Hari ini, kami jalan-jalan ke Chiang Dao bareng temen-temen Indonesia di Chiang Mai. Cuma 4 keluarga Indonesia, ga sebanyak rencana semula. Tapi ada 1 teman dari teman, keluarga Thai Singapura, jadi total ada 9 orang dewasa dan 7 anak-anak berusia antara 3.5 tahun – 8 tahun.
Chiang Dao lokasinya gak jauh dari Chiang Mai sekitar 80 km atau 1.5 jam driving, tapi ini kali pertama buat kami ke sini. Kami berangkat santai, sekitar jam 10 dari rumah, dan karena berhenti dulu di jalan, kami sampai di penginapan sekitar jam 12 siang. Kami menginap di Chiang Dao Story Camp, tidak jauh dari tujuan wisata Chiang Dao Cave.
Sebagian dari rombongan memilih tenda dan sebagian tinggal di bungalow sederhana. Setelah menurunkan bawaan, kami memutuskan untuk makan siang di dekat tempat wisata tujuan utama di Chiang Dao, Selesai makan dan istirahat, sekitar jam 2.30 kami pun memutuskan masuk ke Goa di Chaing Dao.
Konfigurasi entertainment centre kami sekarang ini memakai Mini PC Windows yang dihubungkan ke TV (via HDMI). Awalnya dulu, kami memasang keyboard wireless ke mini pc nya untuk memilih menu Kodi, Netflix ataupun nonton YouTube di browser. Tapi, masalah dengan yang namanya remote, sama saja dengan keyboard. Kadang-kadang ga ketemu terselip entah di mana, sering juga pas butuh eh baterenya habis.
Setelah dipikir-pikir, gimana kira-kira supaya mau nonton ga kelamaan nyari remote atau keyboardnya. Untungnya Joe kepikiran untuk mencari aplikasi remote mouse untuk Android. Walaupun namanya remote mouse, tapi dari aplikasi ini, kita juga bisa mengetikkan sesuatu kalau dibutuhkan. Pengaturan aplikasi ini cukup gampang.
Baik Mini PC dan HP Android terkoneksi ke jaringan lokal yang sama kalau dirumah. Jadi waktu menyalakan aplikasi ini, kita bisa langsung menemukan Desktop mana yang perlu kita akses secara remote. Selanjutnya ya sama seperti mouse di komputer biasa.
Hari ini Jonathan ikutan workshop di Mc Donald’s bareng anak-anak grup homeschooling Thai. Ceritanya beberapa minggu lalu saya kepikiran gimana caranya ya biar Jonathan punya teman berlatih ngobrol Thai, soalnya tetangga rumah kami anaknya sudah agak besar dan jam keluar rumahnya jarang bareng dengan Jonathan.
Hasil dari nanya ke temen yang ikutan co-op tapi orang Thai, saya disarankan gabung ke grup homeschooling orang Thai. Tadinya agak ragu-ragu karena sampai sekarang baca bahasa Thai buat saya itu masih sering malasnya daripada memaksakan diri baca. Tapi ya masa sih anak disuruh belajar, sendirinya ga maju-maju belajar baca Thainya. Akhirnya sayapun masuk FB group yang isinya semua pake bahasa Thai.
Gak berapa lama bergabung, saya baca pengumuman mengenai workshop ini. Ada 3 paket harga yang ditawarkan, dan harganya seperti kita beli paket burger untuk di makan sendiri. Saya penasaran, kira-kira workshopnya ngapain aja ya? karena saya lihat anak-anak yang daftar workshop, rata-rata antara 5 dan 6 tahun. Saya pikir, ga mungkin dong mereka diajak goreng-gorengnya di McD.
Hari ini, sekitar jam 11 siang kami sudah tiba di lokasi workshop. Pertama kami harus daftar, memilih paket mana yang ingin dikerjakan dan bayar di tempat. Sembari menunggu semua yang sudah daftar sebelumnya hadir, anak-anak diberi kertas dan crayon untuk mewarnai. Beberapa anak langsung mewarnai dengan tekun.
