Jonathan dan Global Art

Jonathan dari kecil gak suka mewarnai. Dari dulu kalau menggambar juga ya suka asal-asal saja. Sejak homeschooling, karena saya tidak sabar ajarin teknik gambar warna ataupun yang mengarah ke art, saya daftarkan Jonathan ikutan kelas di Global Art dekat rumah.

Global Art ini franchise international, mereka punya program yang cukup jelas step by stepnya. Tiap level ada buku kerja untuk muridnya, di akhir level anak akan diberi semacam test kecil dan diberi laporan ke orangtua. Sejak ikutan kelas di sana, Jonathan sudah menyelesaikan 2 buku (1 buku kira-kira 10 gambar), dan sekarang sudah hampir menyelesaikan buku ke – 3.

Tujuan saya masukkan Jonathan ke Global Art untuk menjadi bagian dari homeschoolnya karena saya tidak bisa mengajar art. Awalnya saya pikir masa sih mewarnai saja harus dilesin? tapi ternyata setelah sekian lama saya bisa lihat kalau lesnya gak sekedar mewarnai. Ada teknik mewarnai mulai dari menggunakan crayon, pensil warna, cat air dan kadang-kadang ada selingan kelas handicraft juga.

Lanjutkan membaca “Jonathan dan Global Art”

Jauh Dekat itu Relatif

Kalau ditanya waktu belajar matematika atau fisika mengenai apa unit yang dipakai untuk mengukur berapa jauh sebuah jarak? jawabannya biasanya meter (atau konversinya ke cm, km tergantung jarak apa yang mau diukur. Tapi, sekarang ini, rasanya jarak tidak lagi diukur semata-mata dengan meter saja. Misalnya nih waktu di Jakarta, diajakin ke suatu tempat, kalau ditanya: eh kalau TMII jauh gak ya dari Depok. Jawabannya: deket kok, cuma sekitar 1 jam. Tapi kalau ditanya: eh kalau dari Monas ke Depok jauh ga ya? jawabannya: jauh itu, naik grab aja kalau lagi rush hour bisa 300ribu ongkosnya, belum lagi berjam-jam sampainya.

Sejak tinggal di Chiang Mai, kebanyakan tempat itu terasa dekat, terutama yang berada di sekitar rumah. Kalau nyetir gak sampai 15 menit walaupun jaraknya 15 km dari rumah, pasti berasa dekat. Kalau jarak tempuhnya 30 menit dekat atau jauh? ya tergantung di mana, kalau di Jakarta 30 menit itu dekat, kalau di Chiang Mai 30 menit nyetir itu terasa jauh (dan memang jarak yang ditempuh lebih jauh pada nyetir 30 menit di Jakarta).

Ada 1 lagi faktor yang bikin perasaan jauh atau dekat itu. Semakin sering kita ke suatu tempat, semakin dekat rasanya. Misalnya, dulu ke taman rajapreuk terasa jauh dari rumah kami, padahal ya nyetirnya 15 – 20 menitan, tapi setelah tahun lalu hampir setiap weekend main ke taman rajapreuk, tempat itu jadi dekat dari rumah. Ada lagi daerah turis di sini, tempat anak muda sering nongkrong, daerah Nimanhaemin, dulunya tempat itu terasa jauh buat kami (karena memang lalu lintasnya juga sering macet), tapi waktu Jonathan ke sekolah deket situ, akhirnya nemu jalan pintas dan jadi terasa dekat. Sekarang gimana rasanya setelah gak ke sana lagi tiap hari? ya mulai terasa gak jauh tapi juga gak deket-deket banget.

Masalah jarak tempuh ke suatu tempat di Chiang Mai sebenarnya sudah mulai ada perubahan juga. Kalau dibandingkan 12 tahun lalu, Chiang Mai yang sekarang ini jalannya tambah banyak. Jalan tambah banyak tapi juga volume kenderaan tambah banyak karena sepertinya penghuni kota ini juga bertambah banyak. Jam-jam tertentu, lalu lintasnya mulai terasa lama di jalan, tapi untungnya jalanannya tetap terjaga kualitasnya gak pada berlubang.

