Kemarin di salah satu grup ibu-ibu, saya membaca salah seorang bertanya: apakah ada kelas yang diikuti oleh para ibu, baik itu kelas untuk olahraga ataupun kelas untuk belajar sesuatu. Ini pertanyaan yang jarang sekali muncul dalam grup ibu-ibu. Biasanya pertanyaan yang muncul itu di mana tempat anak umur sekian belajar musik, gambar, sepakbola, dll. Pertanyaan lain juga seputar sekolah yang bagus dengan sekian banyak kriteria yang diinginkan oleh si ibu.
Kalau diingat-ingat, setiap kali saya cerita kalau saya menghomeschool anak-anak, pertanyaan yang paling sering muncul adalah: gimana ijazahnya nanti? dan pertanyaan yang juga lebih sering lagi muncul adalah: gimana sosialisasinya nanti? Tapi gak pernah ada yang bertanya gimana kehidupan sosial ibunya nanti?
Pernah juga baca artikel, kalau katanya jadi ibu homeschooler itu beratnya adalah gak punya lingkungan sosial. Kalau anak dikirim ke sekolah, paling tidak kita punya waktu buat berkegiatan dan di sana pasti punya komunitas sosial, paling tidak ada kumpulan orangtua murid. Nah kalau jadi ibu homeschooler, udah pasti waktunya dipakai buat ngajar anak di rumah, anter anak les yang cuma sebentar doang sehingga gak sempat berkegiatan untuk diri sendiri dan juga pastinya gak ada komunitas orangtua murid.
Saya gak pernah merasa gak punya komunitas, sampai saya baca artikel itu hahaha. Lalu saya berpikir: astaga, ternyata komunitas saya memang sangat sedikit di dunia nyata. Sebagian besar komunitas saya itu adanya online (WA Group dan FB Group). Dan komunitas di online itupun buat saya kadang kurang personal karena sebagian besar belum pernah ketemu secara langsung.
Kembali ke judul, akhirnya dari 1 pertanyaan saya jadi bertanya-tanya ke diri sendiri. Gimana caranya supaya saya bisa punya komunitas dan punya me-time? Dan jawabannya adalah…mencari komunitas homeschooler yang anak-anaknya seumuran dengan anak saya. Mencari komunitas homeschooler di Chiang Mai tidak sulit, yang sulit itu mencari yang hobi dan jadwalnya sama dengan anak-anak saya.
Belakangan ini, saya ketemu satu tempat yang menerima anak-anak homeschooler berumur 3 – 10 tahun 4 kali seminggu. Anak-anak diberikan aktivitas dan juga tentunya bermain bersama dan ada waktu untuk mengerjakan pekerjaan yang di bawa dari rumah dibantu oleh guru di sana. Tentu saja, saya sangat senang ketemu tempat seperti ini, karena artinya Jona dan Joshua bisa di bawa ke sana dan saya bisa punya waktu untuk diri saya sendiri yay. Eh tapi, saya tidak bawa mereka ke sana 4 kali seminggu, karena toh sabtu dan minggu itu waktu buat keluarga jalan-jalan bersama. Sekali dalam seminggu itu dah cukup buat saya hehehe.
Nah terus, kembali ke pertanyaan di paragraph pertama. Kegiatan apa yang bisa untuk ibu-ibu? Sebenarnya ada banyak yang ingin saya lakukan, saya bisa berenang sekali seminggu, dan saya juga dulu rajin merajut dan belajar menjahit walau akhirnya gak jago menjahit. Kalau berenang bisa sendiri, tapi main benang ini rasanya lebih seru kalau ada temannya. Rencananya saya mau gabung dengan komunitas crafter di Chiang Mai sini, tapi entahlah apakah masih bisa merajut nih, rasanya jari-jari udah kaku lama gak sentuh jarum rajutan hahaha.
Kalau ada waktu lebih, sebenarnya saya masih pingin melanjutkan kursus membaca bahasa Thai. Entah kenapa, kalau gak ikutan kelas, kemampuan baca bahasa Thai saya kayak gak maju-maju dan bahkan cenderung mengalami kemunduran karena gak pernah dipakai. Dari dulu juga sudah belajar baca bahasa Thai, dan setiap kali ikut kelas baru ada kemajuan yang berarti. Tiap ikut kelas, tiba-tiba seperti dapat pencerahan dan semakin mengerti hehehe. Mungkin harusnya cari buku untuk dikerjakan juga seperti kurikulum homeschoolnya Jonathan ya.
Nah sekarang saya mau tanya, kalau kamu punya waktu untuk diri sendiri dari jam 9 pagi sampai jam 3 siang, kira-kira kegiatan apa yang akan kamu lakukan? Jangan bilang me-timenya nonton KDrama atau ngabisin serial di Netflix ya hahahaha.
Ini lanjutan cerita jalan-jalan hari Sabtu lalu. Karena lokasinya relatif dekat, pulang dari melihat bunga Sakura di Ban Khun Chang Khian, kami mampir ke Doi Pui untuk makan siang dan melihat taman bunga yang ada di Hmong Village di Doi Pui.
Jalan ke daerah perkampungan ini sedikit lebih baik daripada jalan ke lokasi Sakura, tapi ya, lumayan curam juga dan beberapa bagian jalan ada yang rusak tergerus air di musim hujan. Setelah jalan berbelok-belok ditengah hutan, tiba juga di perkampungan yang kalau di lihat dari atas, hanya sedikit sekali perumahan yang ada di sana.
