Posting ini cuma mau mendokumentasikan beberapa cara Joshua bermain dengan angka, supaya ingat kapan dia semakin mengenal angka. Semua ini mau-maunya dia saja dan gak pernah kami suruh, jadi dia memang kreatif kalau mau belajar sesuatu bisa menemukan caranya sendiri.
Sekarang ini Joshua sudah lancar berhitung sampai beberapa ratus, bahkan menghitung mundur dari 100 kembali ke nol juga dia sering lakukan dengan sabar (saya yang ga sabar nungguin dia ngitung mundur hehehe).
Oh ya, Joshua paling lancar menghitung dalam bahasa Inggris. Tapi juga dia bisa berhitung sampai 20 dalam bahasa Indonesia dan Thailand. Beberapa waktu lalu dia mulai mempelajari menghitung dalam bahasa Mandarin sampai 10, dan waktu saya belajar angka dalam bahasa Korea, dia juga ikutan menghitung dalam bahasa Korea sampai 20, hehehe.
Joshua saat ini berumur 3 tahun 9 bulan. Dia sudah bisa berhitung sampai 100 dari beberapa bulan yang lalu, saya lupa persisnya. Setiap kali dia sedang semangat dengan 1 hal, dia akan mengulang-ulang hal yang sama setiap harinya sampai dia merasa menguasai hal tersebut atau ada hal lain yang lebih menantang buat dia.
Setelah beberapa waktu lalu dia berusaha menghapal tabel perkalian, dia kembali lagi tertarik dengan angka. Kali ini dia punya hobi baru, main playdough. Cetakan playdoughnya ada angka dan huruf, entah kenapa dia cuma mau bikin angka saja. Saya coba tawarkan, mau bikin a b c, dia bilang nggak, mau angka saja.
Sudah beberapa hari ini dia dengan tekun main playdough bikin angka 0 sampai 10, lalu diteruskan sampai beberapa belas. Awalnya tentunya dia minta kami yang bantuin, tapi belakangan dia mulai bisa main sendiri. Pemilihan dough juga ternyata membantu membuat dia bisa main sendiri.
Sebelumnya, kami main playdough homemade. Lalu karena saya belum bikin lagi, papanya inisiatif beliin playdough merek Crayola. Playdough Crayola ini ternyata gampang sekali mengering. Baru dimainkan pagi hari, sorenya sudah jadi kepingan keras seperti sengaja dikeringkan.
Pengalaman mengeringnya playdough crayola, membuat kami membeli merk PlayDoh. Tapi ya ternyata kalau dimainkannya seharian dan gak langsung disimpan, keesokan harinya doughnya terasa agak mengering walau gak seperti Crayola.
Tadi pagi, Joshua insist mau main playdough yang orange, selama ini dia tidak menunjukkan punya warna favorit, ternyata sekarang dia mulai punya warna favorit.
Tahun ajaran akademik di Chiang Mai dimulai sekitar pertengahan bulan Mei sampai Oktober, lalu anak-anak sekolah akan libur sekitar sebulan dan term ke-2 mulai November sampai Maret. Lalu anak sekolah di sini akan libur sekitar 2 bulan, jadi pas Liburan Songkran alias Tahun Baru Thailand di pertengahan April, sekolah itu sudah pasti libur.
Biasanya liburan Songkran orang Thailand berkumpul bersama keluarga atau jalan-jalan sekeluarga untuk liburan musim panas. Di saat libur sekolah, arus lalu lintas juga lebih kosong dari biasanya, karena tentunya tidak ada kesibukan antar jemput anak ke sekolah. Tapi kan Songkran itu cuma beberapa hari, sedangkan liburan sekolah itu 2 bulan. Anak-anak liburan sekolah ngapain aja dong?
Satu hal yang saya perhatikan berbeda dengan di Indonesia jaman saya sekolah dulu, masa liburan di sini itu banyak kegiatan di sekolah yang disebut summer camp atau holiday camp. Jangan bayangkan camp itu kegiatan menginap, camp ini sebenarnya gak beda dengan kegiatan sekolah, tapi ya tentunya lebih banyak mainnya, gak harus pakai seragam dan gak ada pekerjaan rumah.
Kegiatan camp yang ditawarkan sekolah-sekolah ini biasanya merupakan alternatif buat orangtua yang ga bisa cuti untuk pergi liburan ke luar kota. Saya perhatikan, untuk orangtua yang anaknya masih kecil, camp ini walau harganya lebih mahal dari uang sekolah biasanya, tapi jadi solusi untuk menitipkan anak daripada anaknya main gadget aja seharian.
