Pengalaman Mesen Grab Food

Ceritanya hari ini mau pesan makanan spaghetti carbonara biar Joshua ga cuma makan nasi telur dadar doang selama di Indonesia. Saya dengar pengalaman orang-orang kalau sekarang gampang pesan makanan bisa pake GrabFood aja, jadi ga usah keluar rumah atau capek menunggu makanan atau macet di jalan. Jadilah saya mencoba untuk menggunakan jasa GrabFood.

Dari dalam aplikasi, saya cari daftar restoran yang jualan carbonara, trus saya pilih yang jaraknya paling dekat dan waktu tunggu nya kurang dari 1 jam. Untuk milihnya tapi gak ada fasilitas mengurutkan berdasarkan waktu tunggu, jadi saya milihnya agak random aja dari beberapa hasil pencari pertama. Menunya terlihat menarik, harganya ga terlalu mahal, reviewnya juga ga jelek. Semuanya terlihat menjanjikan, eh driver Grab nya ga bisa nemu restorannya. Pelajaran pertama: milih restoran harus yang udah pernah tau lokasinya dan namanya ga mirip-mirip kalau di Google. Orderan pertama akhirnya saya cancel deh. Terbuang waktu 15 menit karena tadi juga agak lama milih-milih menunya dan juga nunggu jasa Grabnya mencari restorannya.

Masalah mencari restoran ini, driver grabnya katanya udah ngikutin pin map nya tapi ga nemu. Saya coba cari pake google map juga, karena pengalaman pertama, saya ga tahu kalau kita bisa melihat profil restorannya untuk tahu detail alamat restorannya. Kasian sebenarnya karena driver grabnya jadi ga dapat apa-apa, padahal udah muter-muter nyari. Akhirnya saya cancel dengan alasan restoran tidak ditemukan, saya ga tahu apakah nantinya restoran itu akan dihapus dari list grab food, atau masnya aja kurang cermat mencari. Katanya dia coba telepon ke nomor restorannya, tapi nomornya tidak aktif.

Berikutnya, karena kelihatan mau hujan, mau gak mau masih lebih praktis memesan lewat GrabFood, saya masih mau mencoba peruntungan. Saya ketemu restoran lain yang juga waktu tunggunya ga sampe 1 jam. Orderan berhasil dilakukan dengan lancar, pilih-pliih menu dan dapat drivernya. Setelah driver tiba di lokasi eh ternyata menu nya katanya udah ganti *sigh*. Kayaknya restorannya jarang di order ya, jadi mereka ga gitu perduli untuk mengupdate menu makanannya. Masalahnya, saya bayarnya pake non tunai OVO, kalau ordernya ganti otomatis total harganya bakal ganti.

Karena saya ga menemukan cara mengubah pesanan via aplikasi karena kasus menunya berganti, dan saya capek ngetik via message, saya telpon deh melalui aplikasinya. Ekspektasi saya, saya akan bicara dengan driver Grab nya, ternyata yang nerima orang restorannya. Saya belum nemu cara nelpon drivernya malah. Dengan orang restorannya, saya ubah pesanan dan waktu saya bilang mau ngomong sama mas drivernya, eh malah ditutup *grmbl, mulai emosi rasanya hahaha*. Akhirnya messsage lagi ke mas drivernya, nanyain gimana tuh kalau ganti pesanan, terus kata masnya nanti dibantuin kalau dia sudah antar makanan.

Waktu makanan tiba, eh dari 4 menu yang saya pilih, yang diantar cuma 3. Kata mas drivernya, orang restorannya udah dibilangin pesanananya ada 4 tapi si restoran ngotot bilang 3. Terus harga makanan di aplikasi dan bon yang dikasih restorannya juga lebih mahal harga yang dari restorannya. Haish, ya untungnya saya belum kelaparan, dan pesanan utamanya ada, jadi ya sudahlah. Ternyata, kalau ada selisih seperti itu, yang akan membayar dulu itu drivernya, jadi walaupun pesanan via non tunai, duitnya itu masuk ke account drivernya. Jadi tadi karena pesanan dari 4 jadi 3, saya gak perlu nambah malahan masih ada kembalian. Pelajaran ke-2: lain kali pesen makanan bayar cash aja biar gampang kalau totalnya ganti karena ganti orderan (dan lebih baik memang memesan makanan di restoran yang kita sudah tau pasti letak dan menunya, biar ga kejadian lagi seperti hari ini). Untungnya, tujuan utama pembelian tercapai, Joshua sukses makannya ga pake susah dan abis dong 1 porsi sendiri, walaupun menurut saya rasanya ya biasa aja dan beda dari ekspektasi sih hehehe.

