Kenali Pasangan dari Selera Makannya

Tulisan ini terinspirasi ketika masak mi instan tadi pagi untuk sarapan, dan jadi teringat juga dengan film tahun 1999 Runaway Bride yang diperankan oleh Richard Gere dan Julia Roberts.

Indomie telur pake sayur

Kalau sudah menonton Runaway Bride, tentu samar-samar masih ingat bagaimana tokoh wanitanya selalu berusaha mengikuti selera pasangannya ketika memilih masakan telur yang disukai. Iya telur, makanan yang bisa dimasak dengan berbagai cara, apakah itu dibikin telur ceplok, didadar, diorak-orik, direbus setengah matang ataupun matang.

Waktu menonton film itu, saya pikir: lah telur itu enak dimasak apa saja, kenapa harus memilih salah satu saja? Tapi idenya boleh juga, cuma gara-gara memilih cara telur dimasak, bisa menjelaskan kenapa si tokoh wanita selalu kabur di hari pernikahannya (sesuai judul runaway bride).

Ternyata sekarang saya berubah pendapat: saya lebih suka telur dadar daripada ceplok ataupun rebus. Saya juga tidak suka telur setengah matang karena tahu kadang-kadang telur setengah matang itu bisa ada bakterinya. Tapi kalau terpaksa ya dimakan juga jenis telur yang dimasak selain di dadar.

Kalau Joshua? jelas dia cuma suka telur dadar, kalau Jonathan dia lebih suka telur ceplok, kalau Joe? dia suka telur dadar ataupun rebus, tapi demi kepraktisan dan karena waktu merebus lebih lama, dia gak protes kalau lebih sering makan telur dadar daripada telur rebus.

Nah hubungannya dengan mi instan apa?

Sejak tinggal di Chiang Mai, saya baru tau kalau mi instan itu tidak selalu sama teksturnya. Mi instan Indomie itu paling enak karena bisa dibikin agak lembek. Iya, saya suka mi yang agak lembek dan tentunya di masak pakai telur.

Nah kalau Joe gimana? dia pada dasarnya suka yang agak pas atau sedikit lembek asal jangan terlalu lembek. Nah jadi kalau masak mi instan, jalan tengahnya ya masaknya agak dibiarin lembek dikiiiiit aja. Masalahnya, mi instan Thailand gak bisa sama teksturnya dengan Indomie, jadi biarpun kelamaan dimasak, ga akan terlalu lembek juga (jadinya saya aman gak akan kelembekan masaknya).

Selagi masak, terpikirlah kira-kira apakah hubungan kepribadian seseorang dengan tingkat lembeknya mi instan yang disuka? Saya tahu, kalau di majalah-majalah atau tabloid, topik begini saja bisa dikupas tuntas dengan panjang lebar. Tapi saya jadi pengen bikin analisa ala-ala saya.

Ada 3 kategori mi instan menurut tingkat kematangan mi nya: masih kriuk, tidak kriuk dan tidak lembek, dan agak lembek. Terus ada lagi variasinya pakai telur dan sayur atau polos saja.

  • Orang yang suka mi instan yang masih kriuk ini menurut saya orang yang ga sabaran. Mi instan itu sesuai namanya ya mi yang di masak secara instan dan gak pake ribet. Tinggal cemplung-cemplung dan bahkan dulu iklannya bilang cukup 2 menit. Nah kalau sampai pengen mi instannya masih kriuk, berarti masaknya akan lebih cepat lagi kan. Saya simpulkan orangnya ga sabaran, jadi dia ga mau menunggu mi nya masak sesuai anjuran.
  • Orang yang suka mi instan yang tidak sampai lembek tapi juga tidak kriuk lagi ini orangnya menuntut kesempurnaan. Mereka maunya apa-apa itu sesuai dengan petunjuk. Tidak lebih dan tidak kurang. Mereka tapi juga rela masak ulang kalau sampai masaknya kelamaan dan mengakibatkan mi terlalu lembek.
  • Orang yang suka mi instan yang di masak lembek ini termasuk santai dan fleksible. Mereka tidak terburu-buru dan tidak juga penuntut kesempurnaan. Tapi memang ada kecenderungan terlalu santai. Mie lodoh juga kalau udah lapar ya udah gak apa di santap saja.