Penduduk sekitar sini sepertinya hidup dari menerima turis di desanya sambil menjual berbagai produksi hasil tenunan atau kerajinan tangan dari kain tenun dan juga dari perak, kopi dan buah-buahan yang dikeringkan. Di sana banyak sekali yang berjualan berbagai hal yang sebenarnya bisa ditemukan juga di pasar warorot Chiang Mai, dengan harga yang lebih murah. Awalnya saya juga kaget, loh kok bisa lebih murah? kan tempat wisata? biasanya kan tempat wisata lebih mahal daripada pasar? Ya jelas saja lebih murah, karena merekalah produsen dari benda-benda yang dijual di Chiang Mai.
Buat beberapa orang, tujuan ke tempat ini selain untuk makan siang setelah melihat sakura atau mungkin melihat Doi Suthep, tentunya untuk membeli oleh-oleh. Berbagai kain tenun di jual dengan cukup murah dibandingkan harga di Warorot. Motifnya juga banyak yang lebih cantik. Selain berbagai produk dari kain, mereka juga menjual kacang almond, kacang macadamia, buah-buahan yang sudah dikeringkan, bermacam perhiasan dari silver, obat-obatan tradisional dan permainan tradisional dari kayu.
Eh hampir kelupaan, mereka juga menjual berbagai biji kopi. Salah satu hasil pertanian di Doi Pui ya kopi. Saya gak beli kopinya, karena stok kopi yang di bawa dari Indonesia masih banyak banget, sedangkan kalau kopi dibiarkan berlama-lama, rasanya jadi tidak enak. Jadi ya, toh gampanglah kalau mau nyari kopi Thailand kapan saja.
Setelah melewati banyak sekali tukang jualan dengan jalanan yang naik turun, akhirnya sampai juga di pintu masuk untuk melihat taman bunga Doi Pui. Taman bunganya ini sekalian disebut sebagai Hill Tribe Village Museum. Selain bunga, mereka juga berusaha mengenalkan pakaian adat dan rumah tradisional suku Hill Tribe. Tiket masuknya cukup murah, per orang hanya 10 baht saja.
Tepat dipintu masuk ke taman, ada yang menawaran jasa menyewa baju Hill Tribe untuk foto-foto. Tapi karena mama saya tidak mau (dan saya juga gak pernah kepengen), kami gak bikin foto dengan baju tradisional Hill Tribe. Untuk lokasi yang sangat luas, walaupun relatif banyak pengunjung, tempat ini terasa sepi. Walau demikian saya perhatikan ada beberapa yang datang ke sana emang sengaja untuk foto dengan pakaian tradisional Hill Tribe.
Kami pernah ke Doi Pui ini sekitar 11 tahun yang lalu. Tapi selain bunga-bunganya, banyak hal terasa berbeda dari ingatan. Entah kenapa rasanya sekarang ini tukang jualannya tambah banyak, dan sepertinya kita sengaja diputerin melewati tukang jualan sebelum masuk ke taman bunganya. Jadi teringat dulu di borobodur juga untuk keluar dari sana, harus melewati banyaaaak sekali tukang jualan.
Setelah jalan cukup banyak naik turun tangga, sampai di taman bunganya, tadaaaa masih banyak lagi dong tangganya, untungnya anak-anak semangat tinggi karena tempatnya luas dan bisa puas naik turun tangga dan lihat bunga-bunga. Joshua yang di jalan sudah istirahat tidur, langsung semangat 45 mengeksplorasi kebun bunganya.
Setelah sampai agak atas, sampailah di sebuah rumah sample yang isinya kurang lebih sama saja dengan rumah tradisional jaman dulu di Indonesia. Saya ingat, pernah ke rumah tradisional Batak, dalamnya kira-kira sama peralatan masaknya, bedanya kalau di Indonesia rumahnya berupa rumah panggung. Di sini, mungkin karena pada dasarnya mereka suku yang hidup di pegunungan, mereka ga takut banjir, jadi rumahnya ya gak bentuk rumah panggung.
Walaupun lelah naik turun tangga, tapi rasanya hati puas melihat keindahan alam ciptaan Tuhan. Mata ini rasanya refreshing banget lihat langit biru, gunung yang hijau dan bunga berwarna-warni. Aih jadi puitis deh karena seharian mata di manja dengan bunga-bunga.
Jonathan yang biasanya diajak jalan sering mengeluh capai, hari itu tidak mengeluh sama sekali. Dia cukup menikmati perjalanan dan juga ikutan mengamati bunga-bunga yang ada. Melihat orang-orang antri foto di papan nama Doi Pui, Jonathan juga gak mau kalah dan minta di fotoin. Jarang-jarang dia minta di foto dan duduk bagus. Biasanya juga diajak foto gak mau diem gerak mulu.
Setelah puas melihat Doi Pui, kami pulang langsung ke Chiang Mai. Perjalanan cukup lancar walaupun masih banyak mobil dari arah Chiang Mai yang baru akan naik ke gunung dan mungkin saja mau melihat Sakura juga.
Sebenarnya, ada sedikit terpikir mampir lagi ke tempat lain (Doi Suthep atau Bu Bhing Palace, tapi melihat anak-anak udah pada teler di mobil, ya sudah kami pun memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Entah kapan lagi akan melihat Doi Pui Village, kalau ga ada yang minta dianter ke sana, kemungkinan sih gak akan ke sana. Apa sekalian jadi guide Chiang Mai untuk orang Indonesia ya, biar bisa sering-sering jalan-jalan ke sini hehehehe.
Hari ini 12 tahun yang lalu, kami menikah dan mengikat janji. Bersyukur kalau selama 12 tahun kami bisa semakin kenal dan saling mendukung satu sama lain. Setelah punya anak, Joe juga jadi suami siaga dan mau bekerja sama urus anak walaupun dia sibuk dengan pekerjaanya. Juga hampir setiap akhir minggu, Joe menyempatkan juga menghabiskan waktu bersama saya dan anak-anak.