Saya pikir-pikir, biaya delivery makanan di sini 4000 rupiah itu gak sampai 10 baht, kalau di Chiang Mai, pemesanan makanan itu biayanya 40 baht (lebih 4x dari biaya delivery di sini). Saya tahu cari duit itu gak gampang, tapi saya jadi kasian dengan driver ojek online yang biaya deliverynya dihargai murah sekali di sini. Kalau andaikan tadi saya harus pergi sendiri mencari restorannya muter-muter, lalu mesen makanan menunya ga ada, dan akhirnya pulang lagi ke rumah, rasanya biayanya pastilah lebih dari 4000 rupiah. Tapi saya tahu, kalau harga deliverynya lebih dari itu, mungkin akan berkurang orang yang menggunakan jasa delivery makanan ini.

Dulu, saya ingat jasa pengiriman makanan itu biasanya dilakukan oleh restorannya. Saya jadi kepikiran, sekarang biaya delivery makanan dari restorannya langsung jadi berapa ya?, Jaman awal kerja di Bandung, dulu saya inget sering banget delivery Hoka-Hoka Bento atau Pizza Hut. Sekarang, kalau biaya deliverynya lebih dari 4000 rupiah, bisa-bisa orang memilih jasa ojek online saja untuk memesan makanan. 

Ada yang punya tips-tips lain sebelum menggunakan jasa Grab Food ini? atau ada yang tahu gimana mengubah pesanan dari aplikasi kalau drivernya udah sampai restoran dan menunya berganti?

Liburan Hari ke-6: Perpustakaan Nasional

Hari ini janjian ketemu dengan Bu Inge di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia . Saya baru tau kalau ada perpustakaan keren seperti pusnas ini. Dulu pernah sekilas baca berita soal perpustakaan yang dilengkapi dengan ruang khusus untuk koleksi anak-anak dengan tempat yang nyaman untuk anak-anak membaca, tapi kalau bukan karena Bu Inge ada acara di pusnas, saya ga kepikiran bakal berkunjung ke pusnas pada liburan kali ini.

maket gedung perpustakaan nasional

Kami berangkat naik Grab lagi dari Depok. Perjalanannya cukup lancar, akan tetapi ketika sudah memasuki kawasan jl. medan merdeka selatan, ada penutupan ruas jalan karena ada demo. Google Map menyarankan memutar mengitari monas dulu, tapi bakal butuh waktu sekitar 20 menit, padahal kalau jalan tinggal 500 meter. Akhirnya kami putuskan untuk jalan saja, toh jalanannya cukup teduh dengan banyaknya pohon-pohon besar di pinggir jalan.

foto dulu sebelum masuk perpustakaan

Kesan pertama melihat bagian depan Perpustakaan Nasional, saya cukup kagum dengan hal-hal yang dipamerkan di gedung depannya di sana. Cara mereka menatanya juga terlihat cukup menarik dan artistik (padahal saya bukan orang yang mengerti banyak mengenai seni). Di bagian belakangnya ada gedung 24 lantai yang menyimpan berbagai koleksi buku. 

Waktu masuk ke lantai dasar, kami mengamati ada toilet dan kafe. Ada direktori apa saja koleksi yang disimpan di setiap lantainya. Tujuan utama kami ketemu Bu Inge yang sedang menghadiri launching buku di ruang serbaguna lantai 4, tapi karena acara mereka belum selesai, kami sempatkan ke lantai 7 untuk melihat ada apa di ruang koleksi bacaan untuk anak-anak.