Dulu, di Bandung, rasanya ke mana-mana dekat. Tapi belakangan saya dengar Bandung mulai macet. Terakhir kami pulang, kami gak jadi ke Bandung karena katanya jarak tempuh Jakarta Bandung sekarang ini bisa sekitar 5 jam dan lebih baik naik kereta api daripada mobil sendiri atau bis. Nah sebenearnya ini pasti tergantung jam berapa juga, kemungkinan karena banyak yang gak mau bangun pagi misalnya, jadilah jalanannya penuh di jam orang normal bangun dan bikin jalanan macet. Jadi sepertinya dengan kemacetan yang ada membuat Bandung jadi Jauh dari Jakarta walaupun sudah ada jalan tol.

Dulu, pulang ke Indonesia itu terasa jauh sekali, apalagi karena belum banyak pilihan pesawat dan kadang-kadang transit itu harus nginap dulu karena jadwal pesawat gak ada yang pas untuk langsung sampai di hari yang sama. Beberapa tahun belakangan ini, sudah semakin banyak pilihan maskapai dan juga mau transit di mananya dan rata-rata bisa sampai di hari yang sama (yang beda cuma harga tiketnya saja). Harapannya di kemudian hari Chiang Mai terasa makin dekat dari Indonesia, walaupun jaraknya tidak berubah dari dulu kala.

Pantesan saja ya ada yang bilang jauh di mata bisa dekat di hati, karena jauh dan dekat itu relatif terhadap perasaan hehehe. Tulisan random ini sebenarnya sedang bersyukur bisa tinggal di kota Chiang Mai yang jarak tempuh ke tempat-tempat yang perlu kami kunjungi tidak terlalu lama dan atau terasa jauh.

Mencoba Mi Band 3

Setelah lama memakai smart band tak bermerk seharga 17 dollar, akhirnya hari ini memutuskan membeli Mi Band 3. Sebenarnya smart band yang sebelumnya masih bekerja dengan baik dan baru saja saya ganti talinya, lagipula saya gak memakainya untuk tracking langkah atau lari. Selama ini lebih terpakai untuk notifikasi kalau ada telepon masuk saja. Saya selalu set HP saya tanpa nada dering kecuali memang sedang menunggu pesanan delivery makanan haha. Nah kalau lagi di luar sama anak-anak, kadang saya gak tahu kalau ada telepon masuk. Dengan bantuan smart band, saya bisa tahu ada telepon atau pesan masuk.

Bagusan mana? yang hitam atau yang merah?

Mi Band 3 harganya 2 x lipat smart band saya yang lama, tapi juga masih lebih murah dibandingkan smart watch lainnya. Alasan saya membeli Mi Band 3 ini karena jam yang lama softwarenya sudah tidak diupdate lagi. Setiap kali ganti HP, Joe harus mengatur secara khusus supaya jam nya bisa terhubung ke HP. Selain itu, entah kenapa belakangan ini jam tangannya sering terputus koneksinya dari HP, dan saya menyadarinya biasanya setelah ada panggilan tak terjawab di HP saya.

Belakangan ini saya juga mulai sering berenang, nah jam yang lama tidak tahan air, sedangkan si Mi Band 3 ini katanya walaupun tidak punya aplikasi khusus untuk mengukur berapa jauh kita sudah berenang, tapi versi ini sudah tahan air dan bisa di bawa berenang. Jadi ya…bertambahlah alasan buat beli. Siapa tahu juga ke depannya jadi rajin buat mencapai target jumlah langkah seharinya hehehe.

Sebenarnya ada banyak jenis smart band/smart watch yang tahan air dan bisa dipakai berenang selain memberi notifikasi telepon dan pesan masuk, tapi saya membeli Mi Band 3 karena benda ini cukup murah, batere tahan lama dan fungsinya cukup untuk kebutuhan saya. Saya gak butuh tracker aneh-aneh, tapi kalaupun butuh untuk hitung langkah, lari, atau heart rate selain berenang semua sudah ada di Mi Band 3. Jadi dengan harga murah dapat fitur lebih dari cukup untuk saya, ya…jelas dong beli ini aja.