Karena hari ini hari yang istimewa, kami pergi ke tempat yang agak jauh dikit biar melihat tempat yang berbeda dari biasa, sekalian milih tempat yang menarik untuk dilihat oleh mama saya yang lagi di Chiang Mai. Pilihan jatuh ke Queen Sirikit Botanical Garden Chiang Mai. Kami baru sekali ke tempat ini sekitar 7 tahun yang lalu waktu Jonathan masih kecil banget, jadi kami sudah lupa sama sekali dengan tempat ini.
Sebelum berangkat, saya menelpon dulu memastikan kalau di sana ada food court. Kami berangkat sekitar jam 11 siang, dan target pertama tentunya makan siang dulu sebelum jalan-jalan melihat-lihatnya. Lokasinya sekitar 35 km dari rumah kami, karena perjalanannya sedikit agak naik ke gunung, waktu yang butuhkan untuk tiba di sana kurang lebih 1 jam.
Taman ini sangat luas sekali, alamnya masih asli bagian dari hutan. Tiket masuknya sangat murah apalagi karena kami bisa dapat harga lokal. Harga masuk mobil (plus orang yang mengendarainya 100 baht), dewasa 40 baht , anak-anak di bawah 12 tahun dan dewasa di atas 60 tahun gratis. Jadi kami tadi hanya membayar 140 baht saja untuk 5 orang. Untuk anak diatas 12 tahun harga lokal 20 baht dan orang asing 50 baht. Untuk harga orang asing dewasa juga relatif murah, 100 baht saja. Kalau misalnya masuk ke dalam tidak membawa mobil, di dalam ada layanan tram keliling dengan biaya tambahan dewasa 30 baht dan anak-anak 10 baht.
Dari sekian banyak tempat yang bisa dikunjungi di dalam QSBG, kami hanya ke 3 tempat: Food court/coffee shop, glass house complex dan canopy walk. Oh ya sempat nyasar juga masuk ke hutan di dalam QSBG gara-gara salah belok, jalannya rada kecil dan searah dan sempat kecut kalau-kalau ada pohon tumbang, jalannya juga cukup menanjak. Sempat khawatir mobilnya ga kuat naik, tapi untungnya bisa juga hehehe.
Tujuan pertama: tempat makan. Ada restoran dengan menu makanan Thai, ada coffee shop dan memiliki tempat parkir cukup luas. Restorannya tergolong restoran biasa saja, rasa makanannya ya standar makanan Thai dengan menu somtam, telur dadar, nasi putih, ayam panggang, atau mie kuah ala Thai. Harga makanannya sedikit lebih mahal daripada di luar, tapi masih sangat murah mengingat ini berada di dalam tempat wisata.
Dari dekat tempat makan, ada jalan menuju glass house complex. Glass house complex ini sebenarnya intinya kumpulan berbagai tumbuhan di dalam rumah kaca, masing-masing rumah kaca menyimpan 1 kategori tanaman. Ada tanaman kaktus, berbagai tanaman air, tanaman yang berfungsi sebagai obat, dan berbagai kategori yang saya sejauh ini tetap ga ngerti maksudnya apa hehehe. Sebelum masuk ke dalam glass house complex, ada kebun bunga mawar yang punya koleksi bunga warna aneka warna. Beberapa bunga mawar sangat besar dari biasanya.
Sesungguhnya melihat QSBG ini saya kagum dengan banyaknya aneka jenis tanaman, dan sejauh ini saya hanya mengenal sangat sedikit jenis tanaman. Salut dengan para botanist yang mengenal beda satu tanaman dengan yang lain dengan memperhatikan kelopak daunnya misalnya. Walaupun sering melihat berbagai jenis bunga/tanaman yang dilengkapi dengan petunjuk nama tanamannya, tapi sangat sedikit yang berhasil saya ingat hehehe.
Setelah puas melihat-lihat di glass house complex, kami kembali ke mobil dan melanjutkan menuju ke canopy walk. Karena canopy walk ini lokasinya lebih dekat ke pintu masuk, kami harus memutari QSBG menuju arah keluar terlebih dahulu. Nah pas nyari jalan keluarnya ini kami sempat nyasar, masuk ke daerah yang sepertinya memang masih hutan banget. Untung ga ada pohon tumbang yang menghalangi jalan. Kami nyasarnya ada sekitar 15 menit, tapi 15 menit yang menegangkan dan membuat kami agak cemas dan bingung mau mundur ga bisa mutar, mau maju bakal sampai ke mana hehehe.
Singkat cerita, sampai juga di canopy walk. Untuk jalan di canopy walk ini perlu menunjukkan tiket masuk yang di beli di pintu masuk. Awalnya saya pikir canopy walk ini jalan di atas kaca, tapi ternyata, hanya sebagian kecil jembatan saja yang ada kaca tembus pandangnya sehingga bisa melihat ke bawah hutan.
Awalnya agak ngeri juga jalan menyeberang, apalagi kalau sambil melihat ke bawah. Gak kebayang gimana mereka dulu membangun jembatan ini. Jembatan ini sekitar 20 meter di atas tamannya. Panjangnya juga sekitar 400 meter dan ada beberapa bagian yang agak menanjak ke arah view pointnya. Untungnya beberapa bagian cukup teduh, jadi walaupun jalan di siang hari, gak terlalu panas untuk melewati jembatani ini.
Ini foto di view point, dindingnya kaca bening, jadi view nya bisa kelihatan di belakang kita. Sayangnya gunungnya keliatan agak berkabut karena kadar polusi di Chiang Mai sudah mulai naik dari biasanya.
Selesai dari canopy walk, tak terasa sudah jam 3 lewat. Kami mampir sebentar di souvenir shop dan istirahat di flying draco coffee shop. Setelah rasa lelah berkurang, kami pulang dan sampai di rumah sekitar jam 4.40 sore.