Dari 3 level tingkat masak mie di atas, kira-kira siapa yang paling pemalas? yang terburu-buru, atau yang terlalu santai sampai mi lembek? Hehehe ini menurut saya lebih malas yang terburu-buru. Kenapa? ya namanya juga bikin analisa ala-ala ya, sangkin malasnya, mereka ga sabar pengen cepet aja santap makanan, makanya masih kriuk juga langsung diangkut saja.

Yang paling rajin sudah tentu si perfeksionis. Mereka berusaha mengamati supaya mi nya tidak terlalu kriuk dan tidak terlalu lembek. Kalau kelewatan dan lembek terpaksa masak lagi karena mereka tidak mau makan yang lembek (ini bukti kerajinan mereka).

Nah berikutnya, ada orang yang suka makan mi instan polos saja, ada juga yang suka dicampur telur dan sayur-sayuran. Kalau saya dan Joe termasuk yang suka minimal pakai telur. Kalau ada sayur ya boleh juga dimasukkan sayurnya, tapi kalau ga ada sayur asal ada telur sebagai campuran ya sudah cukuplah untuk menambah kadar protein dari mi instannya. Mengurangi rasa bersalah makan mi instan hehehe.

Selain telur dan mi instan, ada banyak jenis makanan yang belum tentu sama untuk setiap orang. Baik itu lebih suka makan manis atau asin, lebih suka pedas atau pedas sekali, lebih suka keju atau coklat. Salah satu cara kita mengenali pasangan kita, tentunya dengan mengenali selera makannya sejak pacaran. Jadi kalau mau kencan makan berdua bisa gampang milih tempat makannya.

Musik K-Pop

Menurut Wikipedia:

K-pop (abbreviation of Korean popKorean: 케이팝) is a genre of popular music originating in South Korea.

Menurut saya: K-Pop itu lagu Korea yang biasanya penyanyinya banyak dan nari-nari hehehe. Saya penonton k-drama tapi bukan penggemar k-pop, saya baru tahu nama-nama band k-pop belakangan ini karena ada beberapa teman yang suka mendengar k-pop. Saya lebih suka mendengar lagu original soundtrack (ost) dari sebuah drama daripada dengerin lagu k-pop.

Lanjutkan membaca “Musik K-Pop”

Memory Berdasarkan Aroma

Pernah gak waktu mencium aroma tertentu – biasanya aroma yang harum – tiba-tiba kita teringat akan suatu masa atau kejadian dalam hidup kita. Istilahnya terlempar ke masa lalu dan tenggelam dalam kenangan di mana kita sering mencium aroma itu. Saya pernah, walaupun sekarang ini saya ga ingat kenangannya apa, tapi waktu itu saya ingat masa yang mana.

Kalau aromanya aroma masakan, jelas aja yang terkenang adalah masa di mana kita kelaparan dan pengen segera menyantap makanan itu. Atau kalau buat saya, aroma Indomie Kari Ayam itu serasa lagi pulang kampung hehehe. Tapi kali ini bukan lagi mau cerita soal makanan hehehe.

Ceritanya hari ini lagi belanja sabun, liat sabun yang dulu sering dipakai di rumah waktu masih kecil. Dulu sih sabunnya bentuknya sabun batang, mungkin sekarang masih ada juga versi sabun batangnya. Tapi tadi ini sabun cair Cussons Imperial Leather. Ada yang familiar dengan merk itu?

Cussons Imperial Leather

Bukan, saya bukan lagi ngiklan. Tapi entah kenapa tadi pas liat sabun ini langsung tergerak buat membelinya. Pengen tahu apakah sabun cairnya aromanya sama dengan sabun batangnya. Ceritanya lagi promosi juga beli 1 gratis 1 hehehehe.

Ternyata aromanya gak persis sama. Sabun cair ini agak lebih tajam wanginya, tapi sebenarnya selesai mandi aroma yang tinggalnya sih mirip-miriplah. Terus, apakah niat awal bernostalgia dengan aroma sabun ini berhasil? ya dan tidak sih. Ya karena malah jadi berusaha mengingat-ingat masa kecil di mana mama beli sabun ini buat dipakai di jaman masih SD. Jadi bukannya otomatis gitu memorynya datang sendiri hehehe.