Kesan pertama lihat jam ini lucu juga dan terasa lebih ringan dari jam sebelumnya. Sayangnya, untuk chargingnya saya butuh charger khusus, tidak seperti jam saya sebelumnya yang bisa langsung bisa di charge tanpa kabel ke USB. Memang sih kalau ada colokan masuk ke USB langsung, jamnya jadi agak lebih panjang dari seharusnya. Tapi ya repot karena kabelnya gak standar, kalau hilang bisa berabe.

Semoga generasi mi band berikutnya bisa di charge langsung tanpa kabel seperti versi jam saya yang lama

Kata Joe, talinya nanti bisa beli warna-warna lain, tapi sekarang ini saya mau lihat juga berapa lama kira-kira umur tali yang hitam. Kalau sudah bosan boleh juga nanti beli warna lain biar berasa jam baru lagi hehehe. Semoga juga jam ini tahan lama kayak jam versi sebelumnya, kapan-kapan kalau udah lebih tau banyak plus minusnya akan saya tuliskan lagi.

Facebook VS Blog

Nggak terasa udah beberapa bulan jadi rajin nulis blog sejak ikutan tantangan OneDayOnePost tahun lalu. Blog yang tadinya sekian lama gak diisi, tiba-tiba jadi diupdate setiap hari. Misi ikutan ODOP yang sekarang menjadi Sehari Satu Tulisan bisa dibilang cukup berhasil. Ada hari-hari di mana tetap gak punya ide mau nulis apa, karena rata-rata isi tulisan saya umumnya cerita keseharian saja. Idealisme menuliskan sesuatu harus secara lengkap panjang lebar dilengkapi gambar juga udah hilang. Sayangnya, sejauh ini tetap belum bisa menemukan waktu rutin untuk menulis.

Hari ini hari terakhir bulan ke-2 tahun 2019, gak terasa sejak rajin ngeblog saya jadi jarang update status di FB. Teorinya, setiap ngeblog tulisannya saya post di FB, tapi kadang saya pikir, ah gak usah dishare, nanti orang-orang bosan baca tulisan saya hehehe. Padahal cerita di blog ini bisa lebih lengkap dibanding status FB saya yang jarang banget cerita panjang lebar.

Dulu, salah satu alasan kenapa jadi jarang ngeblog adalah karena adanya FB. Pasang status di FB itu bisa singkat, cukup 1 foto atau tanpa foto dan 1 paragraph, kalau di blog cuma 1 paragraph rasanya aneh, padahal ya gak ada juga larangan nulis blog cuma 1 paragraph.

Nulis status di FB itu biasanya rasanya lebih “aman” karena pembacanya bisa dibatasi, yang komen juga bisa dibatasi hanya teman kita. Nulis posting di blog begini, saya gak tau siapa saja yang mampir ke sini karena jarang ada yang ninggalin jejak, kadang yang berusaha ninggalin jejak malahan spam doang (untungnya blog kami udah ada mekanisme menyaring komen-komen spam).

Kadang-kadang tapi merasa bersalah juga, ada yang komen di blog tapi gak saya balas karena notifikasi komennya gak saya set dikirim ke e-mail hehehe. Mungkin ini juga yang bikin orang-orang malas ninggalin komen (selain mungkin gak tau mau komen apa karena cerita saya sering random).

Seperti tulisan random lainnya, sepertinya tulisan ini cukup sampai di sini sebelum tambah random lagi. Oh ya, kalau ada yang rajin ngunjungi blog ini dan bingung kenapa tulisannya selang seling antara tulisan random dan topik teknis, ya jangan heran karena blog ini yang ngisi 2 orang. Joe lebih sering nulis soal teknis walau kadang-kadang dia juga nulis hal-hal random, tapi tulisan saya lebih banyak randomnnya hahaha.

Happy Ending?