Sepertinya Queen Sirikit Botanical Garden bisa dimasukkan dalam daftar tujuan wisata kalau lagi bosan dengan tujuan yang dekat-dekat. Ada banyak tempat wisata ke arah QSBG ini, tapi ya karena di sana saja menghabiskan waktu banyak, lain kali harus berangkat lebih pagi biar gak kepanasan juga.
Hari ini kami melihat bunga Sakura di Ban Khun Chang Khian lagi setelah 10 tahun tidak melihat bunga Sakura Thai sedang mekar. Kami pertama kali ke sana tahun 2009. Waktu berbunga yang hanya 2 minggu dan jalan ke sana yang cukup sulit membuat kami merasa enggan buat mengunjungi Sakura setiap tahun. Tahun ini kami ke sana lagi sekalian ajak mama saya untuk melihatnya. Walau sudah berkali-kali mama saya ke Chiang Mai, baru kali ini pas waktunya dengan sakura yang sedang mekar. Jadilah kami ke sana dengan alasan ajakin oppung jalan-jalan (padahal ya saya juga pengen lihat lagi hehehe).
Kalau dulu pergi ke sana masih belum punya anak, masih gampang buat bikin banyak foto. Kali ini dengan 2 anak yang sangat aktif dan sulit di foto, rencana bikin foto keluarga juga jadi buyar. Beginilah jadinya fotonya, kayak semi memaksa anak buat foto hihihi. Tapi ya tetep, yang penting biar anaknya ingat kalau dia pernah diajak liat bunga Sakura Thai.
Lebih gampang buat selfi sama oppung daripada foto dengan anak-anak hehehe. Mama saya tadinya gak ngerti kenapa sih heboh banget mau liat bunga doang sampe pergi naik gunung dan jalannya jelek banget. Tapi setelah liat hamparan bunga Sakura di sekeliling hutan, akhirnya mama saya juga ikutan tak henti-henti berfoto ria hehehe. Ya sederhananya, jalan-jalan liat bunga Sakura ini emang jalan-jalan buat foto-foto. Sayang rasanya kalau cuma dilihat tanpa di foto. Foto melihat sakura 10 tahun lalu masih terasa indah sampai sekarang dan dibanding-bandingkan dengan yang dlihat tadi.
Karena lokasi bunga ini di pegunungan, suhu udaranya lebih dingin dari Chiang Mai. Oh ya, bunga ini memang bisa mekar kalau sedang dingin, makanya setiap tahun bunga ini mekarnya tidak selalu sama tanggalnya. Saya ingat, 10 tahun lalu saya melihat bunga Sakura tanggal 2 Januari, sedangkan tahun ini sudah hampir akhir Januari. Beberapa tahun lalu malah berbunganya sudah masuk bulan Februari.
Beberapa pohon rantingnya cukup rendah dah bisa dijangkau dengan tangan. Walaupun saya bisa saja memetiknya, tapi tentu saja tidak saya petik. Kasian yang datang berikutnya nanti ga kebagian bunga buat berfoto hehehe. Lagian setelah berkembang, tak lama kemudian bunga ini akan rontok kok.
Seperti 10 tahun yang lalu, kami tidak nyetir sendiri untuk melihat Sakura. Kali ini kami menyewa mobil dan supir untuk naik ke sana, cara ini lebih mudah buat kami karena dari dulu sampai sekarang jalanannya tetap sempit, terjal, berliku-liku dan sekarang juga berdebu sepertinya karena pernah longsor sebagian di musim hujan. Jalan yang kecil tapi dua arah, tiap kali papasan dengan mobil lain rasanya saya pengen tutup mata karena ngeri heheheh.
Ada juga pilihan naik ke atas dengan angkutan umum, tapi ya kalau bawa anak kecil seperti kami tentunya lebih nyaman dengan menyewa mobil. Kalau ada beberapa teman perjalanan juga tentunya lebih nyaman patungan nyewa mobil lalu bagi biayanya dibandingkan naik angkutan umum. Kalau 10 tahun lalu saya ingat mobil yang dipakai mobil kami dan supirnya cuma bantu menyetir, biayanya sekitar 1000 baht. Nah tahun ini biaya sewa mobil termasuk supir dan bensin sekitar 1800 baht. Menurut saya, kalau misalnya pergi bareng teman-teman berenam (mobil avanza), biaya 1800 baht itu tidak mahal, karena per orangnya cukup membayar 300 baht dan selain melihat Sakura bisa sekalian mengunjungi tempat wisata lain.
Tips kalau mau pergi melihat Sakura:
pastikan bunganya sudah mekar 100 persen (cari info dari FB lokal),
berangkat pagi-pagi dari Chiang Mai (tidak lebih dari jam 8 pagi, tapi ya ga perlu subuh juga)
Kalau mau camping, di sana juga ada camp site nya
kalau menyewa mobil, siapkan tujuan berikut, karena melihat Sakura ga butuh waktu seharian
Beberapa tujuan yang bisa dipilih setelah melihat Sakura di Khun Chang Khian:
Doi Pui Village: melihat kehidupan suku Hmong dan juga berbelanja beberapa kerajinan lokal (kain tenun, perak, batu perhiasan, kopi organik)
Bhubing Palace: Melihat kebun bunga dari tempat peristiraharatan kerajaan kalau sedang liburan ke Chiang Mai.
Doi Suthep: Melihat temple besar yang Chedinya bisa di lihat dari kota Chiang Mai. Dari atas temple ini bisa melihat pemandangan keseluruhan kota Chiang Mai. Orang sini bilang kalau belum sampai ke Doi Suthep, belum sah sampai ke Chiang Mai.
Huay Thung Tao : Danau buatan untuk rekreasi dan makan siang sambil santai-santai. Sekarang ini ada beberapa figur gorilla dari jerami di sana, tapi saya belum lihat sejak ada gorilla jerami nya.