Untuk homeschoolers seperti kami, kegiatan camp ini merupakan waktunya untuk sosialisasi dan sekalian sebagai hari “liburan mama dari mengajar” hehehe. Minggu lalu Jonathan dan Joshua saya ikutkan salah satu camp selama 5 hari. Setiap hari dari jam 9 pagi sampai jam 3 sore. Mereka cukup senang karena mendapatkan banyak teman baru dan kegiatan yang berbeda dari biasanya. Buat Jonathan, dia senang karena libur dari mengerjakan tugas sekolah, buat Joshua ya pengalaman kalau sekolah seperti apa.
Kegiatan camp nya ngapain aja sih? ya biasanya mereka sosialisasi dengan anak-anak lain, masak-masak, eksperimen science, bikin craft bareng, dan tentunya melatih anak-anak punya keteraturan. Untuk anak seumuran Joshua, mereka bahkan dikasih kesempatan tidur siang setelah jam makan siang.
Saya baru tahu, kalau ternyata menghitung dengan jari itu ada perbedaan di berbagai negara. Selama ini saya pikir, yang penting jari yang diacungkan itu sesuai dengan jumlah yang disebut. Beberapa hari ini saya perhatikan Joshua kalau menghitung kok 1 acungkan telunjuk , 2 – buka telunjuk dan jari tengah, 3 – jempol, telunjuk dan jari tengah, lah waktu 4, dia melipat jempol dan membuka telunjuk, jari tengah, jari manis dan kelingking. Saya pikir, ribet banget sih, kenapa 4 nya dia gak cuma buka 1 jari manis saja. Ternyata, sepertinya dia menirukan finger counting sistem american sign language.
sumber : https://www.wikihow.com/Count-to-100-in-American-Sign-Language
Waktu iseng-iseng belajar berhitung angka bahasa Korea, saya juga perhatikan mereka memakai jari yang berbeda dengan biasanya yang saya pakai. Dan karena iseng, saya jadi google dan menemukan gak cuma Korea yang beda, tapi juga antara eropa, amerika, jepang dan cina itu juga ada beda sistem penggunaan jari untuk berhitungnya.
Ternyata waktu saya menggoogle lebih banyak lagi, ada berbagai riset mengenai finger counting ini. Hal yang mungkin bagi kita biasa saja, ternyata bisa dibahas secara serius hehehe. Bukan cuma jari yang teracung yang dihitung, tapi jari mana yang dlipat atau sisi mana yang ditunjukkan juga bisa berbeda-beda maknanya.
sumber : https://www.researchgate.net/figure/Finger-counting-systems-in-German-German-Sign-Language-DGS-and-Chinese-Domahs-et_fig2_221792959
Jadi kira-kira kalau kamu biasanya menghitung dengan metode jari yang mana? Kalau saya sampai 5 mengikuti cara Chinese, tapi berikutnya mulai 6 ya saya cuma menambahkan tangan 1 lagi dan mengulang 1 sampai 5 di tangan ke-2 untuk menghitung sampai 10. Siapa sangka ternyata kita bisa menghitung sampai lebih dari 5 hanya menggunakan 1 tangan saja.
Masih cerita soal buku yang di beli di Big Bad Wolf Desember lalu. Jonathan gak sengaja memilih 1 buku Secret Coders. Sebenarnya beli buku ini awalnya tertarik karena judulnya saja, dan saya malah gak tau isinya berupa komik. Ceritanya mengenai seorang anak usia 12 tahun yang pindah sekolah dan menemukan beberapa misteri yang ternyata bisa dipecahkan dengan pemrograman. Buku ini sejenis pengenalan pemrograman juga buat Jonathan.
Buku yang kami beli di BBW itu hanya buku nomor 2. Waktu kami kembali ke BBW lagi untuk mencari nomor lainnya, kami gak berhasil menemukannya. Akhirnya karena Jonathan sudah baca buku ke-2 itu berkali-kali, kami memutuskan untuk memnbeli buku lainnya dari Amazon.
Sudah lama gak nonton ke bioskop, film ini release tahun 2018 tapi baru bisa nonton film ini sekarang di rumah. Ceritanya masih seputar persahabatan Ralph dan princess Vanellope. Untuk baca plotnya bisa liat di sini. Film ini merupakan sequel dari film Wreck-It Ralph. Tapi kalaupun belum nonton film pertamanya, kita bisa menonton film ini tanpa merasa ada yang kurang. Film pertama kesimpulannya terciptanya persahabatan antara Ralph tokoh permainan arcade Wreck-It Ralph dan Vanellope tokoh pembalap dari game arcade Sugar Rush. Cerita film ke-2 ini cukup menarik menjelaskan mengenai internet. Pertama digambarkan mereka menginstal WiFI di Arcade Center, dan disitulah asal mula Ralph dan Vanellope bisa menjelajahi dunia Internet.
poster Ralph Breaks the Internet, sumber dari internet
Penggambaran Internet yang cukup menarik adalah adanya Mr. KnowsMore untuk tempat bertanya banyak hal. Ada e-bay tempat orang-orang berbelanja dengan sistem lelang dan harus membayar dengan kartu kredit, ada TubeBuzz dimana orang-orang berusaha mendapatkan heart sebanyak-banyaknya dan bisa di monetize. Selain itu ada juga keliatan gedung-gedung dengan lambang Amazon, Google, Pinterest, dan Instagram.