Mungkin karena diniatkan jadi gak datang si memory ? atau mungkin karena aromanya ga persis sama? Tapi saya ga menyesal membeli sabun ini, karena aromanya walau bukan wangi bunga-bunga seperti sabun-sabun lainnya, tapi ada aroma khas dari sabun ini yang tidak terlalu berubah dari aroma jaman dulu.

Mungkin lain kali bisa dicoba cari versi sabun batangnya saja ya. Sekaligus mencari tau apakah kira-kira wanginya bisa membuat memory masa lalunya datang sendiri tanpa diingat-ingat hehehe.

Oh ya, ngomongin sabun, saya jadi ingat dulu pernah bikin hiasan berbentuk keranjang dari sabun GIV. Kenapa sabun GIV? karena bentuknya dulu paling melengkung itu sabun GIV. Saya coba google barusan, sepertinya sekarang ini sabun GIV sudah tidak melengkung seperti dulu. Mungkin kalau yang pernah bikin akan ingat, dulu sabun GIV itu dijadikan hiasan berbentuk keranjang, dililit pita dengan jarum pentul di keliling sabunnya. Ada yang masih punya di rumahnya? bisa fotoin dan share ke saya? hehehe.

Nah mungkin kalau nemu sabun GIV, saya juga bakal coba beli. Tapi sabun GIV ini ada banyak warna. Saya tapi ingat, dulu bikin hiasannya pakai sabun GIV warna ungu, rasanya itu yang wanginya paling tajam. Kapan-kapan kalau mudik coba iseng cari ah hehehe.

Aduh ini tulisan jadi kayak iklan sabun ya, gak sekalian aroma sabun LUX? yaa sebenarnya duluuu, jaman sabun LUX belum banyak jenisnya, saya juga pernah tuh pas mencium aroma sabun LUX jadi ingat masa kecil. Nah sekarang ini sabun LUX udah ada banyak sekali yang batang maupun yang cair, jadi udah ga ada khas lagi. Yang paling khas ya akhirnya sabun cussons imperial leather ini, cuma satu warna dan aromanya juga bukan aroma bunga standar.

Sepertinya tulisan ini sebaiknya disudahi, sebelum jadi beneran iklan sabun hahahaha. Kalau kalian ada gak aroma yang pernah bikin teringat dengan suatu masa/moment?

Internet di HP: Beli Paket Data VS WIFI Gratisan

Saat ini, hampir semua orang sudah punya HP yang bisa akses internet. Hampir semua orang juga mengupayakan supaya HP nya bisa ‘on’ terus dan terkoneksi ke internet. Harga paket internet juga sangat beragam.

Saya ingat, di jaman awal punya HP yang bisa konek internet dulu, saya sering beli simcard yang lagi promosi demi bisa akses internet. Ada 2 pilihan: bayar volume data atau bayar jam pemakaian. Karena cuma punya HP 1, ya jadinya sering tukar-tukar nomor HP. Atau ya tukar kartu untuk bisa online, lalu tukar lagi untuk nomor yang dipakai.

Dulu pernah sengaja beli HP yang bisa dijadikan modem juga. Jadi akses internetnya tetep dari komputer/laptop. Lama-lama, mulai ada HP yang bisa akses ke WiFi. Tapi di Indonesia masa itu, masih sedikit tempat untuk akses wifi gratisan.

Sekarang ini, hampir semua orang pakai HP cerdas yang selain bisa koneksi internet dengan paket data yang disediakan provider, bisa juga terkoneksi melalui wifi. Sejak di Thailand, kami sudah sangat terbiasa mengakses internet 24 jam dengan kecepatan yang lumayanlah. Di rumah kami sengaja berlangganan internet yang terhubung dengan fiber optik, tapi kalau keluar rumah, untuk keperluan komunikasi kami berlangganan paket data lagi di HP. Kadang-kadang kalau dihitung-hitung, pulsa yang diisikan ke HP ya dipakainya hanya untuk beli paket data itu saja. Semua panggilan dan pesan disampaikan lewat aplikasi chat via internet.

