Hari ini adalah ulang tahun ke-5 Joshua. Walaupun saat ini sudah memasuki era new normal, tapi kami tidak merayakan ulang tahun Joshua bersama teman-teman, cukup sekeluarga saja. Joshua saat ini sedang sangat suka Minecraft, jadi saya terpikir untuk membuatkan ucapan selamat di Minecraft.
Saya dan Jonathan membuat ucapan selamat di server lokal kami, berupa tulisan Happy Birthday Joshua, dan juga sebuah kue besar dengan angka 5 di atasnya. Saya dan Jonathan bekerja sama di server minecraft memakai Raspberry Pi 4 (saya memakai versi yang 4 GB untuk server Minecraft).
Hari ini Joe ulang tahun ke 40, dan hari ini saya baru tahu juga kalau setiap tanggal 17 Mei diperingati sebagai Hari Buku Nasional sejak tahun 2002. Mungkin suatu kebetulan kalau ternyata Joe lahir di hari yang sama dengan hari berdirinya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 17 Mei 1980. Joe punya hobi membaca buku dan belajar berbagai hal.
Kemana saja saya selama ini tidak tahu tentang Hari Buku Nasional? Ngakunya hobi baca buku, tapi tidak tahu tentang hari buku? Setiap tahun merayakan ulang tahun Joe, tapi tidak pernah tahu kalau itu hari ulang tahun Perpustakaan Nasional? Ya, saya kan bukan pegawai perpusnas, cuma pemakai aplikasi iPusNas, ngeles aja hahaha.
Baiklah, dengan semangat hari buku Nasional, mari kita merayakan ulang tahun Joe dengan cerita tentang Joe si kutu buku. Iya, dia itu bisa dibilang kutu buku yang sangat suka membaca. Hobinya membaca yang membuat dia jadi memiliki banyak wawasan dan bisa membuat bahan pembicaraan kami tidak habis-habis dan dia jadi lebih banyak tahu. Memang benar kalau buku itu jendela ilmu pengetahuan.
Tanggal 4 Mei 2007, kami tiba di Chiang Mai untuk pertama kali. Awalnya, tidak terbayang akan tinggal sampai selama ini di kota ini. Sebelum tinggal di Chiang Mai, saya tinggal di Bandung selama 12 tahun. Jadi, sekarang saya bisa bilang kalau saya sudah lebih lama tinggal di Chiang Mai daripada di Bandung.
Foto di Rathcpreuk Februari 2020, sebelum semua harus di rumah saja
Di tulisan tahun lalu, ada yang bertanya dan belum saya jawab tentang bagaimana awalnya kami pindah ke Chiang Mai. Saya cari lagi, sepertinya saya belum pernah menuliskan kisah awal kami ke sini. Jadi, di tulisan ini akan sekalian saya tuliskan, supaya jadi catatan untuk kami juga di kemudian hari.
Tidak ada manusia yang hidup selamanya, semua orang ada batas umurnya. Di awal pandemi, saya pernah berkata kepada suami semoga keluarga kami yang jauh di Indonesia semua baik-baik saja, karena kami tidak mungkin bisa pulang dengan kondisi penerbangan di masa pandemi ini.
Orangtua kami memang sudah cukup tua, dan mempunyai beberapa keluhan kesehatan sejak beberapa tahun terakhir. Tapi selain berdoa mereka tidak kena infeksi covid-19, juga berharap mereka sehat-sehat saja dan berumur panjang supaya bisa beretemu lagi. Saya rasa setiap orang pasti berharap hal yang sama.
Manusia hanya bisa berdoa dan berharap tapi umur di tangan Tuhan. Kami sungguh tidak menduga kalau ibu mertua saya yang kami panggil Emak dipanggil Tuhan di masa pandemi ini. Rasanya? jangan ditanya, saya tidak bisa mendeksripsikannya dengan kata-kata.
