Saya Kenal Lebih Dekat dengan Kartini Hari Ini

Hari ini, tanggal 21 April 2020, merupakan hari ulang tahun Ibu mertua saya yang ke -64. Tapi mertua saya namanya bukan Kartini. Hari ini juga merupakan ulang tahun Kartini yang dirayakan setiap tahunnya sebagai hari libur Nasional. Sejak jaman Presiden Soeharto, tiap perayaan ulang tahun Kartini, semua wanita jadi repot pakai kain kebaya, kain panjang, sandal tinggi dan tentunya biar lebih cantik pakai sanggul juga dong.

Lalu belakangan, anak sekolah juga mulai direpotkan untuk pakai pakaian daerah. Hampir setiap tahun ya begitu, walau akhir-akhir ini mulai dimodifikasi tidak lagi berpakaian daerah tapi anak-anak diminta memakai kostum profesi yang dicita-citakan nanti kalau sudah besar.

Saya beruntung, gak pernah kebagian kerepotan memakai kebaya di hari Kartini. Saya ingat waktu masih kecil, saya malah pakai pakaian polisi wanita. Mama saya harus memesan baju itu secara khusus, karena adanya baju polisi untuk anak laki-laki saja. Ngapain repot-repot pakai pakaian polisi? Ceritanya taman kanak-kanak tempat saya bersekolah mengisi acara di TVRI.

Saya masih ingat, saya di minta untuk berdeklamasi. Kata-kata yang saya ingat tinggal beberapa baris ini:

“Wahai wanita Indonesia,

Bangkitlah!

Maju!

Kobarkan semangat Ibu kita Kartini.”

unknown

Tapi sesungguhnya, walaupun penggalan itu terngiang selalu, saya tidak pernah cari tau, sebenarnya semangat apa yang mau dikobarkan dari Ibu Kartini? Entahlah, walaupun nama RA Kartini ada di dalam pelajaran sejarah, walaupun saya tau dia pahlawan nasional dan bahkan punya lagu khusus untuknya, saya tidak pernah cari tahu apa sih yang perlu ditiru dari Kartini? Mungkin pernah diajarkan di kelas, tapi saya tidak ingat sama sekali.

Saya sering baca Kartini berjasa besar buat wanita – tapi saya jadi bertanya lagi apa jasanya Kartini. Katanya sih sesuatu tentang pendidikan wanita, lalu saya terpikir: apa bedanya dengan Dewi Sartika? Kenapa ada hari Kartini tapi tidak ada hari Dewi Sartika?

Setelah ngobrol dengan beberapa teman di sana – sini, dan membaca berbagai artikel yang dituliskan tentang Kartini hari ini, akhirnya saya mendapatkan gambaran lebih utuh setelah membaca WIKIPEDIA! Iya, saya tahu tulisan itu bukan baru kemarin ditambahkan, tapi saya baru baca sekarang karena saya baru pengen tahunya hari ini.

Supaya gak tambah panjang tulisan ini, saya langsung tuliskan saja apa yang saya ketahui tentang Kartini hari ini:

Kartini itu wanita cerdas. Dia sekolah sampai umur 12 tahun, dan masih pengen sekolah lagi. Tapi karena situasi di masa itu, wanita tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Dia juga anak yang patuh ke orangtuanya. Tidak sekolah bukan berarti tidak belajar, mungkin bisa dibilang dia menghomeschool dirinya sendiri. Dia sudah mahir berbahasa Belanda, dan dia rajin membaca buku.

Belum umur 20 tahun dia baca buku Max Havelaar karya Multatuli dan berbagai buku dalam bahasa Belanda. Saya cuma pernah dengar judul buku Max Havelaar, buku ini gratis di Kindle, tapi saya sampai sekarang belum tergerak membacanya. Saya jadi terpikir, wow banget ya Kartini ini rajin belajar, rajin membaca, dan dia juga menulis di koran Semarang (pasti dia tidak sempat nonton drakor, soalnya bacaannya banyak hahaha).

Kartini tidak pernah bercita-cita jadi Pahlawan Nasional. Dia hanya iri melihat wanita-wanita di Eropa yang mendapat kesempatan belajar lebih daripada dia di Indonesia. Jadi awalnya mungkin dia sedang curhat ke sahabatnya Rosa Abendanon. Sahabatnya ini yang awalnya sering meminjamkan buku tentang pemikiran kaum feminis di Eropa, dan sepertinya itulah yang mengawali cita-cita Kartini.

Kumpulan surat Kartini yang dipajang di TropenMuseum di Belanda (Sumber: Dearni Irene Purba)

Kartini tidak menuliskan buku, dia hanya menuliskan surat. Temannya yang mempublikasikan surat-suratnya itu di majalah di Belanda. Kumpulan surat-suratnya ternyata mendapatkan perhatian di Belanda, dan itulah yang menjadi inspirasi membuka sekolah Kartini di Indonesia (ada beberapa tempat mulai dari Batavia).