Karena sudah terbiasa dengan HP konek 24 jam ke internet, kalau sedang traveling kami juga selalu mencari tahu bagaimana memperoleh paket data yang murah di tempat tujuan. Kalau pulang ke Indonesia, karena kami masih punya simcard Indonesia, kami tinggal perlu mencari paket mana yang akan dipilih. Kalau travelingnya dalam negeri Thailand, tentunya ga ada masalah. Nah kalau perginya ke negara lain selain Indonesia dan Thailand kami akan cari tahu bagaimana mendapatkan akses internet di HP yang termurah.

Pengalaman waktu ke Singapur, mereka menyediakan paket data yang sangat besar untuk turis selama 5 hari. Waktu ke Hongkong juga ada paket data untuk turis yang bisa dibeli di airport. Di Hongkong, beberapa hotel memberikan fasilitas peminjaman modem dan HP dengan nomor lokal gratis. Tapi waktu Joe ke Abudhabi kemarin, dia malah memilih roaming paket internet dari XL (karena kebetulan masih punya banyak pulsa di kartu XL nya).

Mungkin ada juga yang merasa gak butuh internet selama traveling dan cukup dengan mencari koneksi WiFI gratisan di hotel atau di tempat umum lainnya. Tapi buat kami, kadang-kadang mencari wifi gratisan ini tidak praktis.

Beberapa contoh internet dibutuhkan ketika traveling:

  • ketika mendarat di singapura, pesan grab bisa saja pakai wifi di bandara, tapi biasanya begitu keluar dari bandara koneksi terputus dan bisa susah untuk berkomunikasi dengan supir grabnya misalnya dia tidak berhenti di titik yang kita sebutkan ketika memesan
  • akses ke google map kalau lagi nyasar di jalan. Waktu di hongkong, kami juga mencoba naik MRT dan berjalan kaki untuk menuju ke tempat wisata. Kalau tidak ada google map, kayaknya saya bakal nyasar deh walau ada banyak petunjuk jalannya.
  • komunikasi sesama anggota keluarga. Kadang-kadang saya harus bawa 1 anak ke toilet, sementara Joe nunggu dengan anak yang 1 lagi, nah yang nunggu ini kan ga bisa diam di 1 titik, jadi ya paling setelah urusan ke toilet selesai bisa bertanya ada di titik mana buat bertemu lagi.
  • kalau janjian dengan teman (misalnya berencana bertemu teman yang tinggal di negara yang kita kunjungi), supaya gampang dan in case terlambat dari waktu yang sebelumnya diomongkan, ada baiknya bisa akses internet selagi di perjalanan. Waktu saya ke singapur, janjian dengan teman ketemu bukan di rumahnya, nah kalau ketemu di food court aja kadang suka bingung duduknya dekat dengan jualan yang mana, jadi ada baiknya kalau bisa bertanya setelah dekat dengan lokasi sebelumnya.

Memang kesannya jadi ketergantungan ya dengan internet. Tapi ya pernah juga nih, teman saya janji akan datang ke rumah. Di tunggu-tunggu gak ada kabar. Ternyata katanya dia ketinggalan HP dan ga ingat nomor telpon saya. Lalu dia juga ga punya akses ke internet walaupun bawa tablet. Jadinya dia menelpon teman saya yang dia ingat nomornya, lalu teman saya itu mengontak saya lewat FB chat. Nah kalau misalnya FB chat saya tidak diinstal atau kebetulan HP saya lagi gak konek ke internet gimana? Masalahnya adalah: teman saya yang menolong itu tidak mengirimkan nomor telepon yang dipakai untuk menelpon dia. Haduh ribet deh janjian jaman sekarang kalau HP ketinggalan hehehe.

Aduh jadi kemana-mana ini ceritanya. Kalau dipikir-pikir, dulu jaman belum ada HP ataupun internet bisa aja ya janjian ga pake ribet. Kenapa sekarang jadi ribet? karena ada HP dan bisa konek setiap saat, ada kecenderungan kita menggampangkan. Gampang ntar tinggal kabari. Gampang ntar di update udah sampai mana. Nomor HP teman ga perlu dihapal, kan semua ada di memori HP. Kalau tiba-tiba HP ketinggalan, baru deh jadi ribet hehehe. Atau kalau tiba-tiba koneksi internet terputus seperti masa FB dan WA down, baru deh pusing.