Namanya duka itu sama apapun penyebabnya, rasanya sedih luar biasa. Walaupun kita tahu tidak ada manusia yang bisa hidup selamanya, kita tidak akan pernah siap kehilangan orang yang kita sayangi. Sebagai orang yang percaya Tuhan, kita harus menerima dan mengikhlaskan. Saya percaya dukacita itu datang tidak sendirian. Akan ada pelangi sehabis hujan.
Saya belajar, rasa duka itu jangan disimpan sendiri tapi dibagikan supaya tidak jadi penyakit. Saya sungguh merasakan tangan Tuhan bekerja menghiburkan kami yang jauh di negeri orang ini. Kami mendapatkan ucapan turut berduka dan doa-doa yang luar biasa dari banyak sekali kerabat dan teman-teman di media sosial dan jalur pribadi ke kami.
Banyak ucapan dari teman-teman yang selama ini sudah lama sekali tidak pernah berinteraksi dan saya pikir sudah tidak aktif lagi di media sosialnya. Sungguh saya berterimakaih untuk semua ucapan yang sudah menguatkan kami.
Saya belum bisa membalas semua ucapan duka sekarang ini. Rasanya untuk menuliskan ini saja, saya memaksakan diri supaya saya tidak larut dengan pikiran sendiri. Saya bersyukur kalau ternyata di masa pandemi ini, masih banyak yang perduli dengan kami.
Dengan bantuan teknologi internet, kami bisa melihat wajah Emak untuk terakhir kali. Kami bisa melihat ibadah kebaktian pelepasan, penutupan peti sampai diantar ke peristirahatannya yang terakhir. Kami berterimakasih dengan semangat gotong royong yang ada,masih ada beberapa orang yang bisa hadir walaupun di masa pandemi.
Masa pandemi memang bukan masa yang normal. Normalnya, mungkin yang hadir akan lebih banyak lagi, tapi ada yang bisa membantu semua sampai dimakamkan saja rasanya sudah luar biasa. Saya juga tidak berharap melihat ada kerumuman orang yang banyak, karena saya juga tidak ingin melihat kedukaan kami membawa kedukaan berikutnya buat orang lain kalau misalnya salah satu yang datang orang tanpa gejala.
Ada satu hal yang selalu jadi pertanyaan kalau ada yang meninggal saat ini. Biasanya akan ada yang bertanya-tanya: jangan-jangan covid-19? Memang ada banyak berita di mana seseorang yang meninggal karena didiagnosa penyakit biasa, belakangan diketahui positif covid-19 atau masuk kategori PDP. Nah untuk hal ini, maka saya merasa lega kalau Emak bisa dimakamkan secepatnya dan kami tetap bisa melihatnya untuk terakhir kali.
Kemarin, ada seorang saudara juga bertanya ke saya, apa penyebab kematian Emak? yang saya tahu Emak memang sudah lama punya penyakit diabetes dan komplikasi ke jantung setahun terakhir ini. Beberapa hari terakhir juga tidak ada keluhan seperti orang yang sakit covid-19 dan kesehatannya selalu dipantau oleh dokter pribadi alias adik ipar saya.
Kepergian Emak kemarin memang sangat mendadak, sore harinya masih sempat main dengan cucu-cucunya. Malam harinya masih sempat minta dibikinkan teh hangat ke bapak, dan teh baru jadi, Emak sudah terbaring pergi begitu saja. Jadi ya, saya hanya bisa menjawab semoga saja bukan covid-19, karena kalau iya, saya tidak bisa bayangkan keluarga kami yang lain akan terkena juga.
Bertanya untuk menunjukkan perhatian dengan rasa ingin tahu itu beda tipis. Tapi sebagai yang berduka, saya juga mengerti kenapa ada pertanyaan tersebut. Sebagai yang berduka, kita juga harus menerima kalau yang datang tidak sebanyak masa normal.