Di ruangan khusus anak-anak, kita diminta untuk melepaskan sepatu dan meninggalkan makanan dan minuman di luar ruangan. Untuk penyimpanan tas, tersedia loker dengan kunci yang bisa kita pegang. Oh ya layanana perpustakaan ini setahu saya koleksinya hanya bisa dibaca di tempat. Untuk bisa masuk dan membaca di situ, kita tidak harus menjadi anggota. Perpustakaan ini bebas biaya masuk. 

Saya senang melihat berbagai koleksi buku yang ada untuk anak-anak, bahkan ada majalah Bobo segala. Jadi teringat masa kecil di mana kami kadang-kadang dibelikan majalah Bobo. Koleksi buku bersampul tebal (board book) juga cukup lumayan. Buku-buku berbahasa Inggris ataupun bilingual juga banyak tersedia di sana. Ah rasanya waktunya ga cukup banyak untuk browse buku-buku yang ada di sana. 

dekorasi di depan pusnas

Setelah sekitar 30 menit di lantai 7, kami turun ke lantai 4 untuk bertemu dengan bu Inge. Ternyata ada kantin juga di lantai 4, jadilah kami makan di sana saja daripada menghabiskan watu di jalan untuk naik taksi lagi. Bertemu dengan bu Inge itu suatu hal yang ditunggu-tunggu oleh Jonathan. Walaupun Oma Inge (demikian anak-anak memanggil bu Inge) bukanlah nenek kandung mereka, tapi Jonathan dan Joshua bisa senang bermain dengan oma Inge seperti bermain dengan eyang girl nya. 

Selesai makan di lantai 4 kami iseng ke lantai 24 untuk melihat pemandangan yang ada di sana. Sayangnya tidak ada ruang untuk duduk ngobrol dengan enak di lantai 24, anginnya juga cukup kencang di sana, jadi kami ga berlama-lama di luar dan memutuskan kembali ke bagian koleksi anak di lantai 7.

Dari lantai 24 kami turun ke lantai 7 untuk kembali ke ruang baca anak lagi. Sedikit catatan, menunggu lift di lantai 24 memakan waktu lama, karena ketika kami akan turun, tiba-tiba lift yang naik sudah sampai lantai 21 berbalik arah lagi turun. Kalau cuma beberapa lantai, mungkin kami sudah akan turun tangga saja supaya ga lama nunggu liftnya. Saya perhatikan, di setiap lantai yang kami kunjungi ada mushollanya dan kamar kecilnya. Semuanya terlihat cukup bersih. Untuk ukuran sebuah tempat yang free entrance, saya merasa cukup senang berada di pusnas. Catatan lainnya, entah kenapa begitu masuk ke area perpustakaan, sinyal hp pada hilang, untungnya di dalam perpustakaan ada wifi yang gratis untuk umum dan ya cukup lah aksesnya. 

Setelah puas ngobrol-ngobrol di lantai 7, kami memutuskan untuk pulang dulu, eeeeh teryata sedang hujan. Akhitnya kami ngopi-ngopi sambil nyemil di kafe yang ada di lantai dasar tadi. Rasa kopinya lumayan lah ya, apalagi setelah beberapa hari cuma dapat kopi instan saja. Karena sudah agak sore, kami memesan makanan untuk anak-anak. Walau kafe nya terlihat kecil, makanan cemilannya lumayan banyak variasinya.

Setelah hujan berhenti, kami pun beranjak pulang. Tapi karena kami pulang bersamaan dengan jam orang pulang kerja, jalanan yang kami lalui banyak macetnya. Bahkan di jalan tol cuma bisa kecepatan 10-20 km / per jam. Sampai di rumah eyang, Joshua sukses tertidur kecapean.