Nah kalau saya sih selalu pilih beli paket data daripada nyari-nyari WiFi gratisan supaya bisa konek internet dari HP setiap dibutuhkan. Sebelum pergi keluar rumah juga selalu memastikan kalau HP gak ketinggalan biar ga pusing hehehe. Kalau kalian kira-kira pilih mana?

Honey Dispenser

Ini bukan iklan, tapi cuma mau cerita aja. Pernah gak di Facebook lihat video tentang benda-benda unik untuk keperluan sehari-hari atau di dapur. Saya sering melihatnya, dan kadang-kadang suka jadi pengen beli tapi ya ga selalu juga dibeli. Kagum dengan orang yang merancang sebuah benda untuk mempermudah mengupas buah misalnya. Nah honey dispenser ini juga masuk kategori seperti benda-benda unik tapi berguna itu, bedanya saya bukan tau dari video-video itu, melainkan dari salah seorang teman saya.

Ceritanya selama ini saya suka males minum madu karena setiap kali menuang ke sendok pasti deh belepotan atau lengket di tangan waktu menyentuh tutup madunya. Jadinya sering terasa malas memakai madu walaupun itu wadahnya yang model bisa tinggal pencet. Masalahnya setiap pegang tutupnya, pasti deh akan ada yang terasa lengket di tangan. Pernah beli madu sampai lama banget gak diminum juga, pernah juga membeli aneka jenis madu dengan kemasan yang sepertinya mudah dituang (tapi ternyata tetap terasa lengket setiap kali). Akhirnya lebih sering malas beli madu.

pake tempat madu, ga ada yang lengket di tangan

Beberapa waktu lalu, seorang teman memberi tahu soal honey dispenser ini. Awalnya saya pikir: ah bakal sama saja, tiap pakai madu bakal ada yang lengket. Saya pikir juga tempatnya terlalu kecil dan harus sering-sering diisi ulang, jadi bakal tetap repot dan sering lengket-lengket.

Ternyata setelah melihat cara kerjanya, saya berubah pikiran. Kapasitas tempat madu ini hampir 1/3 dari isi botol madu 1 literan. Isi dispenser madu ini bisa bertahan lebih dari seminggu (ya tergantung berapa banyak pemakaian madunya). Saya memakai madu sekitar 4 sendok sehari, dan baru perlu isi ulang tempat madunya 2 kali selama hampir sebulan sejak beli tempat madu ini. Dengan memakai tempat madu ini, tangan lengket kena madu itu terjadi hanya ketika mengisi tempat madunya.

cara kerja honey dispenser

Ketika mengisi madu ke tempatnya, kita pasang tutup karet di bawahnya. Untuk memakainya, tutup karet ini bisa dilepas saja. Madu tidak akan keluar karena dari sebelah dalam ada tutupan karetnya. Madu akan keluar kalau kita tekan bagian dekat tutup atas yang akan mengangkat tutup karet bagian dalam. Madu turun dari bagian bawah, dan tangan kita tidak perlu menyentuh apapun yang ada madunya. Setelah selesai, tempat madu tinggal diletakkan di gelas kecil plastik yang merupakan bagian dari honey dispensernya.

Buat kamu yang suka minum madu sesendok sehari dan tidak suka dengan efek lengket setiap memegang tutup botol madu, tempat madu seperti ini pasti akan sangat terasa berguna. Kemungkinan orang yang merancang tempat madu ini awalnya karena tidak suka dengan tangan lengket setiap kali minum madu seperti saya hehehe.

Saya beli dispenser madu ini dari Aliexpress, tapi teman saya beli dari Lazada. Saya tidak tahu apakah ada yang jual offline. Tapi lebih gampang beli online lah ya jaman sekarang ini hehehe. Harganya tidak sampai 100 rebu kalau dirupiahkan. Mahal? relatif, madu 1 liter di sini juga harganya lebih mahal dari harga honey dispensernya.

Awalnya saya berargumen: ah tinggal cuci tangan kalau lengket, malas amat sih. Tapi ternyata memang saya malas terasa lengketnya itu hahaha. Daripada beli madu lalu tidak diminum karena malas tangan lengket, lebih baik beli tempat madu begini supaya mengkonsumsi madu tanpa takut terasa lengket-lengket setiap kali (duh udah kayak iklan deh).