Ceritanya hari ini kami ajak anak-anak ke park yang kecil untuk bermain sebentar. Mau ke Rajapreuk takut kehujanan karena beberapa hari ini Chiang Mai hujan lagi (kirain udah abis musim hujannya). Setelah puas bermain-main di playground, Joshua ingat kalau di situ dia pernah makan ice cream sebelum pulang. Jadilah dia belok ke coffee shop dan saya pikir ya sekalian saya juga belum minum kopi.
Meja tempat kami duduk, meja kayu dengan alas kaca diatasnya. Dari sejak awal kacanya sering bergeser karena ga nempel ke mejanya. Karena Joshua bersandar ke meja, kacanya selalu bergeser dan berkali-kali saya geser kembali. Kami sudah memutuskan akan pulang karena ice cream Joshua sudah habis dan rainbow crepe pilihan Jonathan juga sudah habis. Tiba-tiba “prak”, Joshua menyebabkan kacanya terbentuk ke dinding dan kacanya pun pecah.
Sebenarnya bisa saja kami kabur pulang karena mbak-mbak yang jaga coffeeshopnya ga lihat. Tapi saya tahu, itu ga benar. Saya panggil mbak-mbaknya dan kasih tau, “Mbak maaf, mejanya kacanya pecah”. Mbaknya kaget, dan nanya: “Siapa yang mecahin?” Saya jawab, “Anak saya yang pecahin. Dia memang agak bersandar dan kacanya geser terus, dan tau-tau kejeduk ke dinding dan pecah. Kalau saya perlu ganti, berapa yang harus saya bayar?” Mbaknya langsung sibuk nelpon pemilih coffeeshopnya. Dia juga wajahnya cemas dan lega campur aduk sepertinya. Cemas kaca pecah, lega karena yang mecahin customernya ga kabur.
Setelah pemiliknya tahu, si mbak penjaga bilang sambil merasa ga enak hati: “Maaf, kalau bayar 500 baht gimana? jadi kita setengah-setengah bayarnya, karena kacanya perlu dipesan dulu untuk ukuran ini”. Mungkin dia ga enak hati karena takut saya menolak bayar, karena 500 baht itu cukup mahal. Saya ga tahu harga kaca meja, sebenernya bisa saja saya googling dulu nyari tahu harga, tapi saya pikir ya sudahlah, memang salah kami juga udah tahu mejanya bergeser mulu kacanya tapi masih duduk disitu juga, padahal banyak meja lain yang kosong. Saya bilang: “Ok mbak, ini 500 bahtnya, saya juga minta maaf anak saya pecahkan kaca mejanya”. Setelah itu saya keluar. Tadi supaya ga rusuh waktu ngasih tau mbaknya, anak-anak dan bapaknya udah duluan saya suruh keluar dari toko, dan mereka saya suruh duluan ke mobil waktu tau mbaknya masih harus laporan dulu ke pemilik coffee shop.
Waktu saya jalan keluar, baru aja mau sampai ke mobil, eh tau-tau si mbak manggil-manggil dari pintu keluar satunya lagi. Saya pikir, apa 500 baht kurang ya? Tapi ternyata saya salah. Mbaknya bilang: “Ternyata ada kaca cadangan untuk meja ukuran itu, jadi duitnya saya kembalikan saja”. Wah, saya jadi speechleess. Padahal bisa saja mbaknya mengantongi duit 500 bahtnya kan, eh dia baik hati malah berusaha mengejar saya. Setelah saya menerima duit saya kembali, saya meminta maaf sekali lagi karena anak saya mecahin kaca meja dan berterimakasih karena saya ga harus ganti kaca yang pecah.