Selain menggambarkan apa saja yang ada di internet, termasuk bagaimana sebuat video viral untuk sesaat dan kemudian digantikan oleh yang lain, ada juga penggambaran bagaimana agen-agen bekerja untuk mengundang orang lain mengklik video yang dipromosikan dengan harapan mendapatkan heart (atau like). Jumlah heart itu bisa dikonversi menjadi sejumlah uang yang bisa dipakai untuk membeli benda beneran. Misi Ralph dan Vanellope adalah membeli spare part untuk Gamenya Vanellope dari e-bay, dan untuk mendapatkan uang untuk membelinya mereka berusaha membuat video yang bisa menghasilkan uang.
Selain bagian menghasilkan uang dari konten video, di film ini juga digambarkan adanya virus yang bisa menginfeksi internet. Namanya virus, tentu saja membuat internet sempat kacau. Virusnya digambarkan karena adanya insecurities dari Ralph yang kemudian insecuritiesnya diduplikasi. Cara film ini menceritakannya tentu saja lebih menarik daripada apa yang saya tuliskan di sini, jadi jangan pikir film ini film teknikal ya, ini film anak-anak hehehe.
Bagian lain yang menarik dari film ini adalah ketika Ralph membaca komen-komen yang ada tentang videonya. Lalu ada yang bilang begini: Rule no 1 di Internet: jangan pernah baca bagian komen. Ya walaupun begitu banyak orang yang memberikan like, di internet akan selalu ada orang yang tidak suka dengan apa yang kita share dan memberi komentar yang negatif. Kalau saya sih menerapkan prinsip lebih baik gak komen daripada ngasih komentar negatif. Godaan untuk menuliskan hal-hal berupa kritik negatif sering ada sih, tapi kalau memang ada hal yang perlu dikritik, lebih baik menyampaikan langsung daripada komentar yang di set publik lalu mengundang orang lain menambah komentar negatif lainnya. Oops jadi curcol, oke balik lagi ke cerita film ya.
Satu hal yang bikin saya terhibur ketika melihat princess dari film-film Disney juga ada di film ini. Cinderella, Rapunzel, Mulan, Elsa, Anna, Snow White dan beberapa tokoh lain yang saya tidak kenal. Awalnya saya pikir putri-putri ini cuma sekedar supaya film ini menarik penonton yang udah menonton film-film Disney sebelumnya, tapi ternyata mereka cukup punya peranan. Lucu ketika melihat mereka berganti baju dengan kaos biasa dan tanpa gaun, lalu bilang ah kenapa baru tau sekarang mengenai baju begini yang sangat nyaman. Saya juga merasa lucu ketika mereka tidak percaya Vanellope seorang putri lalu memberikan beberapa pertanyaan untuk meyakinkan kalau dia putri.
Vanellope: Hi. [The Princessess all assume attack postions, each with holding an item, specific to their character, as a weapon] Vanellope: Woah, woah, ladies! I’m a…princess too! Pocahontas: What kind of a princess are you? Vanellope: Uh… Rapunzel: Do you have magic hair? Vanellope: No. Elsa: Magic hands? Vanellope: No. Cinderella: Do animals talk to you? Vanellope: No. Snow White: Were you poisoned? Vanellope: No. Aurora, Tiana: Cursed? Vanellope: No! Rapunzel, Belle: Kidnapped or enslaved? Vanellope: No! Are you guys okay? Should I call the police? Rapunzel: Do people assume all your problems got solved because a big strong man showed up? Vanellope: Yes! What is up with that? Pocahontas, Merida, Rapunzel, Elsa, Aurora, Moana: She is a princess! [Snow White pokes her head in and sings a few happy notes]
percakapan Vanellope dengan putri-putri Disney
Selain percakapannya putri ini, ada banyak bagian lain yang cukup menarik. Tapi dari keseluruhan film ini yang paling saya suka adalah persahabatan antara Ralph dan Vanellope. Mereka tidak memaksakan bersahabat itu harus selalu bersama-sama, dan walaupun tidak berada di arcade yang sama, mereka tetap menjalin komunikasi dan bertukar cerita secara rutin. Saya jadi agak merenung, mengingat teman-teman yang dulu terasa sangat dekat tapi sekarang saya bahkan gak tahu kabarnya karena walaupun mereka punya akses ke Internet, tapi saya merasa setelah gak ngobrol sekian lama jadi gak tau juga mau mulai bertanya dari mana. Kalau saya nanya kebanyakan ntar saya disangka interogasi lagi hehehe.