Di sekitar Chiang Mai, ada beberapa tempat untuk melihat bunga Sakura. Waktu untuk melihatnya juga tidak sama tergantung dengan suhu udara di sana. Umumnya lokasinya di pegunungan yang cukup tinggi. Lokasi bunga Sakura yang kami kunjungi ini Baan Khun Chang Khian merupakan lokasi terdekat dengan Chiang Mai, Kami berangkat dari rumah pukul 8 pagi, dan sekitar jam 9.30 kami sudah sampai di lokasi untuk melihat Sakura.
Selain foto-foto, di sana banyak yang jualan produk dan makanan lokal. Jadi kalau misalnya merasa lapar dan butuh istirahat, di sana bisa membeli ubi bakar, jagung bakar, menu makanan Thai yang sederhana, kopi, dan strawberry. Harga makanan di daerah sana walaupun merupakan tempat wisata masih cukup masuk akal dan gak jauh berbeda dengan harga di kota Chiang Mai.
Sepulang dari melihat Sakura, kami melanjutkan jalan-jalan ke Doi Pui Hmong Tribal Village. Karena sekarang saya sudah lelah dan ingin istirahat, mudah-mudahan besok saya tuliskan soal jalan-jalan ke Doi Pui nya.
Suara telepon di ruang tengah berbunyi. “Ah paling buat si dedek yang baru jadian, kayaknya skarang ini ga ada harapan nerima telpon dari si dia, telepon kost diakuisisi sama si dedek sejak sore sampai pagi. andai saja HP-ku kemaren tidak kecemplung ke kolam ikan lele depan kost *sigh*.
Baru saja aku menarik selimut, tiba2 namaku dipanggil sama kak Leni: “Dewiiii, ada yang nelpon tuh, katanya abang kamu!”. “Deg, ngapain si abang nelp jam segini, ini kan jam tidurnya dia di Amerika sana”. Dengan malas-malasan aku keluar kamar karena kupikir abang kandungku yang menelpon mau curhat lagi soal cewe yang dia lagi suka.
“halo….” kata ku dengan suara terbantal yang pernah ada “hei…. udah tidur? masih juga jam sgini… “ ternyata dari dia- abang sayang – yang sebulan ini mengusik hatiku dengan kegalauan
“hei… blm tidur kok.. cuman males2an aja… ada apa?”
“widiihh… nelpon kamu itu musti ada apanya ya… hehehe.. tapi gak apapa.. aku emang ada apa nya kok ke kamu… “
Ttiba2 baru aja mood membaik karena telpon yang ada, Merry, teman kos yang baru pulang banting pintu kamarnya. Hmm, jarang-jarang Merry pulang dengan mood jelek gitu, apa dia berantem lagi sama Toni? Sambil melanjutkan obrolan sama si “abang” aku berusaha menepis pikiran buruk soal Merry.
Argggh, tapi kok ya sulit sekali membagi pikiran begini. Akhirnya dengan berat hati, aku akhiri percakapan dengan si Abang dengan alasan besok harus bangun pagi dan ada tugas yang belum selesai kukerjakan. Tugas ini sesungguhnya bukan alasan, memang harusya aku dari tadi mengerjakan tugas ini, tapi ya biasalah, seribu alasan untuk malas selalu ada.
Dengan masih menyimpan penasaran tentang si Merry, aku pun masuk ke kamar. Dengan malas mengaktifkan laptopku. Dosen yang satu ini kalo ngasih tugas selalu gak pake perasaan. Waktunya singkat, bahannya banyak. harus nyari jurnal internasional pula!
laptop sudah terhubung dengan dunia maya.
“hmm… mampir ke Facebook ah… masih download iniii…”
dan demi apa, begitu akun Fb ku terbuka, postingan si abang berada di timeline teratas.
Baru aja mau nulis komen dan mengalihkan prioritas dari tugas ke abang, pintu kamarku diketuk dan langsung dibuka oleh Merry sebelum aku sempat bilang apa-apa. Pintu ku memang jarang terkunci, dan Merry ini sudah jadi teman dekat dari jaman putih biru, dia tau semua rahasiaku walau dia masih saja tertutup dan selektif kalau curhat ke aku. Begitu buka pintu, Merry langsung memelukku dan nangis tanpa menjelaskan apa2. argggh, kayaknya tugas dan abang emang harus menunggu.
Seperti biasa, kubiarkan Merry nangis sepuasnya, selesai dia nangis kutawarkan dia mau Indomie telur? Biasanya cerita akan menyusul setelah tangis selesai dan perut tenang.
Ketika indomie telur sudah matang dan siap di santap, Merry pun sudah lebih tenang. Untungnya Merry mau menerima tawaranku. Wajahnya masih mendung, namun berusaha menyuapkan sesendok demi sesendok. Sambil menyantap bagianku, kutunggu Merry menceritakan kisahnya.
“tadi aku ke BIP….”tiba-tiba Merry bersuara “tau gak aku ketemu siapa?? aku lihat si David sama si Maya….” dan wajahnya mulai mewek lagi. aku mengunyah dalam bingung… “emang kenapa ya klo si David lagi sama si Maya… kenapa ini anak musti meratap begini….”
kusimpan kebingunganku, karena aku rasa sungguh tidak tepat timingnya kalau kutanyakan sekarang pada Merry.
Aku tunggu saja ceritanya keluar dari Merry. Semakin aku bertanya-tanya biasanya ceritanya malah akan berhenti. Ya aku mengenal Merry dan bagaimana untuk membuatnya bercerita, tapi tetap saja, kalau aku salah merespon bisa jadi malam ini tak ada yang selesai, tidak tugasku, tidak perasaan galauku baca status Facebook si abang dan tidak juga bisa menghibur Merry.