Katanya madu itu banyak khasiatnya dan dianjurkan minum madu 1 sendok setiap hari, tapi ya kalau saya sih seneng aja minum madu buat ganti gula untuk minum kopi ataupun dicampur ke alpukat dan susu (nyum nyum).

Ibu-ibu dan Cita-Cita Anaknya

Hari ini sebenarnya hampir gak nulis, tapi daripada bolos nulis tiba-tiba terpikir topik obrolan tadi siang dengan sesama ibu-ibu lain tentang mau jadi apa anaknya besar nanti.

Iya, ini bukan anaknya yang punya mau, tapi ibunya yang pingin anaknya besar dengan profesi tertentu dan apa yang dia anggap penting untuk dilakukan sekarang ini untuk mendukung mewujudkan cita-citanya terhadap anaknya nanti.

Teringat beberapa tahun lalu, saya punya teman orang Thai. Sejak anaknya umur 2 tahun, dia sangat giat mencari sekolah, karena dia pingin anaknya menjadi dokter. Jadi menurut teman saya ini, kalau anaknya masuk sekolah tertentu di Chiang Mai, maka peluang anaknya untuk menjadi dokter akan lebih besar, dan anaknya pasti akan pintar. Teman saya ini tidak ingin anaknya masuk sekolah internasional, karena selain mahal, masuk sekolah internasional hasilnya cuma bisa berbahasa Inggris dan tidak pintar hal-hal lain (ini bukan kata saya loh, ini kata teman saya).

Sekarang ini, anaknya sudah masuk ke sekolah idaman ibunya. Apakah anaknya akan jadi dokter? nanti kita kita lihat sekian tahun lagi hehehe.

Lalu ada lagi nih, hari ini ketemu ibu-ibu lain yang anaknya umur sekitar 4 tahun. Anak ini ibunya Thai dan bapaknya bule. Sebelum anaknya sekolah di sekolah bilingual (Thai dan Inggris), anaknya ini cuma bisa berbahasa Inggris. Tapi sekarang, anaknya tidak mau lagi berbahasa Inggris dan selalu berbahasa Thai. Ibunya mulai resah dan berniat memindahkan anaknya ke sekolah Internasional supaya memaksa anaknya kembali berbahasa Inggris.

Saya komentar bilang: bukannya bagus kalau anaknya bisa lebih dari 1 bahasa? dijawabnya: gak penting bisa bahasa Thai, saya cuma pengen anak saya fasih berbahasa Inggris, karena nanti setelah lulus SMA saya mau kirim dia ke Amerika untuk sekolah pilot. Saya dalam hati bilang: emang pilot cuma bisa bahasa Inggris?

Nah pertanyaanya: kalau mau anaknya fasih berbahasa Inggris, kenapa ga tinggal di negara bapaknya aja? Ibunya bilang: enakan tinggal di Thailand, saya cinta negeri ini. Dan saya garuk-garuk kepala karena ibu ini cinta Thailand tapi gak pengen anaknya bisa bahasa Thai. Sebagai pendatang di negeri ini, saya bisa merasakan lebih betah tinggal di sini sejak lebih lancar berkomunikasi dengan bahasa lokal. Gimana sih si ibu, pengen anaknya tinggal di Thailand tapi ga merasa perlu anaknya bisa baca tulis Thai juga.

Ibu punya cita-cita anaknya jadi apa nanti memang baik. Tapi kan belum tentu anaknya punya cita-cita yang sama dengan si ibu. Untuk kasus ibu yang ingin anaknya jadi dokter dan mengupayakan supaya anaknya masuk sekolah favorit, rasanya masih lebih masuk akal. Karena toh, biasanya kalau sekolah favorit, persaingannya cukup tinggi. Memang tidak ada jaminan anaknya bakal jadi dokter, tapi dengan persaingan yang ada di sekolah – dan kalau anak itu ga jadi stress dan tetap santai saja – si anak akan lebih terlatih menghadapi persaingan masa depan di dunia kerja apapun profesinya nanti. Tapi untuk kasus ibu yang ingin anaknya fasih berbahasa Inggris dan tidak menganggap bahasa lokal itu penting rasanya agak aneh.