Hari ini saya mendapat berita duka lain dari Medan. Salah seorang kerabat dari papa saya meninggal pasca operasi. Mama saya jadi dilema pergi atau tidak untuk menyampaikan rasa dukacitanya. Sebagai orang batak, pemakaman orangtua di atas umur 60 tahun biasanya bisa berhari-hari dan seperti pesta besar saja, tapi tidak di masa pandemi ini.
Mama saya sudah masuk dalam lanjut usia, sudah 74 tahun, jadi termasuk beresiko tinggi terhadap covid-19. Saya tegaskan ke mama saya, mungkin kerabat yang meninggal memang bukan karena covid, tapi lingkungan rumah sakit dan bertemu dengan banyak orang dari berbagai area, itu yang berbahaya. Akhirnya mama saya menelpon saja untuk menyampaikan rasa dukanya.
Pengalaman berduka di masa pandemi ini mengajarkan saya 3 hal:
Hal pertama: sampaikan dukacita tanpa bertanya-tanya penyebabnya, apalagi dengan nada menuduh jangan-jangan covid-19. Karena belum tentu semua orang menerima dengan baik maksud pertanyaannya dan malah bisa membuat yang berduka jadi tambah kesal.
Hal kedua: jangan memaksakan diri untuk datang ke acara duka, apalagi jika kita termasuk golongan beresiko tinggi atau bukan keluarga langsung. Karena walaupun mungkin yang meninggal bukan karena covid-19, selalu ada resiko bertemu orang tanpa gejala di keramaian. Utamakan keselamatan diri sendiri terlebih dahulu
Hal ketiga: internet bukan lagi sekedar dunia maya dengan anonimity dan nama palsu. Internet sudah menjadi perluasan dunia kita yang sebenaranya. Semua komentar duka yang disampaikan di sosial media ataupun jalur pribadi, sama tulusnya dengan ucapan langsung. Bahkan emoji yang ada juga sudah merupakan reaksi dari lingkungan sosial kita.
Masa pandemi ini, bisa dibilang sebagai masa kegelapan. Ada kesedihan di mana-mana. Kesedihan karena kehilangan orang yang kita sayangi ataupun karena kehilangan pekerjaan atau hal-hal lainnya. Semoga pandemi segera berlalu, dan kita bisa berduka ataupun berbagi tawa dengan lebih normal seperti dulu.
Kurang dari dua jam lalu, saya mendapat kabar dari adik saya: Emak meninggal. Emak adalah panggilan kami untuk Ibu. Dulu di Depok ketika saya SD, emak pernah setengah bercanda protes kenapa nggak manggil Mama atau Ibu, tapi panggilan itu sudah melekat sejak kami masih di kampung di Sukoharjo. Baru seminggu yang lalu emak merayakan ulang tahunnya yang ke-64.
Saya baru video call dengan emak dan bapak hari Senin lalu, dan bahkan adik saya baru bertemu beberapa jam sebelumnya, jadi rasanya masih sulit percaya kalau emak sudah tiada. Emak memang sudah memiliki penyakit diabetes sejak lama. Beberapa waktu yang lalu jantungnya juga mulai bermasalah.
Sekitar 10 tahun lalu, ketika Jonathan belum 40 hari, Emak pernah masuk Rumah Sakit lebih dari seminggu dan sampai meminta saya pulang dari Thailand karena merasa ajalnya sudah dekat. Tapi setelah saya pulang, ternyata emak masih bisa sehat sampai saat ini, dan bahkan setelah itu bisa berjalan-jalan ke Thailand beberapa kali mengunjungi kami. Memang kondisi kesehatannya sering turun naik, tapi kami selalu berharap emak akan berumur panjang. Selain pergi ke spesialis, emak juga selalu diperhatikan oleh adik ipar saya yang merupakan seorang dokter.
Ulang tahun terakhir emak, bersama keponakan-keponakan saya
Waktu saya tanya mengenai keinginan hidupnya, emak merasa sudah cukup, hanya ingin melihat cucu-cucunya bertumbuh. Dengan usia yang diberikan, emak sudah bersyukur dikaruniai anak-anak yang semuanya sudah berhasil sekolah tinggi, semua sudah bekerja, menikah dan emak sudah memiliki banyak cucu, laki-laki maupun perempuan.