===== bersambung =====
Ceritanya, paragraph demi paragraph di atas tulis bergantian bareng temen kost saya dulu. Gara-garanya dia juga mentok mau cerita apa dalam tantangan 30 hari bercerita, dan saya juga sering kurang ide mau nulis apa seperti hari ini. Walau tanpa sadar kami menuliskan situasinya di tempat kos kami dulu, tapi cerita ini fiksi belaka. Gimana kelanjutan kisahnya? sepertinya harus ada kesepakatan dulu mau berapa banyak tokoh lagi dimunculkan dalam cerita ini, kalau nggak bisa-bisa jadi cerita seperti kdrama yang open ending yang cuma bikin penasaran.
Kapan lanjutannya ditulis? hmm…blum bisa dijanjikan. Ini cuma mencoba iseng, kira-kira kalau bikin fiksi bergantian bisa seperti apa. Sejauh ini saya sudah punya beberapa alternatif bagaimana mengakhiri cerita ini, tapi biar diendapkan dulu sebelum dilanjutkan ya hehehe.
Beberapa pertanyaan yang paling sering muncul tiap malam selain (mau nulis apa ya hari ini), adalah besok mau sarapan apa ya. Sebenarnya kalau mau ikutin kemalasan saya, maunya pagi itu cukup sarapan sereal aja tiap hari, tinggal stok macem-macem sereal dan tuang susu deh. Tapi karena kemalasan itu tidak baik untuk dituruti, maka perlu untuk bikin variasi sarapan demi kesehatan bersama (idealnya ya begitu).
Berikut ini beberapa menu sarapan yang pernah dan masih kami makan setiap paginya. Menunya di rotasi sesuai dengan kondisi ketersediaan bahan di rumah. Beberapa menu sempat populer sekian lama, sampai akhirnya Jonathan bosan. Kadang-kadang, kalau lagi rajin, bisa jadi tiap orang punya menu sarapan yang berbeda.
Menu Nasi
Nasi putih dan lauk telur, bisa telur mata sapi atau telur dadar. Kalau ada daging giling atau steak tuna kaleng, bisa juga telur dadarnya dicampur daging giling atau steak tuna. Pernah juga telur dadarnya diisi irisan wortel dan daun bawang. Belakangan ini tapi Jonathan tidak suka kalau melihat ada sayur di dalam telur dadarnya, jadi ya kalau lagi buru-buru paling makan nasi pake telur dadar plain saja. Waktu yang dibutuhkan untuk menyiapkan sarapan seperti ini tergantung ada nasi sisa hari kemarin atau tidak. Kalau ada nasi sisa, ya nasinya tinggal dipanaskan di microwave, dan berarti waktu yang dibutuhkan hanya untuk mendadar telur. Kalau nasi lagi gak ada ya masak nasi sekitar 15 menit.
Kalau lagi ada bahan, selain dadar telur, saya juga goreng bacon buat tambahan lauk. Oh ya, pernah juga ada masa di mana Jonathan suka makan nasi putih pakai telur orak-arik (scramble egg) dan bacon atau sosis. Semakin banyak bahan tersedia, semakin kenyang deh sarapan paginya (dan tentunya semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk menyiapkannya). Tapi menu paling populer itu ya nasi telur dadar. Karenanya stok telur itu wajib ada di rumah setiap harinya.
Kalau ada waktu cukup santai dan ada sisa nasi cukup banyak, saya bikin nasi goreng asal-asal plus telur dadar. Kenapa namanya nasi goreng asal-asal? karena ya masaknya emang cuma pakai butter, sayur kalau ada, bacon/sosis/tuna iris kecil-kecil lalu kasih kecap asin dan sedikit kecap manis. Oh ya, bumbunya cuma garam bawang putih andalan. Rasanya kayak apa tuh? walau asal-asal tapi ya rasanya dapat dari isinya dan garam bawang putih plus kecap. Seperti biasa, kalau lagi rajin pakai irisan sayur wortel dan kol, itupun kalau anak-anak lagi gak picky melihat sayur dalam nasi gorengnya.
Lauk lain yang juga pernah hits adalah sosis yang di goreng seperti octopus. Ini sih niru dari temennya Joe yang share di FB dan kebetulan Jonathan lihat dan jadi kepingin juga. Sayangnya Joshua tetep belum mau makan sosis, jadi ya paling kalau makan sosis ini untuk Jonathan dan Joe saja.
Menu dengan nasi ini merupakan menu favorit Joe, karena basically dia perutnya perut nasi. Katanya kalau sarapan gak pake nasi rasanya kurang kenyang.
Menu dengan Mie
Menu favorit semua orang di rumah kami itu Indomie Kari Ayam pakai telur, tapi karena tidak baik makan mie instan setiap hari dan keterbatasan persediaan Indomie Kari Ayam, ya..harus realistis, kalaupun lagi punya stock, kami makannya 1 x seminggu saja. Kadang-kadang kalau stok Indomie Kari Ayam sudah habis, ya kami pakai mie instan lokal. Selain ditambah telur kadang-kadang kami tambahkan baso atau bacon atau sayuran hijau.
Mie Goreng Indomie juga jadi menu favorit berikutnya. Tapi saya merasa menyiapkan mie goreng Indomie ini gak segampang masak mie rebus, ada tahapan mencampur setelah merebus. Di musim dingin mie gorengnya juga cepat sekali dingin. Baru saja selesai mencampur bumbu, mie gorengnya sudah dingin.
Kalau lagi super rajin dan ada waktu lebih, pernah juga saya masak mie goreng pakai mie telur atau bihun jadi bukan mie instan. Tentunya butuh waktu ekstra untuk mengiris sayuran dan merendam mie telu atau bihunnya sebentar. Bumbunya apa? ya pakai garam bawang putih dan kecap saja. Anak-anak belum makan pedas, jadi memang kami jarang makan pakai cabe, apalagi untuk sarapan.