Secara keseluruhan, jalan-jalan ke perpustakaan cukup menyenangkan buat kami karena anak-anak kami menyukai buku. Yang menyenangkan juga harga makanan di pusnas cukup masuk akal dan ga semahal harga makan dimall. Koleksi buku bacaannya ada bahasa Inggris ataupun bilingual yang bisa dibaca anak-anak kami. Semoga di kemudian hari, di daerah-daerah semakin banyak perpustakaan yang bagus isinya seperti di perpustakaan nasional ini.

Liburan Hari ke-5: Bandar Djakarta Ancol

Hari ini dapat undangan makan bersama di Restoran Bandar Djakarta Ancol. Berhubung siangnya Joe ketemu duluan untuk diskusi dengan teman-temannya di daerah Jakarta pusat, saya dan anak-anak memilih untuk nyusul sore hari langsung ke Bandar Jakarta saja. Untuk pertama kalinya sejak liburan ke Jakarta, anak-anak bisa tidur siang dulu deh pada jamnya hahaha.

Bangun tidur, kami siap-siap umtuk ke Bandar Djakarta. Saya menggunakan jasa Grab Car lagi. Perjalanan dari Depok ke Ancol memakan waktu hampir 1 jam. Masuk daerah Ancol dikenakan biaya 25 ribu rupiah per orang dan 25 ribu untuk mobil dan pengemudinya. Ah harusnya tadi datang lebih awal biar sekalian jalan-jalan dulu ya di Ancolnya hehehe. 

Sampai di restoran, Joe yang sudah sampai 30 menit lebih dahulu dan sudah memesan makanan untuk anak-anak, eeh ternyata makanannya belum datang juga. Jadi kami memutuskan menambah memesan minuman dulu. Untuk pertama kalinya, Joshua mau minum jus jeruk di Indonesia. Selama ini semua jus jeruk yang kami pesan ditolak sama Joshua karena terlalu asam hehehe. Saya memesan es cappucino, berharap kopi dari biji kopi seperti di Chiang Mai, tapi ternyata rasanya seperti cappucino dari sachetan (oh well). 

Menunggu makanan datang, saya dan Jonathan jalan-jalan dulu di luar restoran. Karena mulai gelap, saya cuma ambil foto-foto sedikit saja. Untungnya, gak lama menunggu makanan anak-anak datang, jadi kami bisa memberi Joshua dan Jonathan makan dulu supaya nantinya bisa makan seafood dengan tenang. 

Restoran Bandar Djakarta ini sangat besar sekali, saya perhatikan banyak rombongan dari kantor-kantor mengadakan acara makan bersama di sana. Mungkin karena sudah akhir tahun, dan sebentar lagi libur Natal dan Tahun Baru, banyak kantor sejak hari Senin sudah pada ngadain acara makan malam bersama. Restoran ini ruangannya terbuka dan bebas merokok *sigh*. Hal begini sudah tidak diperbolehkan lagi di Chiang Mai, saya merasa kembali diingatkan kenapa saya lebih betah di Chiang Mai daripada Indonesia.

Restoran ini merupakan restoran Sea Food, makanan yang dipesan berupa lobster besar, kepiting asam manis, kepiting bakar, kerang, cumi goreng, ikan gurame goreng, ikan panggang dan sayurannya plecing kangkung dan kailan. Saya dan Joe ga sanggup makan banyak, jadi ya paling kami cicip sedikit ini dan itu.

Menurut saya, testur makanan laut itu mirip-mirip. Susah payah membuka kepiting, isinya ya mirip daging ikan. Cumi-cumi dan lobster juga teksturnya ya hampir sama, agak lebih keras dibanding tekstur ikan tapi ga banyak serat seperti daging. Menurut saya, makanan seafood ini mau dimasak apapun susah sekali meresap ke dalam bumbunya. Paling cocok ya makanannya harus di tambahin saus di luarnya supaya rasanya ada.

Satu kelemahan dari restoran besar adalah: pesanan apapun butuh waktu ekstra untuk segera datang ke meja, apalagi kalau pesananannya itu susulan. Tadi saya ditengah makan baru ingat kalau di Indonesia itu umumnya air minum itu ga diberikan kalau ga dipesan, jadi saya pesan air mineral 2 botol. Pelayan bertanya mau dingin atau biasa, dan saya sudah jawab biasa.