Saya tidak tau apakah di Indonesia ada fenomena yang menganggap bahasa Inggris lebih penting daripada bahasa lokal. Saya termasuk yang tidak bisa berbahasa daerah karena di rumah orang tua saya juga berbahasa Indonesia. Saya bersyukur dari SMP sudah belajar bahasa Inggris, walaupun tidak fasih berbicara tapi saya jadi bisa baca buku-buku teks berbahasa Inggris ketika kuliah dan bisa dipakai untuk belajar bahasa Thai di sini. Waktu saya terpaksa belajar bahasa Thai, saya tidak pernah terpikir akan bisa ngobrol panjang lebar dalam bahasa Thai. Tapi faktor bisa berbahasa Thai membuat saya lebih betah tinggal di sini.

Sejak punya anak, saya sudah tetapkan, walau kami tinggal di Thailand kami mau anak-anak harus bisa berbahasa Indonesia selain Inggris dan Thai. Alasannya supaya kalau mereka pulang atau sekedar liburan ke Indonesia mereka tidak menjadi orang asing di negeri sendiri selain supaya bisa ngobrol dengan eyangnya dan oppung yang tidak bisa bahasa Inggris.

Jonathan awalnya cukup bisa berbahasa Thai selain Indonesia, tapi karena pernah sekolah di sekolah yang hanya berbahasa Inggris, dia sempat menolak berbahasa lain selain bahasa Inggris. Sekarang ini dia mulai bisa lagi berbahasa Indonesia, tapi bahasa Thainya makin kurang terasah karena jarang dipakai. Joshua juga ikut-ikutan Jonathan, lebih banyak berbahasa Inggris (tapi tetap mengerti bahasa Indonesia). Tapi ya, mereka masih kecil dan masih banyak kesempatan untuk belajar bahasa Thai.

Joe dan saya tidak menargetkan cita-cita tertentu untuk anak-anak kami. Saat ini ada kecenderungan mereka berdua suka niru-niru papanya dengan hal yang berkaitan dengan coding dan building block. Tapi ya tetap kami gak menargetkan mereka menjadi programmer ataupun engineer. Siapa tahu mereka malah pengen jadi dokter atau malah jadi seniman.

Sekarang ini kami berusaha mengenalkan mereka dengan berbagai hal dan biarkan mereka memilih mau jadi apa nantinya. Kami tetap berharap anak-anak kami nantinya fluent dengan bahasa Indonesia dan Thai selain bahasa Inggris. Kalau sudah bisa 3 bahasa, harapannya belajar bahasa berikutnya akan lebih mudah. Bukan untuk menjadi ahli bahasa, tapi bahasa itu penting untuk komunikasi dan mencari informasi. Kalau sudah bisa komunikasi dan mengerti cara mendapatkan dan menggunakan informasi, banyak hal lebih mudah untuk dipelajari.

Tulisan ini jadi panjang seperti obrolan ngalor ngidul dengan sesama ibu-ibu tadi siang. Kira-kira menurut pembaca, apakah bahasa lokal itu penting dipelajari atau cukup bahasa Inggris saja? Dan apakah pembaca tipe ibu yang menetapkan cita-cita untuk anak atau membebaskan anak dengan cita-citanya nanti?

Hidup ini adalah Pilihan

Hari ini bukan mau mereview buku, tapi daripada ga nulis, terinspirasi dari baca buku ini jadi pengen sedikit mereview pilihan-pilihan dalam hidup ini sejak punya kesadaran untuk memilih dan sampai sekarang. Kebetulan juga baru selesai baca buku tua yang isinya masih menarik untuk dibaca. Isinya mirip dengan Chicken Soup for the Soul, tapi ya ini konon kisahnya semua dari kisah nyata dengan menyamarkan nama tokoh-tokohnya.

Buku lama, tapi isinya masih relevan untuk direnungkan

Saya baca buku ini 1 hari 1 cerita saja, sebenarnya jumlah halamannya tidak banyak ya, tapi rasanya gak kuat membaca sekaligus. Kisah kehidupan itu tidak selalu happy ending, bahkan kadang berakhir sangat menyedihkan. Tapi dari kisah yang dialami oleh orang lain, selalu ada pelajaran yang bisa kita petik. Kadang-kadang kalau lagi kebagian cerita yang sedih, saya jadi ikutan sedih dan berpikir aduh kenapa sih dia begitu, kalau saja dia tidak begitu mungkin akhir ceritanya tidak sedih.

