB. Usia 100 tahun itu istimewa, patut dirayakan, tapi ya karena pandemi, marilah meramaikan ulangtahun ITB ke-100 secara virtual di dunia maya.
Selain drama, Korea juga memproduksi berbagai acara televisi lainnya, seperti variety show. Saya belum pernah menonton variety show made in Korea. Di rumah, yang suka menonton acara sejenis variety show itu Joe dan anak-anak, saya paling ikut melirik.
Biasanya mereka menonton acara yang ada di Netflix, seperti Nailed It! yang merupakan acara masak-masak kue dan The Floor is Lava yang merupakan permainan di mana pemainnya berusaha berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan berpura-pura lantainya penuh dengan lava, jadi tidak boleh jatuh kalau tidak mau masuk ke lava.
Mereka juga suka dengan acara sejenis White Rabbit Projects yang menceritakan tentang percobaan untuk mengulang sebuah teori tentang berbagai kejadian dalam sejarah terkait teknologi. Acara lain yang pernah juga kami tonton itu Street Food Asia, terutama episode makanan di Indonesia, Thailand dan Korea, sungguh menginspirasi bikin ingin mencoba apa yang ditampilkan di sana.
Nah, setelah sekian banyak nonton acara variety show, saya tidak pernah terpikir untuk menonton variety show yang diproduksi Korea. Padahal ada banyak loh variety show dari Korea. Hari ini, untuk pertama kalinya saya menonton variety show Twogether yang bercerita tentang perjalanan Lee Seung-gi dan Jasper Liu dalam memenuhi misi traveling mereka sebelum bertemu dengan fans.