Anyway, film ini hiburan menarik untuk mengisi akhir pekan di tonton dengan anak-anak. Kalau anaknya sudah agak besar, setelah nonton bisa dilanjutkan pelajaran pengenalan internet dan bagaimana supaya tetap aman di Internet hehehe.
Tulisan ini masih ada sambungannya dengan tulisan-tulisan sebelumnya. Nah kalau misalnya mantap nih mau jalan-jalan atau tinggal di Chiang mai, hal berikut yang perlu diketahui adalah bahasa Thai itu berbeda dengan bahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris. Tulisannya bukan dengan alphabet a-z seperti yang kita kenal dan satu hal lagi yang sangat perlu diperhatikan, bahasa Thai itu bahasa yang tonal. Jadi kalau kita mengucapkan sesuatu, nada naik turun suara kita bisa membuat kata yang transliterasinya sama berbeda makna.
Nah supaya familiar dengan huruf-huruf Thai, kalau ada yang mau mengenal 44 konsonan, 32 vokal, tone marks dan angka dalam tulisan Thai, bisa coba donlot aplikasi KengThai. Aplikasi ini ada versi lite yang bisa dipakai secara gratis dan cukuplah kalau mau pengenalan tahap awal. Kalau misalnya punya anak kecil, nah aplikasi ini juga cocok buat anak kecil belajar tracing huruf Thai hehehe. Aplikasi ini tersedia di AppStore untuk iOS maupun GooglePlay untuk Android.
Ada banyak aplikasi untuk belajar bahasa Thai, tapi saya suka dengan aplikasi ini untuk mengenalkan hurufnya dulu. Aplikasi ini juga mengenalkan cara menulis huruf Thai. Berbeda dengan menuliskan alphabet latin, menuliskan huruf Thai ada aturannya, bukan sekedar asal terlihat sama bentuknya. Setiap huruf Thai juga ada namanya dan bunyinya. Kalau sudah bisa mengingat sebagian besar informasi dari game ini, tahap berikutnya baru deh mencoba aplikasi untuk belajar bahasa Thai.
Dulu, waktu saya di awal belajar bahasa Thai, aplikasi ini belum ada. Saya kursus bahasa Thai untuk percakapan saja dan tidak langsung belajar membaca dan menulis bahasa Thai. Kalau saya mengulang dari awal, rasanya saya akan memilih untuk belajar membaca dan menulis langsung sambil belajar percakapannya. Sekarang ini setelah nyaman bisa berbahasa Thai, ada kemalasan tersendiri untuk memaksakan diri membaca dan menulis bahasa Thai, apalagi karena tidak ada kebutuhan.
Joshua dan Jonathan belajar menulis huruf Thai menggunakan applikasi ini, selain juga dengan bantuan poster di rumah dan buku-buku yang bisa di trace yang bisa di beli dengan murah. Dibandingkan aplikasi lain, aplikasi ini antar mukanya lebih besar dan lebih gampang untuk tracingnya. Gambarnya juga cukup menarik dan suaranya cukup jelas untuk ditirukan. Sekarang ini, Joshua sudah bisa mengingat keseluruhan 44 konsonan Thai, tapi karena dia masih belum mengerti konsep menggabungkan konsonan dan vokal, dia belum bisa diajarkan untuk membaca bahasa Thai yang menggabungkan konsonan dan vokalnya.
Setelah belajar mengenal huruf, tahap berikutnya adalah mengenal kata-kata dalam bahasa Thai. Nah untuk ini akan saya tuliskan di posting terpisah. Belajar bahasa itu tidak cukup dengan 1 app atau 1 buku saja. Kunci dari belajar bahasa adalah kita harus menggunakan bahasa itu. Contohnya, walaupun bertahun-tahun sudah bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris, tapi untuk menulis dalam bahasa Inggris, grammar saya masih sering kacau. Untuk bahasa Thai juga vocabulary yang tidak dipakai banyak yang saya lupa walaupun pernah belajar.
Oh ya, kalau ada yang punya rekomendasi app atau buku untuk belajar bahasa Thai, silakan tulis di komen ya.