Realita hidup ini gak selalu semua berakhir dengan bahagia. Tapi tentunya kalau nonton film atau baca fiksi yang endingnya ga bahagia, rasanya kok ga enak ya. Padahal bisa saja kita teruskan sendiri ceritanya berdasarkan imajinasi kita dan semuanya bisa berakhir sesuai maunya kita. Tapi itukan beda dan ga seru, mau refreshing gak pake mikirin ending sendiri ah, mau terima yang pasti-pasti aja. Dalam hidup ini juga mana ada sih yang tau pasti apa yang terjadi besok hari, tapi kadang kita bisa prediksi apakah besok hujan atau tidak berdasarkan berbagai faktor yang bisa diukur di alam ini.

Aduh ini mau ngomongin apa sih, pasti langsung nuduh saya mau bahas drama korea ya? Hahahaha, ya dan tidak sebenernya, mau ngomongin film seri aja secara umum. Walaupun awalnya nulis ini karena mikirin beberapa generalisasi dari film-film yang saya tonton terutama beberapa kdrama yang belakangan ini jadi tontonan saya.

Untuk genre romantis, happy ending itu jelas kalau akhirnya setelah lika liku kisah cinta naik turun, akhirnya mereka hidup bahagia selamanya, walaupun biasanya dalam setiap kisah cinta akan ada tokoh yang jadi orang ke-3 atau ke-4 yang kurang beruntung mendapatkan versi bahagianya. Minimal harus ada kejelasan bahwa mereka akan bersama, bukan dikasih hint doang kayak endingnya Alhambra hehehe.

Untuk genre horror, happy ending itu tentunya kalau tokohnya ada lebih dari 1 yang selamat. Film-film Holywood biasanya diawalin dengan sekelompok orang yang terisolasi dan pada akhir episode hanya 1 atau 2 yang masih hidup. Lah yang lain kemana? ya namanya horror, pastilah yang lain ga selamat jadi korban mahluk yang mengejar-ngejar yang hidup. Mahluknya bisa berupa mahluk imajinasi atau orang super jahat kayak film Saw.

Untuk genre action, happy ending itu kalau anak mudanya berhasil mengalahkan orang jahatnya. Kalau orang jahatnya yang menang, pasti penonton merasa kecewa. Misalnya kalau film Superman VS Batman gimana dong? emang yang mana yang anak mudanya? pasti deh ada yang kecewa dengan endingnya film itu.

Ada genre apalagi ya, oh science fiction, happy ending itu kalau penjelasan ilmiahnya masuk di akal kita dan berhasil membantu tokoh utama menyelesaikan misinya. Dulu ngikutin serial Fringe, ini ceritanya sempat agak kesana kemari gak jelas, eh tau-tau akhirnya nyambung lagi dengan season awal dan semua diselesaikan, padahal tadinya udah sempet males ngikutinnya.

Entah kenapa, mau itu buku atau film, ada kecenderungan kita ingin melihat sesuatu berakhir dengan bahagia. Walau begitu, ada juga beberapa series yang membuat penonton berpihak ke orang yang melakukan kejahatan. Ini sih biasanya ada penjelasan yang merasionalkan kejahatannya, dan secara gak langsung penonton akan pro sama kejahatan yang dilakukan sama pemeran utamanya.

Siapa yang pernah tau serial Dexter? pernah ga waktu nonton serial itu ikut deg-degan waktu identitasnya hampir terbongkar? padahal kalau beneran ada di dunia nyata, Dexter itu orang jahat loh apapun alasannya. Buat yang belom pernah nonton atau tau Dexter, silakan google heheh, terlalu panjang buat saya jelaskan di sini.

Ada yang inget serial Prison Break? nah saya tanyakan, kira-kira apakah kalau ada napi yang kabur dari penjara kita akan merasa senang? atau kita malah jadi kuatir. Gimana dengan serial Breaking Bad? ikut senang ga dengan endingnya? atau kasihan dengan nasib tokoh utamanya setelah dia hampir ketahuan berkali-kali?

Pada akhirnya semua kembali ke persepsi dan imajinasi kita. Karena hidup ini adalah proses, kita yang menentukan apakah sejauh ini hidup kita happy atau gak. Konflik dan masalah akan selalu ada, tapi bukan berarti kalau lagi banyak masalah hidup kita lagi ga happy. Kebahagiaan itu pilihan, nonton serial yang endingnya selalu happy juga pilihan hahaha. Maaf kalau tulisan ini terasa agak random.