Beberapa menit berlalu, sampai ada 3 pelayan datang ke meja, saya tanyakan mana airnya, dan gak datang juga. Akhirnya datang air minumnya, dan dia bawa yang dingin *sigh*. Lalu datang lagi 1 botol yang biasa dan diberikan ke meja sebelah *sigh*, lalu datang lagi 1 botol dingin lagi. Ya kesimpulannya, pesanlah air minum sebelum anda makan kalau memang anda tipe butuh air minum biasa selesai makan. Untungnya saya pesan air minum bukan karena hampir keselek, kalau misalnya saya pesan udah mau keselek kayaknya bisa berabe deh tadi.

Foto sambil nunggu Grab

Selesai makan, kami foto bersama dan pesen Grab untuk pulang. Perjalanan pulang ke arah Depok ada sedikit macet dibanding berangkat, tapi ya gak sampai berhenti di jalan juga, itupun makan waktu 1,5 jam untuk tiba di rumah. Setelah 5 hari mengukur jalan Depok-Jakarta hampir setiap hari, sepertinya saya mengambil kesimpulan kalau saya ga akan bisa tinggal di kota ini. Butuh waktu dan effort yang sangat besar untuk menuju satu tempat. Rasanya jadi tua di jalan kalau butuh waktu total sekitar 2 atau 3 jam untuk perjalanan pergi dan pulangnya. Ah baru 5 hari liburan kok udah kangen Chiang Mai hehehe.

Liburan Hari ke-4: Jakarta Aquarium

Hari ini, kami dan keluarga adik-adik Joe jalan bareng ke Jakarta Aquarium. Lokasi Jakarta Aquarium ini di Neo SOHO Mall lantai LM dan LG. Sampai di sana, kami makan siang dulu di open Kitchen lantai 3A karena sudah hampir jam 12. Awalnya tempat makannya terlihat sepi. Jam 12 lewat sedikit tiba-tiba banyak sekali orang ada di mall (ya iyalah ya, namanya juga jam makan). Oh ya, mall ini tempat parkirnya di atas gedung mall nya sendiri. Masuk dan keluar parkiran terasa memusingkan karena naik gerakan memutar (spiral) beberapa lantai sampai atas.

Setelah makan, kami menuju lantai LM. Oh ya, harga tiket masuk untuk weekend lebih mahal dibanding hari biasa. Kami cari promosi pake kartu kredit BNI dan Traveloka. Kami beli tiket regular, karena biasanya anak-anak (terutama Joshua) masih takut dengan tontonan 5 Dimensi.  Tapi dengan promosi kartu BNI kami mendapatkan diskon 15 persen. Promosinya dengan 1 kartu hanya bisa untuk membeli 4 tiket dan kami punya 2 kartu BNI. Kami berangkat 12 orang, 6 dewasa dan 6 anak, tapi anak di atas 120 cm dihitung dewasa, jadilah kami harus membeli 7 dewasa dan 4 anak (1 anak masih bayi, dan anak di bawah 2 tahun belum dikenakan biaya).  Jadi kami beli 6 tiket dewasa dan 2 anak dengan kartu BNI dan 1 tiket dewasa plus 2 anak dengan Traveloka (kita ga bisa beli tiket anak doang dengan traveloka, jadi minimal harus ada 1 orang dewasanya).

Promosi begini sering berganti, jadi sebelum ke sana bisa cek dulu promosi yang masih berlaku. Kalau saya baca websitenya, ada juga promosi happy hour di hari biasa dan jam tertentu diskon 50 persen. Ada juga promosi moms and kids, di mana ibunya saja yang bayar dan anak di bawah umur tertentu gratis, Kenapa kami ga pergi hari biasa? karena hari biasa adik-adik Joe kerja, jadi weekend itu kesempatan yang langka buat ngumpul lengkap.

melihat ikan dari atas

Sekarang ke bagian cerita di dalamnya. Kesan pertama, tempatnya remang-remang dengan musik yang bikin ngantuk hehehehe, mungkin biar ikan-ikannya merasa tenang kali ya hehehe. Saya sempat agak kecewa karena di awal yang saya lihat kebanyakan hanya layar display saja dan bukan aquarium beneran, tapi ternyata ada juga bagian aquariumnya, di mana anak-anak bisa melihat ikan-ikan yang besar seperti ikan pari, hiu dan berbagai jenis ikan yang saya gak tau namanya.