Kumpulan 19 kisah nyata yang diceritakan kembali oleh penulis

Dari 19 cerita kehidupan ini, semua yang terjadi terhadap tokoh yang diceritakan itu ya akibat dari pilihan yang mereka pilih. Mungkin itu kenapa walaupun hanya 1 cerita yang judulnya The Choice is Yours, tapi ya buku ini diberi judul dari cerita The Choice is Yours.

Kalau diingat-ingat, setiap hari sekarang ini sejak bangun pagi pastinya kita membuat keputusan sendiri mulai dari mau megang HP dulu atau ke toilet dulu sampai mau tidur kita memilih tidur awal atau tidur larut. Setiap hari kita dihadapkan dengan berbagai pilihan-pilihan yang tentunya membawa kita terhadap konsekuensi terhadap pilihan itu.

Tapi ada kalanya, selain pilihan-pilihan otomatis yang kita kerjakan karena sudah menjadi rutin, ada juga pilihan yang kita ambil karena tergoda (misalnya niat nya diet tapi tergoda makanan enak jadi batal diet), dan ada juga pilihan-pilihan yang menjadi milestone dalam hidup kita karena akan sangat besar pengaruhnya untuk masa depan kita.

Dari semua pilihan yang kita ambil, tentunya kita tidak punya jaminan kalau pilihan kita itu yang paling baik hasilnya (walaupun ada juga yang udah ketauan lah hasilnya secara logika makan banyak di kala diet itu hasilnya jelas timbangan geser kanan bukan ke kiri). Tapi ada juga yang misalnya memaksakan diri berolahraga dan melaparkan diri demi menurunkan berat badan dan bukan jadi langsing malah jadi langsung masuk rumah sakit.

Hidup ini tidak ada spoiler alertnya, tidak seperti kisah-kisah dalam film yang kita tonton. Tidak bisa juga di fast forward kalau kita tidak ingin menjalani kebosanan rutinitas atau tidak mau menjalani kesusahan. Hidup ini harus dihadapi dan dijalani. Terus lagi nulis ini jadi ingat lagu yang kemarin gak sengaja dengar, judulnya Dear Younger Me. Ceritanya sih kira-kira kalau kita tau apa yang kita tau sekarang, kira-kira apa yang ingin kita ubah dari pilihan-pilihan kita sebelumnya.

Nah gimana dengan saya? ada gak pilihan yang mau diubah kalau bisa mengubahnya? Nggak ada. Ih sombong bener ya ga ada. Ya, abis kalau misalnya ada pilihan yang saya ubah, saya jadi ga belajar dari pengalaman saya. Pengalaman itu kan guru yang terbaik. Nah dari apa yang saya alami, saya bisa lebih bijaksana kemudiannya untuk mengambil keputusan berikutnya. Yang jelas, semua keputusan major sih ga ada yang disesali.

Emang apaan sih keputusan major? Ya keputusan besarlah maksudnya, misalnya keputusan dulu minta SMA pindah rayon, kuliah, kuliah lagi, berhenti kerja, menikah, pindah ke Thailand, berhenti kerja lagi, punya anak, punya anak lagi, homeschool anak, dan seterusnya.

Kalau keputusan yang minor contohnya apa? yaaa misalnya kadang-kadang memutuskan bolos ngeblog karena ga ada ide, atau kadang makan kebanyakan dan pas berhenti menyesal karena kekenyangan. Atau kadang-kadang karena merasa bangun kepagian memutuskan tidur lagi terus jadi ketiduran seperti waktu masa orientasi mahasiswa baru (OSPEK) pernah ketiduran dan akhirnya gak ikut OSPEK secara penuh. Itu tuh pilihan yang antara nyesal gak ikutan secara penuh dan nyesal ngapain repot-repot ikut perploncoan hahahha.

Sejauh ini rasanya semua pilihan yang diambil (apalagi sejak menikah) rasanya sudah menjadi pilihan yang terbaik. Loh kok pakai rasanya? ya kan itu yang saya rasakan, lagian hidup ini tidak ada spoiler alertnya dan semoga masih panjang perjalanan yang boleh dijalani bersama-sama dengan triple J (Joe, Jona dan Joshua).