Bertahun-tahun tinggal di Chiang Mai, saya semakin kagum dengan kebaikan dan kejujuran orang-orang di sini. Pegawai di coffee shop yang kemungkinan gajinya ga seberapa, pastilah kalau dapat 500 baht itu bisa buat makan beberapa hari. Tapi dia memilih untuk mengembalikan ke customer, karena kemungkinan itulah yang diperintahkan sama si pemilik toko. Pemilik tokonya juga ga merasa rugi memakai kaca cadangan, padahal kan bisa saja dia bilang oke sekarang pake kaca cadangan, nanti duit yang 500 baht dipakai untuk menyiapkan cadangan berikut siapa tahu pecah lagi tapi ga ketahuan siapa yang mecahin.
Pelajaran hari ini juga kami pakai ke Jonathan untuk mengajarkan kalau kita salah harus mau mengakuinya. Kita perlu minta maaf dan bertanya bagaimana memperbaiki kesalahan kita itu. Kadang mungkin kita harus bayar, tapi bisa jadi setelah kita akui kita ga harus bayar. Jadi ingat dengan lagu Daniel Tiger’s Neighborhood. “Saying I’m sorry is the first step, then how can I help?“.
Hari ini 10 November 2019, panita pemilihan luar negeri perwakilan Bangkok mengadakan sosialisi pemilu 2019 kepada WNI di Chiang Mai. Acara sosialisasi berlangsung dari jam 11 sampai sekitar jam 2 siang di restoran Takawa Cuisine Chiang Mai Land. Kami datang agak terlambat karena saya paginya ada kegiatan lain sampai jam 12. Walau terlambat, tentunya kami masih dapat point utama dari sosialisasi ini yaitu makan siang! Eh maksudnya mengenai pemutakhiran data pemilih tetap.
Sejak beberapa tahun terakhir, WNI di Chiang Mai sudah semakin banyak dibandingkan 11 tahun lalu. Beberapa WNI dari kota Lampang yang berdekatan dengan Chiang Mai juga hadir. Acara sosialisai pemilu 2019 untuk pemilih di Thailand sebelumnya sudah diadakan di Bangkok tanggal 3 November 2018 lalu. Kami bersyukur sejak WNI di Chiang Mai cukup banyak, walaupun kota ini jauh dari Bangkok tapi KBRI Bangkok memperhatikan kami dan memberikan sosialisasi khusus.
Point penting dari sosialisasi pemilu tadi, yang mana saya juga baru tau adalah mengenai daftar pemilih tetap. Pertama kita harus cek apakah kita sudah terdaftar di daftar pemilih. Untuk pemilih di Thailand bisa di cek di link berikut: http://www.pplnbangkok2019.org/?page_id=114 apabila ingin memilih di Thailand tapi belum terdaftar, bisa mendaftarkan diri dari link yang tersedia di halaman tersebut.
Untuk WNI yang sudah memiliki NIK dari E-KTP diwajibkan untuk mengajukan permohonan penghapusan data ganda. Jadi ternyata, sistem pemilu 2019 sudah mengotomasi mendaftarkan semua WNI yang memiliki NIK terdaftar dalam DPT di daerah KTP masing-masing. Untuk memastikan, bisa di cek dengan memasukkan nama dan NIK di link berikut ini.
Kalau kita terdaftar di DPT daerah KTP dan di DPT luar negeri, kita perlu untuk mengajukan permohonan penghapusan data ganda. PPLN Bangkok akan membantu WNI di Thailand untuk mengajukan permohonan penghapusan data ganda dengan mengisi form di sini. Selain menghapus data ganda, melalui form itu kita juga bisa mengajukan pindah metoda pemilihan, atau pindah tempat memilih (misalnya kita tiba-tiba pindah ke negara lain atau pulang ke Indonesia).
Pemilu di Thailand untuk TPS KBRI bangkok diadakan tanggal 10 April 2019 (lebih awal dari pemilu di Indonesia). Pemilih yang dikirim via pos seperti kami yang di Chiang Mai ini kemungkinan akan menerima surat suara lebih awal dari tanggal 10 April 2019. Untuk mencegah kemungkinan WNI yang sudah memilih di Thailand ikut lagi memilih di Indonesia, maka perlu diingatkan untuk menghapus data ganda. Tadi waktu pertemuan sosialisasi, panitia juga aktif menanyakan apakah kami punya NIK dan mengingatkan untuk mengecek dan menghapus data ganda kalau memang terdaftar di 2 tempat.