Malasnya Pakai Kacamata

Pakai kacamata itu hal biasa jaman sekarang ini. Banyak orang mulai pakai kacamata sejak masih cukup muda. Tapi buat saya, tidak memakai kacamata itu suatu kebanggaan tersendiri, selain ada rasa malas memakai kacamata. Setelah ditunda-tunda dan semakin terasa mengganggu, awal tahun lalu saya akhirnya bikin kacamata pertama saya. Tapi ternyata, dalam setahun kemarin, saya tetap saja jarang pakai kacamatanya kecuali terpaksa.

Saya menunda bikin kacamata karena dari pengalaman Joe, dia bikin kacamata beberapa tahun lalu, tapi akhirnya gak dipakai juga karena basically masih bisa membaca dengan baik tanpa kacamata. Kalau gak harus mengecek kerjaan sekolah Jonathan, mungkin saya juga merasa butuh pakai kacamata. Tapi belakangan, mungkin kebanyakan nonton di HP, mata saya makin terasa buram kalau gak pakai kacamata hahaha.

Dulu saya gak mengerti kenapa orang yang biasa pakai kacamata mendeskripsikan apa yang mereka lihat tanpa kacamata. Sekarang untuk melihat benda-benda di sekitar atau menyetir di siang hari saya merasa masih biasa saja tanpa kacamata, tapi kalau urusannya membaca dan cahayanya gak cukup terang, nah itu dia baru terasa kayak kamera yang gak fokus. Kadang-kadang masih bisa sih nebak-nebak apa yang saya baca, tapi rasanya gak enak juga kalau gak pakai kacamata.

Untuk mengetik di laptop, tahun lalu saya masih merasa baik-baik saja tanpa kacamata. Tapi belakangan ini, mulai deh mengerti kenapa mama saya selalu butuh kacamatanya untuk baca tulisan di handphone hehehe. Memang ya, mata ini anugerah Tuhan yang luar biasa. Saya bersukur bisa memakai mata normal cukup lama tanpa kacamata. Tapi ya dengan bertambah umur, gak bisa dielakkan matanya butuh bantuan kacamata biar bisa fokus.

Alasan saya gak suka pakai kacamata terutama karena merasa gak nyaman dengan ada sesuatu yang bertengger di depan muka. Mungkin juga saya salah memilih frame, saya pikir frame plastik paling ringan, tapi jangan-jangan harusnya saya pilih yang titanium atau bahkan yang gak berbingkai supaya lebih ringan lagi. Kacamata saya bahannya bukan kaca, teorinya sudah cukup ringan, tapi tetap saja saya merasa berat dan lebih nyaman kalau gak harus pakai kacamata.

Alasan lainnya, Joshua suka merebut kacamata dan pengen memainkannya. Mungkin dia merasa aneh lihat mamanya pakai kacamata, atau mungkin dia pikir ini mainan doang jadi dia mau coba pakai juga. Alasan berikutnya, kacamatanya gak enak dipakai kalau kotor, tapi untuk sering-sering membersihkannya juga rasanya repot. Saya sering lupa membawa kain lapnya, dan saya jadi mengerti kenapa orang suka mengelap pakai bajunya saja haha.

Katanya, kalau udah umur di atas 40, kita perlu cek mata sekali setahun seperti halnya kita perlu cek gigi setiap 6 bulan. Tahun ini saya belum cek mata lagi, mungkin juga plus mata saya sudah nambah, tapi sekarang ini saya merasa memakai kacamata yang sekarang cukup signifikan membantu untuk melihat tulisan dibanding tidak pakai kacamata.