Kalau diperhatikan dengan seksama, Jakarta Aquarium berusaha memberikan pengetahuan mengenai berbagai ikan yang ada di Indonesia dan juga kesadaran untuk menjaga lingkungan untuk tidak membuang plastik karena bisa membuat kerusakan lingkungan hidup di laut. Setiap display yang ada tersedia tablet yang menjelaskan jenis ikan, ukuran ikan dan di mana ditemukan biasanya. Kalau ke sana sebagai tugas sekolah, tentunya ada banyak sekali yang bisa dilaporkan oleh murid-muridnya. Sayangnya, saya tidak menemukan katalog lengkap ikan yang ditampilkan di website Jakarta Aquariumnya.

kesempatan menyentuh bintang laut

Selain ikan, jakarta aquarium juga menampilkan otter, turtle dan iguana. Anak-anak diberikan kesempatan memegang beberapa kura-kura kecil, bintang laut, ikan pari kecil dan beberapa jenis ikan kecil. Sebelum memegang ikan, harus cuci tangan dengan bersih tanpa sabun, dan setelahnya bisa mencuci tangan menggunakan sabun. 

informasi dalam tablet di berbagai tempat

Di lantai bawah, ada juga display seperti aquarium super besar, di mana kita bisa melihat ikan-ikan yang sedang berenang. Di lantai dasar ini juga ada display jelly fish dan ikan Piranha. Kalau diperhatikan, gerakan ikan piranha sangat sedikit, mereka cenderung terlihat diam. Gerakan jelly fish kalau diperhatikan juga seperti bisa menari-nari dan menghipnotis. Ada 1 ikan yang terlihat seperti rumput yang melayang-layang di air, tapi ya kalau diperhatikan dengan seksama ya ada matanya di bagian bawah.

ikan piranha

Terus terang, ada banyak hal yang saya tidak ketahui nama dan bentuknya sebelumnya dan karena ke Jakarta Aquarium saya jadi tahu, oooh ada ya ikan seperti itu, atau ooh ada ya penghuni laut yang lucu seperti itu. Untuk anak-anak, mungkin melihat sekali saja tidak akan cukup, tapi itulah gunanya memfoto sebanyak-banyaknya untuk kemudian nanti dikeluarkan fotonya dan dicari informasi lebih lanjut di internet heehehe.

Di dekat pintu keluar, ada teater 5D, panggung pertunjukan dan juga tempat untuk membeli foto. Kami tidak membeli fotonya karena harga fotonya 350 ribu rupiah. Saya juga tidak bisa komentar mengenai teater 5D karena kami ga beli tiket untuk masuk 5D. Kami menyempatkan menonton pertunjukan mermaidnya.

pertunjukan mermaid

Ceritanya dinarasikan dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Tokoh-tokohnya hanya menari dan berekspresi, panggungnya di lengkapi dengan special effect asap dan lampu-lampu untuk memberi kesan tertentu. Saya cukup kagum dengan kreativitas mereka dalam membuat pertunjukannya walaupun mungkin lebih baik kalau pertunjukannya di lakukan dalam ruangan dan kursi yang lebih nyaman. Saya juga kagum dengan pemain yang bisa menari-nari seperti putri duyung. Mereka pasti harus latihan cukup banyak supaya bisa menahan napas sambil menari-nari dalam aquarium besar.

Kami menghabiskan waktu sekitar 3 jam dari sejak masuk sampai keluar. Anak-anak cukup puas melihat ikan dan juga pertunjukannya, walaupun ada bagian yang buat Joshua terasa menakutkan, karena tokoh ratu jahatnya beneran deh wajahnya jahat banget (hahaha aktingnya berhasil dong ya). 