Walaupun rasanya hal itu namanya niat banget, tapi ya tetap saja hal ini harus dihindari supaya tidak terjadi kecurangan dalam pemilu. Satu pemilih hanya boleh menggunakan 1 suara. Semoga saja ga ada yang memanfaatkan hal ini untuk mecurangi pemilu. Kalau misalnya kita mengetahui ada yang curang, kita juga bisa segera laporkan ke panitia pemilu.
Untuk penghitungan suara pemilu di Thailand, akan diadakan hari Rabu tanggal 17 April 2019. WNI di Thailand yang ingin menyaksikan penghitungan suara dipersilahkan datang ke KBRI Bangkok. Semoga pemilu Indonesia 2019 berlangsung dengan aman dan damai, dan siapapun yang terpilih bisa membawa Indonesia lebih baik lagi.
Hari ini 8 tahun yang lalu, saya pertama kalinya merasakan yang namanya proses bersalin. Awalnya kirain masih seminggu lagi karena perkiraanya 15 November, mama saya juga baru akan sampai tanggal 10 November. Tapi karena tanda awal sudah berasa, kami datang ke RS Sripat Chiang Mai untuk daftar dan periksa. Proses pendaftaran cukup cepat, tinggal bawa kartu riwayat kehamilan yang di bawa setiap cek ke dokter, passport trus mengisi beberapa form.
Hari itu dokter yang biasa memeriksa saya sejak awal sedang ke luar kota. Rasanya campur aduk, antara pengen bilang ke baby jangan keluar dulu, tungguin dokter dan oppung, tapi ya udah ga nyaman juga bawa perut besar dan kaki dan tangan yang bengkak.
Hasil periksa awal, ternyata sudah bukaan 4, jadi disarankan langsung stay di RS, padahal saya ga merasakan kontraksi yang berarti. Mulai dag dig dug karena bisa jadi bayinya lahir tanggal 8 itu juga. Hati saya tetap ga siap, harapan saya kalau oppung ga ada, minimal pas melahirkan saya ditangani dokter yang memang saya sudah kenal. Harapannya terkabul, dokternya cukup baik hati, walau dia baru tiba dari luar kota jam 8 malam, dia sempatkan periksa saya di Rumah Sakit.
Saya merasa lega ketemu dokter yang saya kenal dan lebih siap kalaupun melahirkan tanggal 8 itu, tapi ternyata kegelisahan saya bikin bayinya menahan diri ga berusaha keluar hari itu juga. Kontraksi ga teratur dan pembukaan tidak bertambah. Mulai jadi gelisah lagi deh, karena labor nya udah sejak malam sebelumnya, berarti lebih dari 24 jam dong.
Keesokan harinya tanggal 9 November, pagi hari ibu dokter udah datang lagi memeriksa saya, karena pembukaan ga nambah, dokter sarankan induksi untuk membantu mempercepat pembukaan. Agak menyesal sebenarnya memutuskan induksi, karena kontraksinya jadi berasa sakit luar biasa. Sebelumnya sampai bukaan 4 itu, saya ga merasakan kontraksi apapun, setelah induksi rasanya gak main-main. Dokter yang menangani saya pro normal, jadi dia akan mengusahakan untuk pasien menjalani induksi dulu dan ga boleh langsung memutuskan caesar untuk anak pertama. Tapi ternyata setelah merasakan sakitnya kontraksi, saya siangnya demam dan detak jantung bayi mulai ga normal dan sore harinya akhirnya saya harus emergency caesarian.
Tadinya memulai posting ini mau cerita tentang rumah sakit, dokter, suster dan pelayanan secara umumnya. Eh udah panjang begini belum sampai ke tujuan semula haha. Kebiasaan ya kalau udah cerita ke mana-mana dulu.