Saya berharap anak-anak nantinya matanya bisa sehat-sehat juga sampai umurnya pakai kacamata plus. Kasian kalau kecil-kecil pakai kacamata. Salut buat teman-teman yang dari dulu sudah pakai kacamata. Salut karena bisa betah gitu pakai kacamata dan terbiasa untuk ingat bawa kacamatanya hehehe. Sampai sekarang saya masih sering lupa untuk bawa kacamata saya. Untungnya untuk membaca tulisan di HP android, fontnya bisa di set besar, jadi saya bisa baca tanpa kacamata.

Buat yang belum pakai kacamata, sayangilah mata Anda, karena pakai kacamata itu gak senyaman melihat segala sesuatu tanpa kacamata hehehe. Sekarang saya mengerti, nasihat orangtua dulu untuk tidak menonton TV terlalu dekat atau membaca buku di tempat yang cahayanya kurang terang itu untuk kebaikan mata saya juga, dan bersyukur kalaupun dulu sering melototin layar komputer, saya bisa makai mata normal dengan optimal.

Curhat Potty Training

Tiap anak berbeda, tapi ada timeline yang bisa jadi garis besar untuk perkembangan tiap anak. Katanya gak baik membanding-bandingkan anak, tapi ya mau tak mau, punya anak 2 secara gak langsung jadilah membandingkan. Dulu potty training Jonathan juga ga mudah, tapi sebelum 3,5 tahun Jonathan sudah bisa dinyatakan lulus potty training. Setelah agak besar pernah sekali dua kali insiden terutama kalau dia kecapean dan gak ke toilet dulu sebelum tidur, tapi ya masih dalam batas wajar, karena dalam setahun gak lebih dari 3 kali insidennya terjadi.

Sekarang Joshua 3 tahun 8 bulan, tapi masih pakai popok :(. Awalnya sih mikirnya ya santai aja, ada teori baru, anak-anak itu gak perlu di potty train, ntar juga dia akan mengerti dan bisa ngerti untuk ke toilet. Tapi karena badan Joshua cukup besar untuk umurnya, semakin susah mencari popok untuk ukuran dia. Maka kamipun memutuskan waktunya untuk mengajari Joshua ke toilet.

Banyak teori terkait bagaimana cara membawa ke toilet dan kapan waktunya memulai potty train, tapi yang paling penting adalah membawa anak secara rutin dan mengerti apa itu pipis dan di mana tempatnya. Persoalan saat ini adalah: setiap kami bawa ke toilet, Joshua belum pernah mau pipis. Kadang-kadang bangun di pagi hari popoknya masih kering, di bawa langsung ke toilet, tetep aja gak pipis. Mungkin ini juga karena Joshua malas minum, jadi ya memang belum terasa pipis dan gak bisa memaksakan pipis.

Sekarang ini, akhirnya kami memakaikan celana biasa kalau di rumah, dengan resiko kalau dia kepipisan ya basah dan harus ngepel, dan hanya memakaikan popok kalau pergi. Belakangan dia mulai terlihat kayak orang kebelet pipis sambil pegang-pegang gitu, tapi sejauh ini di bawa ke toilet gak pernah mau jadi pipis, malah maunya main-main air. Terus tak lama setelah pasang celana lagi, baru deh dia pipis (dan harus ngepel huhuhu).

Masalah dia jarang minum juga masih harus dipikirkan gimana supaya dia suka minum. Dia suka minum, susu dan semua yang manis, tapi rasanya gak mungkin kan kalau dia dikasih minuman manis terus menerus. Jadi ya sekarang ini harus super sabar saja sampai dia mengerti dan bisa kasih tau dia butuh ke toilet.

Katanya orang-orang, emang lebih susah melatih anak laki-laki untuk potty train. Ya untungnya ini anak ke-2, jadi kami lebih sabar juga sih karena udah punya pengalaman sebelumnya. Tulisan ini juga sekedar jadi catatan buat ingat kapan kami memulai melatih Joshua ke toilet. Di masa depan kalau baca tulisan ini dan masa ini sudah berlalu, tentunya bisa berbagi tips lebih banyak.

Siapa yang lagi melatih anak ke toilet juga? semangat ya ibu-ibu dan bapak-bapak! Oh ya, para bapak, bantuin istri juga ya kalau latih anak ke toilet, apalagi kalau anaknya laki-laki.