Secara keseluruhan Jakarta Aquarium cukup menarik untuk anak-anak belajar dan mendapatkan pengalaman memegang ikan-ikan, Tapi saya tidak tahu kenapa harga weekend harus dibedakan dengan harga hari biasa. Satu hal yang terasa sangat berbeda dengan Chiang Mai, harga makanan di dalam Jakarta Aquarium sangat mahal. Milo 1 gelas 25 ribu rupiah (50 baht), padahal harga biasanya diluar kurang dari setengahnya. Kalau mau ke sana, sebaiknya cari harga promosi, bukan akhir pekan dan hari libur dan bawa bekal susu sendiri hahaha.

Cerita Liburan Hari ke -3: Macet Itu Biasa

Hari ke-3 di Depok, kami memutuskan mengunjungi kakak saya di daerah pondok gede/lubang buaya. Pesan grab car, setelah menunggu beberapa saat mobil jemputan datang. Lumayan memang sejak ada fasilitas mobil yang bisa dipesan lewat aplikasi, kalaupun ga ada yang antar kami bisa tetap kesana kemari kalau lagi mudik.

Karena kami ga tau jalan, kami mengandalkan Google maps. Awalnya menurut perkiraan Google Maps bisa tiba dalam waktu 1 jam, kenyataannya baru mau keluar komplek ada penebangan pohon sehingga jalan dialihkan muter. Buat jalanan muternya karena lebih kecil dari jalan utama dan mobil dari 2 arah dialihkan ke komplek yg sama, akhirnya ya makan waktu juga.

Mendekati daerah lubang buaya, ada banyak yang jualan buah bukan hanya di trotoar, tapi ya memakai sebagian jalur lalulintas. Jelas aja dong jalanan jadi macet. Saya bayangkan karena tempat itu bukan pasar, siapa yang mau membeli buah ya minggir di jalan yg harusnya ada flownya, tentunya sumbangsihnya bikin tambah macet lagi.

Pulang ke arah Depok, lagi-lagi Google bilang cuma 1 jam, tapi prakteknya ya malah hampir 2 jam. Alasannya? penutupan jalan karena ada jalan diperbaiki dan rute untuk mutar itu sama dari ke-2 arah, padahal jalan yg dialihkan itu sangat kecil *sigh*.

Saya ga ingin liburan mengeluh macet mulu sehingga ga bisa kemana-mana, tapi saya kagum dan salut dengan semua orang yang bertahan tinggal di Jakarta dan sekitarnya dengan kemungkinan menghadapi macet setiap waktu. Mungkin saya terlalu dimanjakan Bandung tempo dulu dan Chiang Mai, sehingga saya jadi ga biasa hidup berjuang lawan macet. Untungnya Joe juga bukan model orang yang hobi berlama-lama dalam kemacetan, jadi saya rasa Jakarta dan sekitarnya sudah jelas dalam blacklist kalau harus pulang dan menetap di Indonesia.

Main piano dan nyanyi bareng abang Marvel

Anyway, misi kunjungan cukup menyenangkan. Jonathan bisa cukup akur dengan abangnya (anak kakak saya). Jonathan juga bisa dengan cepat ngobrol dengan teman-teman abangnya yang umurnya lebih tua dari dia. Joshua juga ga rewel dan cukup enjoy bernyanyi diiringi piano. Joshua juga mulai tidak terlalu takut dengan orang yang dia baru ketemu. Karena rumah kakak saya di samping gereja, Joshua senang sekali waktu melihat ada pohon natal besar di dalam gereja. Dia mengamati dengan seksama dan sangat tertarik melihat hiasan pohon natal di gereja.

Main bareng Cathy

Pulang dari rumah kakak saya, kami mampir ke rumah adik sepupu Jonathan yang umurnya hampir sama dan dari kemarin datang ke rumah eyang buat nemenin Jonathan dan Joshua main. Setelah puas main-main dan tentunya makan, kami pulang ke rumah eyang. Mudah-mudahan besok-besok kalau keluar rumah lagi ga ketemu macet seperti hari ini, atau mudah-mudahan kami terbiasa dengan macet jadi bisa tetap bersyukur ga nyetir di tengah kemacetan hehehe.