Pengalaman melahirkan 2 kali di Chiang Mai, di RS yang sama, dengan dokter yang sama. Rumah sakitnya oke banget. Kamarnya kayak hotel, ada tv, kulkas, microwave, bed untuk yang nungguin dan bahkan ada 1 kursi sofa lagi kalau misalnya yang nungguin 2 juga cukuplah. Kamarnya besar, tentunya dengan kamar mandi di dalam. Saya terkagum-kagum hahaha, padahal harga paketnya ga lebih mahal waktu banding-bandingkan harga teman saya juga melahirkan di Bandung.
Dokternya pro normal dan pro asi, suster-susternya sangat membantu di hari-hari awal pemberian asi. Pas melahirkan pertama bahasa Thai saya masih sangat terbatas, mereka masih berusaha berbahasa Inggris ke saya. Pas melahirkan ke-2 tahun 2015, bahasa Thai saya semakin lancar, begitu tahu saya bisa berbahasa Thai, mereka langsung pake bahasa Thai. Akibatnya, saya yang pusing sendiri jadi pasien harus berpikir keras tiap mereka ngomong hahahaha.
Karena melahirkan pertama emergency caesarian, waktu melahirkan ke-2 saya langsung putuskan caesar terjadwal. Saya pikir akan lebih sedikit sakitnya, ternyata saya salah, karena jadwal operasi caesarnya pagi, otomatis puasanya jadi lebih panjang. Total puasa itu dari malam sebelum operasi jam 10, sampai keesokan hari setelah caesar jam 7 pagi. Itu rasanya mau pingsan, bukan cuma ga boleh makan tapi juga ga boleh minum. Totalnya hampir 36 jam kali ya saya puasa. Padahal waktu melahirkan pertama, keesokan hari setelah operasi saya sudah boleh makan. Jadi puasanya paling cuma 18 jam. Melahirkan pertama Joe boleh ikut masuk ke ruang operasi, eh melahirkan yang terjadwal suami ga boleh masuk (katanya sih ada peraturan baru dari rumah sakitnya).
Paket melahirkan di RS Sripat Chiang Mai ada 3 jenis, melahirkan normal, natural dan caesarian. Emergency caesarian disamakan dengan caesar. Paketnya termasuk biaya dokter, ruangan, perawatan bayi dan vaksin untuk anak. Biaya tambahan biasanya kalau ada komplikasi dan anaknya butuh obat ekstra. Melahirkan pertama, karena saya demam tinggi, Jonathan sempat diberi antibiotik dan diobservasi 1 malam, tapi tambahannya juga ga banyak kok. Pulang dari RS, akte kelahiran dalam bahasa Thai juga sudah selesai dan akte itu sudah termasuk dalam biaya melahirkan. Bersyukur banget ada paket yang super lengkap begini, jadi ga pusing-pusing lagi untuk urusan administrasi begini.
Oh ya, karena di sini akte lahir itu semua harus dalam aksara Thai, nama anak-anak kami di dalam akte juga dituliskan dalam bahasa Thai. Kami sengaja cari nama yang bisa dituliskan dalam aksara Thai juga. Walaupun banyak juga yang bilang, nanti waktu bikin translasinya bisa saja agak berbeda penulisannya.
Satu hal yang diluar dugaan, karena Joe membayar pajak ke pemerintah Thailand, biaya melahirkan kami bisa direimburse sebesar 13000 Baht. Jadi setelah keluar sekian baht, kembali duit 13000 baht. Kalau ga salah ingat dengan kurs tahun 2010, biaya melahirkan caesar pertama gak sampai 15 juta rupiah. Kurs tahun 2015, biaya melahirkannya sudah lebih mahal karena harga paket rumah sakitnya naik dan kurs rupiah melemah terus, tapi masih di bawah 18 juta rupiah. Biaya tersebut belum dikurangi 13000 baht yang dikembalikan pemerintah Thailand.