Menu dengan mie yang juga pernah hits di rumah kami adalah spaghetti yang ditusukkan ke sosis, lalu di rebus. Biasanya makannya di siram dengan bumbu spaghetti bolognese dari prego yang di beli botolan atau kalengan. Tapi menu begini jarang saya sediakan belakangan ini karena mulai jarang beli sosis dan Joshua lebih suka bumbu spaghetti carbonara daripada bumbu spaghetti bolognese.
Menu Cereal
Pernah suatu masa, kami hampir setiap hari makan oatmeal muffin untuk sarapan. Walaupun dibentuk seperti muffin, tapi sebenarnya muffin ini 100 persen menggunakan bahan oatmeal yang dicampur dengan pisang, apel atau wortel dan raisin. Ceritanya waktu itu lagi diet hehehe. Sekarang, sesekali saya masak menu ini terutama kalau lagi dikasih pisang 2 sisir sama ibu tukang pijat kami yang punya kebun pisang. Anak-anak suka makan oatmeal pisang begini, tapi supaya anak-anak bisa lebih lancar makannya, saya kurangi oatmealnya dan ditambahkan tepung sedikit. Makannya tentunya disiram susu putih segar. Nyam, sekarang sih bikinnya yang isi 12, kalau isi 6 begini sudah pasti gak cukup hehehe.
Muffin oatmeal ini selain untuk sarapan juga bisa untuk snack sore anak-anak setelah mereka bangun tidur siang dan sebelum jam makan malam. Waktu yang dibutuhkan untuk menyiapkan sarapan ini agak lama, tapi bedanya dengan masak mie goreng atau nasi goreng adalah, saya gak harus stand by depan kompor. Saya butuh waktu sekitar 10 menit untuk mencampur semua bahan dan 25 menit memasak adonan di oven. Hal yang kurang saya suka selesai masak ini cucian piring jadi banyak hehehe.
Selain Muffin Oatmeal, menu sereal favorit tentunya beli sereal dalam kemasan. Mulai dari weetbix, koko krunch, granola, ataupun corn flake. Kadang-kadang saya campur-campur beberapa sereal dan tambahin buah. Makannya bisa pakai yoghurt atau pakai susu putih plain. Khusus Joshua, sejauh ini dia cuma suka koko krunch saja. Jonathan sudah lebih banyak variasi menu sereal yang dia mau, makanya kotak persediaan sereal bisa banyak jenis tersedia di rumah.
Pernah juga kami lagi dalam mode diet, di masa itu saya juga lagi rajin bikin yoghurt, jadilah sarapan kami cuma yoghurt dan buah saja. Dipikir-pikir kalau Joe pernah bisa sarapan begini, kenapa sekarang maunya nasi melulu dan ngeluh ga kenyang kalau sarapan sereal atau roti doang ya hehehe.
Saya juga pernah mencoba menyiapkan oatmeal yang di rendam yoghurt semalamam dan dicampur berbagai jenis buah dan chia seed. Sebenarnya enak-enak saja sih sarapan begitu, tapi kadang-kadang emang ada rasa kurang kenyang hahaha.
Menu Roti
Menu roti ini favorit saya karena praktis menyediakannya tinggal beli, oles-oles isi jadi deh. Dulu sering bikin roti di toast lalu di oles dengan jam ataupun butter lalu di taburin ceres.
Belakangan bikin French Toast yang super sederhana. Roti di celupkan ke telur, lalu di panggang di atas teflon. Hidangkan setelah di beri lapisan madu atau butter dan ceres (sesuai selera saja). Jonathan paling suka makan french toast dengan susu kental manis dan ceres. Sayangnya Joshua belum suka dengan menu ini. Untuk Joshua biasaya roti di oles butter lalu dikasih ceres atau coklat oles saja.
Waktu ikut kelas coursera mengenai makanan untuk anak-anak, dapat ide juga bikin telur mata sapi di tengah-tengah roti. Lupa namanya apa, tapi kira-kira roti tengahnya di potong, lalu di atas teflon kita bikin telur mata sapi deh di tengah-tengah roti. Jadinya telur berbingkai roti.
Pancake
Menu pancake ini juga butuh waktu untuk menyiapkannya, dan biasanya Joe yang lebih jago masaknya dibanding saya, apalagi kalau mau dibikin bentuk-bentuk seperti di video Nerdy Nummies. Joshua gak suka pancake, jadi kalau bikin pancake akhirnya saya bikin yang biasa saja dan yang makan saya dan Jonathan (karena Joe pun akhirnya makan nasi kayak Joshua).
Bubur Sumsum
Menu terbaru yang baru saya pelajari bikinnya itu bubur sumsum. Waktu di Depok, Jonathan sempat sakit dan gak bisa makan apa-apa selain bubur sumsum. Setelah di sini saya belajar masaknya, eh dia gak pernah mau makan bubur sumsum, jadinya saya masak bubur sumsum buat saya dan mama saya yang lagi di sini saja hehehe. Joshua dan Joe juga gak mau makan bubur sumsum, kayaknya karena ada pilihan lain sih, coba kalau ga ada pilihan lain, kemungkinan besar mereka juga akan makan bubur sumsumnya hehehe.
Udah sebanyak ini pilihan sarapan, tapi tiap malam kepikiran besok sarapan apa ya? terutama karena ada menu yang butuh waktu untuk menyiapkannya, atau ada menu yang gak bisa dibikin karena gak lengkap bahannya. Kadang-kadang juga karena ga semua makan menu tersebut, rasanya effortnya besar kalau harus menyiapkan lebih dari 1 macam menu.