Monumen Pancasila Sakti

Posting ini singkat saja karena dua hal: pertama kami tidak merencanakan pergi ke tempat ini, dan kedua: tempat ini masih kurang cocok untuk usia Jonathan/Joshua. Sulit menjelaskan kekejaman manusia terhadap sesama karena perbedaan ideologi.

Kami pergi ke Monumen Pancasila Sakti karena dua hal: kami belum pernah ke sini (atau mungkin pernah waktu masih kecil, sudah lupa), dan kedua adalah karena kami baru lewat rumah Kak Wanti (kakaknya Risna). Kami pergi ke tempat ini bersama dengan keluarga Yosi.

Waktu membeli tiket, kami diberi booklet dan stiker

20160624_134013

20160624_134010

Ada teks Pancasila (sesuatu yang nanti perlu diajarkan ke Jonathan jika ingin kembali ke Indonesia)

20160624_135707

Kami melewati lubang buaya dengan penjelasan singkat ke Jonathan dan Celine (adik sepupu Jonathan). Celine mengulang-ulang cerita soal “seven people that died” yang membuat kami jadi rada khawatir.

20160624_140222

Karena masih terlalu singkat perjalanannya, kami masuk ke Museum Penghianatan PKI. Di dalamnya isinya berbagai diorama, banyak yang kejam

20160624_141614

Museum ini disponsori oleh Teh Botol Sosro

20160624_142503

Dan ini pesan di akhir pintu menuju keluar

20160624_142239-PANO

Jakarta dan Monas

Hari Sabtu, tanggal 25 Juni 2016 kami memutuskan untuk pergi keliling Jakarta plus ke monumen nasional alias monas. Sebelum ke monas, kami naik bus keliling jakarta (TransJakarta) yang gratis. Jonathan suka sekali

20160625_110804

Busnya cukup sepi di hari Sabtu, mungkin karena bulan puasa. Kami bisa leluasa memilih tempat duduk.

20160625_105917

Sebagai bagian dari berbagi rejeki, kami menggunakan jasa foto di Monas. Hasil fotonya lumayan

DSCF3182

Sekaligus tidak butuh bantuan orang untuk memfoto kami semua:

 

DSCF3183

Untuk menuju puncak monas, kami harus naik turun tangga banyak sekali. Ibu saya yang sudah lemah (diabetes) agak kesulitan untuk menghadapi semua tangga yang ada (ini sebelum naik ke puncak). Bahkan di toilet pun ada tangganya (dua tingkat), plus di toilet wanita sandal harus dilepas tapi tidak diberi sandal pengganti jadi naik tangganya licin karena agak basah (ini kata Risna).

20160625_124008

Setelah melihat-lihat sebentar, kami antri naik monas. Meski di bawah kelihatan sepi, ternyata antriannya panjang.

20160625_130503

Untungnya di situ ada Free WIFI

Screenshot_2016-06-25-13-02-38

 

Fast forward beberapa jam kemudian, kami naik lift. Kecepatan lift untuk sampai ke atas gedung kira-kira 1 menit, dan kembali lagi juga satu menit, plus waktu keluar masuk juga sekitar 1 menit. Kapasitas lift sekitar 10 orang. Jadi tiap kali 10 orang naik lift, sekitar 3-4 menit lagi liftnya baru akan kembali.

Begini padatnya dalam lift.

IMG_0265

Dan suasana di dalam puncak monas seperti ini. Ada jeruji di sekelilingnya, jadi akan sulit untuk loncat dari tempat ini.

20160625_143954

Pulangnya kami sudah kelaparan. Untung Shinta yang baik hati masih mau menunggu kami. Jonathan langsung nempel ke tante Shinta dan dengan senang hati disuapin

IMG_0289

Plus pulangnya diberi oleh-oleh buatan Shinta (yang hari itu juga kami habiskan)

IMG_0307