Udah itu saja yang penting buat saya. Bukan masalah dia anak siapa, istri siapa, punya anak berapa. Ya memang keluarganya memegang peranan dan banyaklah memberi kesempatan untuk Kartini maka dia bisa ini dan itu. Tapi pasti dia bisa sekolah lebih lama dari wanita kebanyakan, dia bisa ini dan itu bukan dengan mudah. Dia berusaha meyakinkan orangtuanya, suaminya dan juga akhirnya dari surat-suratnya dia meyakinkan banyak orang di Belanda untuk membuka sekolah untuk wanita di Indonesia.

Hari ini yang perlu digarisbawahi, cetak tebal dan ingat dari semangat Kartini adalah: kalau punya ide dan cita-cita tuliskan dan bagikan, jangan disimpan di kepala saja. Kalau tulisan kita sampai dibaca oleh orang yang tepat, ide kita bisa jadi bukan sekedar ide saja dan diwujudkan.

Saya tetap tidak mengerti kenapa hari Kartini diperingati dengan kebaya atau busana daerah lainnya, tapi saya jadi mengerti apa yang Kartini lakukan dan pengaruhnya terhadap pendidikan wanita di masa itu. Kartini rajin membaca dan menuliskan buah pikirannya. Seharusnya hari Kartini diperingati dengan perlombaan menuliskan ide-ide atau harapan untuk kemajuan bangsa.

Karena tulisan itu bisa dibaca berulang kali, dianalisa, dan menjangkau lebih banyak orang daripada kita bergumam seorang diri.

Selamat hari Kartini. Mari menulis mulai hari ini!

Ternyata pernah Rajin Masak

Beberapa hari ini, saya membaca ulang tulisan-tulisan saya yang lama di blog masakan pemalas (yang sudah bertahun-tahun tidak pernah ditambahkan). Ternyata memang, tulisan kumpulan resep itu lebih menarik kalau ada fotonya. Lebih menarik lagi kalau pengambilan fotonya pakai niat gitu ya.

Kesimpulan dari membaca tulisan sendiri, dibandingkan sekarang, dulu saya pernah rajin masak (walaupun oseng-oseng seadanya). Tiba-tiba merasa bangga pernah rajin, tapi juga merasa malu sama diri sendiri kenapa jadi super malas masak.

muffin oatmeal, salah satu yang masih sering dimasak sampe sekarang

Selain masakan-masakan oseng seadanya, ternyata saya juga pernah masak donat walaupun donat biasa dan bukan donat kentang. Hahaha rasanya cuma 2 kali itu saja saya masak donat, makanya saya ga bisa ingat sama sekali. Satu lagi yang tidak pernah terpikirkan untuk dicoba bikin lagi adalah masak martabak manis pake teflon. Mungkin ini pertanda, saya harus mulai rajin masak lagi (walaupun ala masakan pemalas).

Lanjutkan membaca “Ternyata pernah Rajin Masak”

Menulis itu…

Buat saya gak selalu gampang.

Saya berusaha menuliskan hal-hal yang berguna untuk orang lain. Berusaha mengurangi menulis yang isinya keluhan semata dan mencari topik yang membuat orang lain merasa lebih baik setelah membacanya.

Ada idealisme untuk menuliskan hal-hal yang jelas sumbernya dan jelas sampainya ke pembaca. Butuh waktu untuk memformulasikan berbagai berita yang dibaca untuk dijadikan satu tulisan sendiri. Tapi sepertinya, di jaman sekarang, di saat arus informasi begitu derasnya, para profesional di bidang media sepertinya kurang mementingkan memeriksa fakta. Mereka berlomba untuk menuliskan berita terkini paling dulu.

Bukan hanya di masa pandemi ini saja, dari dulu setiap ada kasus yang ramai dibicarakan, setiap media berlomba memberitakannya. Bisa puluhan artikel terbit yang bedanya hanya 2 kalimat, yaitu kalimat judul dan kalimat penutup. Memang, media online berbeda dengan media cetak. Untuk tampil di media cetak, sebuah artikel pasti ada batas minimum jumlah kalimat, tapi untuk tampil di media online sepertinya berita berupa foto dengan keterangan foto saja sudah cukup untuk dilengkapi kemudian.

Kemampuan baca generasi online juga kabarnya tidak sama dengan kemampuan baca generasi offline. Jadi kalau melihat artikel dengan tulisan semua tanpa gambar, sudah hampir dipastikan banyak orang akan melewatkan beritanya dan hanya baca judul dan paragraph pertama saja.

Satu hal yang saya tidak suka dari artikel berita masa kini adalah, kadang-kadang jurnalis online mengutip beberapa tulisan dari media pribadi (blog, twitter, bahkan komen instagram) dan menuliskannya seolah-olah dia mewawancarai orang yang bersangkutan.