Saya tidak bisa membayangkan nanti pulang ke Depok dan tidak bertemu emak. Sejak saya kuliah, bahkan sampai saya menikah dan pindah ke Thailand, setiap kali pulang emak akan membuatkan semua makanan kesukaan saya. Emak memang memiliki bakat memasak dan masakannya sangat enak.
Saya berterima kasih pada emak yang sudah membesarkan kami bertiga dengan kesabaran dan kasih sayang hingga bisa sukses seperti sekarang ini. Selamat jalan emak, Tuhan Yesus pasti sudah mempersiapkan tempat terbaik untuk emak.
Tubuh kita sebagian besar terdiri dari air. Kita butuh cairan untuk tubuh kita, dan juga butuh air untuk kebutuhan sehari-hari terutama cuci tangan dengan sabun di masa pandemi ini.
Bumi 70 persennya terdiri dari air (sumber: pixabay.com)
Bumi ini sebagian besar terdiri dari air. Air merupakan sumber daya yang bisa diperbaharui. Air mempunyai siklus dan dalam siklusnya berubah wujud sebelum kembali lagi menjadi air. Air seharusnya tidak pernah habis, tapi ada kalanya air bersih tidak mengalir ke rumah kita karena faktor kekeringan/ kemarau panjang dan juga karena airnya masih di jalan dalam bentuk lain dan belum turun menjadi hujan.
Beberapa hari lalu, saya membaca berita kalau di Thailand secara umum mulai kekeringan. Persediaan air di Chiang Mai juga sudah mulai sedikit stok airnya dan dianjurkan untuk mulai menghemat pemakaian air di rumah-rumah. Walaupun di bulan April tidak ada kegiatan main air karena Songkran dibatalkan, ternyata tidak membuat persediaan air di kota ini cukup banyak sampai musim hujan nanti.
Kabarnya, Cina yang membendung sungai Mekong juga menjadi salah satu penyebab kurangnya air di Thailand. Jadi memang, air itu bisa diperbaharui, tidak akan habis, tapi bisa saja dikuasai atau ditimbun sendiri di satu lokasi.
Biasanya Hari Paskah ngapain aja? jalan-jalan? Liburan? Ziarah ke kuburan? Mendekorasi telur paskah dan mencari telur-telur yang diumpetin? Gereja subuh-subuh? Kumpul sama keluarga? Ikut sakramen perjamuan kudus di gereja? Atau tidur seharian karena udara terlalu panas dan malas keluar rumah?
Tradisi Paskah
Kalau saya, pernah melakukan hampir semua jawaban di atas kecuali ziarah ke kuburan dan mendekorasi telur paskah dan kegiatan mencari telur paskah. Keluarga kami tidak menjalankan tradisi ke kuburan subuh-subuh paskah, tapi saya tau ada banyak orang di Sumatera Utara yang menjalankan tradisi itu dulu (entah sekarang).
Untuk kegiatan mendekorasi telur paskah ataupun mencari telur paskah, sejak saya kecil saya tidak pernah melakukannya. Di gereja yang kami ikuti sekarang di Chiang Mai, anak-anak juga tidak ada kegiatan itu di gereja. Saya bahkan tidak pernah mencari tahu kenapa sih orang-orang sibuk mendekorasi telur dan mencari telur di hari Paskah, karena buat saya itu bukan makna dari Paskah, kegiatan-kegiatan itu hanya tradisi untuk memeriahkan hari Paskah.
Bagusnya, ketika masa sekarang ini, saya tidak perlu repot menyiapkan telur buat dihias anak-anak, karena anak-anak juga tidak dibiasakan dengan kegiatan telur-telur itu. Ah dasar aja emak malas! Ya sebenarnya kombinasi antara malas dan menurut saya telur itu bukan bagian penting dari Paskah.