Menu favorit saya untuk menyiapkannya tentunya yang paling mudah itu sereal, tapi kalau susu lagi habis, otomatisa gak bisa sedia sereal. Menu favorit berikut tentunya bikin mie instan dan telur, tapi kalau ga ada telur ya ga enak bikinnya. Akhirnya makan apapun besok pagi itu memang harus disiapkan dulu bahan-bahannya di hari sebelumnya. Kalau ada ide sarapan yang gampang dan enak (dan bukan tinggal beli), bagi-bagi ide di komen ya.
Serial Memories of the Alhambra sudah tayang episode terakhirnya di Netflix, dan setelah awalnya ragu-ragu untuk mengikutinya, sekarang rada menyesal mengikuti sebelum serinya berakhir. Buat yang belum nonton, tulisan ini mungkin akan susah dimengerti dan akan ada spoilernya, buat yang sudah nonton kemungkinan sedikit banyak bakal merasakan banyak hal yang tidak diselesaikan dalam ceritanya.
Sekilas cerita berkisah seorang investor yang sedang tertarik untuk investasi di game yang menggunakan teknologi augmented reality dengan menggunakan lensa kontak. Pembuat game ini di awal film menelpon dia dan menyuruhnya untuk bertemu di sebuah penginapan di Granada.Tapi ternyata, si programmer game ini gak pernah muncul, sementara si investor malah mulai mencoba main gamenya dan malah jadi ketagihan main dan jadi punya misi hidup untuk menemukan si programmer. Misi hidupnya muncul tanpa alasan, walaupun setelah setahun bermain baru ditunjukkan kalau dia tertarik dengan kakak si programmer. Kisah cintanya cuma selipan, supaya filmnya banyak penonton saja.
Singkat cerita, awalnya penggambaran bermain AR Game nya cukup menarik. Kadang ditunjukkan adegan dia seperti menari-nari sendiri, berantem dengan ruang kosong, terkadang lawannya ditunjukkan berasal dari patung-patung yang ada di sekitar gedung. Selain itu, cara login dan logout nya dan gerakan-gerakan seolah-olah layar ada di depan mata, dan user interfacenya di mana bisa memilih dengan gerakan tangan semuanya cukup menarik dan berharap film ini juga akan mengupas sisi teknologi yang mereka pakai untuk mengembangkan game nya.
Keanehan pertama muncul ketika tokohnya bisa terlogin sendiri tanpa menggunakan lensa kontaknya. Saya kepikiran apakah somehow waktu udah pernah pakai lensa kontaknya, si program jadi tertanam di otak penggunanya? jadi otak mengunduh aplikasi gamenya? awalnya saya pikir lensa kontak itu terhubung dengan handphone, sehingga setiap main pasti dibutuhkan handphonenya, tapi bisa juga lensa kontaknya yang langsung terhubung ke server game dengan teknologi tertentu misalnya. Tapi kalau sampai pengguna bisa autologin tanpa lensa kontaknya, ini jadi ga masuk akal.
Keanehan berikutnya, ketika player dari dunia nyata mati dalam pertarungan antar player, lalu muncul lagi sebagai NPC (non-player character). Pertanyaanya apakah programnya benar-benar sampai merusak otak dan mengakibatkan ketika seorang player duel dan kalah, otomatis otaknya juga akan mengakibatkan dunia nyata dari player itu juga terbunuh. Digambarkan tokoh tersebut keluar darah dari kupingnya, jadi ya saya pikir mungkin saja ada program yang bisa mempengaruhi otak dan mengakibatkan orang tersebut terluka sesuai dengan yang dia alami dalam game.
Di beberapa episode akhir di jelaskan kalau itu adalah akibat dari bug program. Bug program itu sendiri sudah dimulai dari sejak sebelum tokoh utamanya dihubungi oleh si programmer. Yang jadi aneh adalah, kalau dikisahkan sebelumnya player tidak akan beneran mati ketika kalah duel dengan tokoh NPC, kenapa setelah orang dari real life jadi NPC, jika menyerang player beneran jadi bisa bikin player di dunia nyata pun ikut mati. Bahkan di beberapa episode terakhir, NPC yang bukan berasal dari player dunia nyata pun bisa bikin player benar-benar terluka.
Ah mungkin yang baca kalau belum nonton akan bingung dengan penjelasan saya. Tapi ya memang sebenarnya penjelasan dalam film ini malah bikin ceritanya makin gak jelas. Beberapa hal sepertinya tidak terjaga timelinenya. Aturan permainannya juga diubah-ubah sesuai mau-maunya penulis cerita saja.
Salah satu ketidak konsistenan aturan permainannya misalnya: di awal diceritakan kalau player gak bisa bertanya ke NPC yang bernama Emma kalau belum level 5, lalu tokoh tersebut bersusah payahlah supaya bisa naik ke level 5. Nah di episode penjelasan, ditunjukkan kalau seorang player dengan level 1 bisa berkomunikasi dengan si NPC Emma ini. Mungkin mereka ubah sendiri gitu aturan permainannya supaya bisa?
Oh ya, keanehan yang paling aneh menurut saya adalah, game itu belum dijual oleh si programmer, maka asumsinya perusahaan investor belum punya tuh source code dari game tersebut, tapi kok mereka bisa saja menambahkan items atau tools yang dibutuhkan oleh si investor untuk membantu petualangannya dalam mencari si programmer?
Secara keseluruhan, awalnya berharap film ini bakal menarik seperti menariknya bermain Pokemon Go. Tapi setelah dijelaskan dan penjelasannya rasanya terlalu lamban dan malah bikin makin banyak ketidakjelasan. Setelah menonton sampai akhir, saya merasa kecewa. Main Pokemon Go rasanya lebih seru daripada nonton film ini hehehe. Tadinya mau rekomen ke Joe buat nonton, tapi setelah melihat endingnya dan juga banyak hal yang tidak dijelaskan, saya tidak merekomendasikan nonton ini.
Ada banyak kejanggalan-kejanggalan lain, tapi lain kali saja saya tambahkan.