Ya memang secara tidak langsung, mereka memberi kredit terhadap penulisnya, tapi kenapa harus menuliskannya dengan gaya bahasa: menurut informasi yang kami peroleh dari mr. X , bla bla bla. Padahal ya sebut saja menurut blog si mr.X pendapatnya begini loh…. Penulisan seolah-olah ditanya langsung, padahal minta ijin mengutip tulisan aja kadang-kadang tidak dilakukan. Entahlah, apakah hal tersebut tidak diatur dalam kode etik jurnalisme ?

Menulis blog saja buat saya ga gampang. Kadang-kadang saya harus berpikir untuk menuliskan tanpa membuat orang lain tersinggung. Hal lain yang perlu dipikirkan juga bagaimana membuat tulisan yang ada gunanya. Kalau tulisannya tidak berguna, sudah saja tulisannya simpan jadi diary.

Menulis di media online itu harus ada filternya. Misalnya di jaman pandemi, kita gak bisa serta merta mengomentari setiap berita yang kita baca dan menyalahkan siapa saja yang bisa disalahkan. Belakangan ini, selain mendapatkan tulisan yang menyejukkan hati ketika dibaca, banyak juga terusan video yang mengajak untuk mempermalukan orang-orang hanya karena pendapat mereka berbeda di awal maraknya Covid-19 dan setelah diresmikan jadi status pandemi.

Hal lain yang juga mengesalkan dari tulisan di media online, bahkan media berita yang sudah punya nama terkadang nulis berita itu sering menggunakan istilah yang salah. Padahal dengan menggunakan istilah yang salah, malah bikin beritanya jadi tambah ngawur.

Salah satu kata yang paling sering digunakan di masa pandemi ini adalah: lockdown. Media berlomba memberi list negara yang di lockdown. Waktu saya membaca kalau Thailand termasuk dalam negara yang lockdown, saya mengernyitkan kening karena sebagai yang tinggal di Thailand, saya tahu sampai saat inipun Thailand belum lockdown. Banyak aturan diberlakukan yang bisa ditambahkan setiap saat, tapi tidak ada lockdown di Thailand. Mau berbelanja keluar rumah gak perlu pakai ijin, cuma perlu pakai masker!

Ah ujung-ujungnya tulisan ini jadi ngomongin covid-19 related lagi deh. Padahal tadinya mau nulis secara general hehehehe. Intinya, menulis itu ga selalu gampang, tapi kalau udah nulis ya tuliskan hal yang berguna, bisa dipertanggungjawabkan dan jelas sumbernya. Bahkan menuliskan fiksi aja bisa jadi perkara kalau terlalu ada kesamaan fakta dan nama.

16 tahun Ngeblog bareng Joe

Hari ini, 16 tahun yang lalu, kami posting pertama kali di blog ini. Kadang-kadang hampir gak percaya, bisa bertahan ngeblog selama ini. Eh tapi kok belum jadi-jadi juga nih bikin buku? Selamanya blogger nih judulnya? Hehehe.

tulisan pertama saya di blog ini

Seperti biasa, namanya kalau lagi ulang tahun sesuatu, ada kecendurang kilas balik dan melihat-lihat tulisan lama. Jadi teringat lagi, kenapa dulu pilih nama domain compactbyte dan kenapa milih judul blog Amazing Grace.

Lanjutkan membaca “16 tahun Ngeblog bareng Joe”

Pelajaran Menulis Kreatif Jonathan

Salah satu kegiatan homeschool Jonathan adalah pelajaran menulis kreatif. Kebetulan hari ini saya lagi gak ada ide menulis dan melihat bahan pelajaran Jonathan. Jadi ya sekalian deh dituliskan di sini, siapa tau bisa dipakai untuk teman-teman yang juga lagi belajar menulis kreatif.

Oh ya, pelajaran Jonathan ini menggunakan bahasa Inggris, tapi idenya tentu bisa dipakai untuk menulis dalam bahasa apa saja.

Biasanya, untuk memulai menulis itu lama di bagian mencari ide. Nah untuk mempermudah memulai menulis, kita bisa membuat pohon ide seperti contoh di sini. Jadi kita diminta untuk menuliskan apa yang menjadi subjek utama atau ide utama dari tulisan kita. Lalu dari ide utama itu kita bisa menambahkan hal-hal apa yang ingin kita ceritakan dari subjek utama kita. Lalu setiap cabangnya bisa kita jabarkan lagi menjadi hal-hal yang lebih rinci.

pohon ide untuk mulai menulis

Satu pohon ide ini bisa untuk memulai menulis 1 paragraf, atau bisa juga untuk menulis 1 tulisan lengkap. Tergantung dari berapa banyak cabang dari pohon ide ini berkembangnya. Pohon ide seperti ini sebenarnya bentuk lain dari apa yang kita pelajari di pelajaran bahasa Indonesia waktu SD dulu.

Lanjutkan membaca “Pelajaran Menulis Kreatif Jonathan”