Ibadah Paskah
Waktu masa kuliah, saya ingat pernah ke gereja jam 5 subuh untuk ibadah paskah. Ngapain subuh-subuh? ya karena adanya jam segitu, dan sengaja pergi subuh biar siangnya bisa jalan-jalan heehhe. Tapi itu cuma 1 kali, seringnya saya ibadah Paskah jam gereja biasa saja, sekali-kalinya pergi subuh itu juga karena ramai-ramai sama teman kos, biar pernah merasakan saja.
Beberapa kali hari Paskah kami sedang dalam perjalanan pulang ke Indonesia, karena di sini biasanya libur Songkran itu di bulan April agak panjang. Kami lebih sering memilih pulang di bulan April ke Indonesia daripada bulan Desember, biar liburnya bisa lebih lama. Harga tiket pesawatnya biasanya relatif lebih murah di bulan April daripada Desember.
Tahun ini, awalnya kami juga ada rencana pulang ke Indonesia di bulan April untuk merayakan Paskah di Indonesia. Tapi ya manusia bisa berencana, Tuhan menentukan. Dengan adanya Covid-19, kami gak bisa pulang deh.
Makna Paskah
Jadi sebenarnya apa sih makna peringatan Paskah itu? Saya sudah pernah menuliskan tentang ini di tulisan lama, baiklah saya tuliskan lagi di sini. Hari Paskah merupakan hari di mana umat Kristiani memperingati tentang Yesus yang bangkit setelah mati di kayu salib pada Jumat agung, dan dikubur selama 3 hari. Yesus bangkit dan hidup kembali, mengalahkan kematian itu.
Ibadah Paskah saat Pandemi Covid-19
Terus kenapa Yesus harus mati? Menurut iman Kristen, manusia tidak bisa menyelamatkan diri sendiri dari dosa walaupun berbuat baik sebanyak-banyaknya.
Manusia butuh Juruselamat untuk menyelamatkan dari dosa. Satu-satunya jalan keselamatan itu ya hanya melalui pengorbanan Yesus di kayu salib – makanya Dia harus mati. Dan kebangkitan Yesus di hari ke-3 menjadi bukti kemenangan Yesus terhadap kematian diperingati sebagai hari Paskah.
Pada ibadah Paskah, biasanya diadakan sakramen perjamuan Kudus sebagai peringatan dari kematian dan kebangkitan Yesus. Nah karena tahun ini ibadah online, gimana dong? Kalau gak ikutan perjamuan kudus, gak sah dong Paskahnya? Ya gak gitu juga dong, itu kan untuk peringatan saja. Bukan sesuatu yang wajib. Namanya juga memperingati, sama seperti kita mengingat orang-orang yang kita kasihi dengan melakukan hal-hal yang mungkin kita pernah lakukan bersama mereka.
Saya perhatikan, beberapa gereja yang menyelenggarakan ibadah online cukup kreatif, mereka mengajak anggota gerejanya untuk menyiapkan roti dan anggur untuk mengikuti sakramen perjamuan kudus dari rumah. Ibadah yang kami ikuti hari ini tapi tidak seperti itu, tapi seperti saya sebutkan, gak ada perjamuan kudus juga tidak jadi masalah. Makna Paskah itu bukan di kegiatannya dan bukan di tradisinya, tapi peringatan kebangkitan Yesus.
Hanya karena kasih karunia
Manusia bisa diselamatkan hanya dengan kasih karunia. Jadi bukan dengan kegiatan-kegiatan tradisi. Hanya dengan kasih karunia, melalui kematian Yesus di kayu salib dan kebangkitan Yesus manusia bisa diselamatkan dari dosa-dosa. Jadi jangan sedih kalau tahun ini terasa berbeda dari tahun-tahun yang lain karena hanya bisa ibadah online dan tanpa perjamuan kudus.
Sekali lagi, selamat Paskah untuk kita yang merayakannya!