Setiap anak sampai umur 6 tahun juga mendapat tunjangan dari pemerintah Thai sebesar 400 baht sebulan. Nantinya kalau masuk sekolah di Thailand, dengan menunjukkan akte lahir, anak itu berhak mendapatkan harga Thai untuk uang sekolahnya. Tapi karena pada akhirnya kami memilih homeschooling, kami belum pernah nerima bagian potongan harga uang sekolah hehehe.
Pengalaman 2 kali melahirkan di Chiang Mai, semua rasanya baik-baik saja. Walau jauh dari keluarga, untungnya mama saya masih cukup sehat untuk datang ke Chiang Mai. Waktu melahirkan pertama, mama saya kami bikinkan visa turis supaya bisa tinggal di sini sampai 2 bulan, tapi waktu anak ke-2 lahir, mama saya di Chiang Mai cukup sebulan saja.
Melahirkan di negeri orang, tentu ada urusan tambahannya. Untuk membuat passport anak-anak, kami harus urus translasi akte kelahiran dari bahasa Thai ke bahasa Inggris. Lalu translasi yang sudah disahkan itu di bawa ke KBRI di Bangkok untuk dibikin surat keterangan lahir. Surat keterangan lahir ini dilengkapi dengan surat menikah orangtua dan foto anak menjadi dasar untuk pembuatan Passport.
Masalah berikut adalah ijin tinggal anak di Thailand. Kebijakan pemerintah Thailand, untuk anak yang lahir di Thailand, tidak butuh ijin tinggal selama anak tersebut gak keluar dari Thailand sampai berumur 16 tahun, jadi kami cukup santai dan ga harus bawa bayi kami ke Bangkok untuk pembuatan passport dan visa, selama kami memang belum rencana ke luar dari Thailand. Untuk penerbangan dalam negeri Thailand, kami harus membawa fotokopi akte lahir bayi sebagai tanda pengenalnya.
Sekitar anak kami berumur setahun, kami baru urus passportnya. Jadi selama hampir setahun, kami ga pulang ke Indonesia. Waktu pulang pertama kali ke Indonesia setelah anak lahir, kami harus mengurus visa untuk anak kami yang berlaku 3 bulan, dan nantinya setelah tiba di sini akan diubah menjadi visa 1 tahun.
Rencana menuliskan pengalaman melahirkan di RS di Chiang Mai saja, tapi jadi kepikiran menyampaikan informasi ekstra soal pembuatan dokumen untuk anak yang lahir di sini. Siapa tahu ada yang berencana tinggal di Chiang Mai dan butuh informasinya hehehe.
Sekarang ini di Chiang Mai ada beberapa mall, tapi mall favorit kami tetap Central Airport Plaza (atau Airport Plaza aja singkatnya). Dulu, kantor Joe lokasinya persis diseberang mall ini, dan dulu mall ini satu-satunya mall di kota ini. Waktu baru datang ke Chiang Mai, di masa belum punya anak, kami cukup sering ke sana untuk sekedar makan siang, atau makan malam dilanjutkan nonton bioskop.
Teringat dulu di Bandung, sebelum pindah ke Chiang Mai, kami juga cukup sering ke BIP dan BEC. Dulu ke mall itu bisa dari siang buat ke salon creambath, refleksi, makan sore dan nonton. Apalagi di masa hotspot untuk online belum banyak dan paket data di HP masih mahal, kadang-kadang ke mall itu buat dapat koneksi internet juga haha.
Sekarang ke mall di sini, lebih sering buat anter Jonathan taekwondo sekalian biar Joshua bisa main di play areanya. dan ya sekalian makan siang/malam. Walau ada banyak restoran untuk dipilih di mall, tapi akhirnya kami seringnya makan di restoran yang itu lagi itu lagi. Mall ini ada 2 foodcourt, dan harga food court ga jauh beda dengan harga di luar mall (berbeda dengan di Indonesia). Di food court lantai 4, belakangan ini di bagian tengahnya ada tempat bermain untuk anak-anak. Joshua senang main di sana walaupun tempatnya kecil.
Airport plaza ini memiliki kamar mandi untuk family, ada 2 ruang menyusui (fitur ini dulu berguna sekali pas jaman masih menyusui, karena saya ga tipe yang menyusui di muka umum dan anak-anak ga ada yang betah menyusui ditutupi dengan kain). Ruang ganti popoknya juga ada hampir di setiap kamar mandi di setiap lantai dan belakangan kami baru tau ada penyewaan stoller dan atau mobil-mobilan yang bisa kita dorong untuk membawa anak dari bayi atau toddler. Baru-baru ini ada kamar mandi khusus untuk anak-anak yang ukurannya disesuaikan untuk anak-anak dan ortu bisa lihat dan bantu (ada pintunya tapi ortu bisa lihat). Jonathan senang ke kamar mandi yang itu, saya senang karena bisa mengawasi dan Jonathan ga perlu ikut ke kamar mandi wanita lagi kalau misalnya papanya ga ikutan bareng-bareng.
Beberapa tahun terakhir, ada Happy train gratis dan setahun terakhir ada soft play area untuk toddler yang gratis. Minggu lalu soft play areanya nambah lagi 1 tempat. Joshua yang dari kecil udah sering diajak ke sana karena anter Jonathan taekwondo 2 x seminggu, udah punya rutin sendiri dan hapal titik bermain yang dia mau. Untungnya semua tersedia di lantai 4. Lantai yang sama dengan tempat Jonathan latihan taekwondo.
Sebenarnya dulu ada soft play area yang berbayar juga di sana, tapi karena Joshua masih terlalu kecil, kami ga masukin dia ke sana, walaupun tempatnya tentunya lebih luas lagi. Lagipula kalau ada yang gratis ngapain bayar ya hehehehe. Anak-anak itu gampang bosan bermain, kalau kita bayar buat 3 jam, tau-tau dia bosan 30 menit, kan rugi rasanya hahaha. Tempat ini sekarang lagi di renovasi, udah beberapa bulan ini direnovasi dan entah kapan selesainya. Selain soft play area, di dalam Robinson juga ada meja Lego yang memperbolehkan anak-anak main gratis. Dulunya cuma ada 2 meja kecil. Sekarang mejanya jadi besar dan yang main bisa tambah banyak. Jadi nambah titik berhenti buat anak bermain di mall.
Yang paling menyenangkan dari kota ini adalah, di mall itu kita bisa parkir dengan gratis. Tempat parkirnya juga cukup luas, ada yang indoor dan outdoor. Dulu jaman masih berdua doang, kami lebih sering memilih parkir outdoor. Setelah punya anak dan ribet bawa-bawa stroller dan takut hujan, kami lebih sering dapat parkir indoor hehhee.
Kadang-kadang, di hari Sabtu sore, kalau ga tau mau ke mana dan cuaca mendung, kami memutuskan ke mall. Ke mall itu buat makan, naik Happy train gratis, main di area bermain gratis, mainan lego gratis dan ya udah pulang. Buat hal-hal gratisan begitu aja bisa beberapa jam di mall. Sebenarnya kalau Joshua udah bisa diajak nonton bioskop, kemungkinan kami bakal lebih lama lagi di mall hahaha. Tapi untuk nonton bioskop kami lebih suka ke mall yang lain sih.
Airport plaza ini di memory saya seperti Bandung Indah Plaza. Mungkin karena sama-sama sering kami kunjungi. Lokasinya juga ga jauh dari rumah (dulu dari rumah kost). Pernah sekali saya salah sebut mau ke Airport Plaza bilangnya mau ke BIP, dan jalan menuju ke sana dalam bayangan saya jalan Dago hahaha.
Kalau sering ke mall tapi bukan buat belanja, bisa disebut anak mall ga ya? hehehe.