Akhir tahun 2017, di saat sedang di tengah ketidakpastian akan sesuatu, saya membaca kutipan cerita dari buku Doa Sang Katak 2, tentang seorang lelaki yang akan dihukum mati oleh seorang raja di India. Lelaki ini mengajukan satu hal mustahil untuk mendapatkan hidup satu tahun lagi. Dia bilang dia akan mengajarkan kuda sang raja terbang dalam setahun. Sang raja mengabulkan, dan dia hidup paling tidak untuk satu tahun lagi.
Melatih kuda terbang dalam setahun?
Sampai sekarang kudanya belum bisa terbang, ketidakpastian itu masih tetap tidak pasti. Tapi banyak hal terjadi sejak saat itu, dan ternyata tidak ada gunanya kekhawatiran berlebihan dan sampai sekarang semuanya masih bisa berjalan baik.
Tidak ada manusia yang hidup selamanya, semua orang ada batas umurnya. Di awal pandemi, saya pernah berkata kepada suami semoga keluarga kami yang jauh di Indonesia semua baik-baik saja, karena kami tidak mungkin bisa pulang dengan kondisi penerbangan di masa pandemi ini.
Orangtua kami memang sudah cukup tua, dan mempunyai beberapa keluhan kesehatan sejak beberapa tahun terakhir. Tapi selain berdoa mereka tidak kena infeksi covid-19, juga berharap mereka sehat-sehat saja dan berumur panjang supaya bisa beretemu lagi. Saya rasa setiap orang pasti berharap hal yang sama.
Manusia hanya bisa berdoa dan berharap tapi umur di tangan Tuhan. Kami sungguh tidak menduga kalau ibu mertua saya yang kami panggil Emak dipanggil Tuhan di masa pandemi ini. Rasanya? jangan ditanya, saya tidak bisa mendeksripsikannya dengan kata-kata.
Namanya duka itu sama apapun penyebabnya, rasanya sedih luar biasa. Walaupun kita tahu tidak ada manusia yang bisa hidup selamanya, kita tidak akan pernah siap kehilangan orang yang kita sayangi. Sebagai orang yang percaya Tuhan, kita harus menerima dan mengikhlaskan. Saya percaya dukacita itu datang tidak sendirian. Akan ada pelangi sehabis hujan.
Saya belajar, rasa duka itu jangan disimpan sendiri tapi dibagikan supaya tidak jadi penyakit. Saya sungguh merasakan tangan Tuhan bekerja menghiburkan kami yang jauh di negeri orang ini. Kami mendapatkan ucapan turut berduka dan doa-doa yang luar biasa dari banyak sekali kerabat dan teman-teman di media sosial dan jalur pribadi ke kami.
Banyak ucapan dari teman-teman yang selama ini sudah lama sekali tidak pernah berinteraksi dan saya pikir sudah tidak aktif lagi di media sosialnya. Sungguh saya berterimakaih untuk semua ucapan yang sudah menguatkan kami.
Saya belum bisa membalas semua ucapan duka sekarang ini. Rasanya untuk menuliskan ini saja, saya memaksakan diri supaya saya tidak larut dengan pikiran sendiri. Saya bersyukur kalau ternyata di masa pandemi ini, masih banyak yang perduli dengan kami.
Dengan bantuan teknologi internet, kami bisa melihat wajah Emak untuk terakhir kali. Kami bisa melihat ibadah kebaktian pelepasan, penutupan peti sampai diantar ke peristirahatannya yang terakhir. Kami berterimakasih dengan semangat gotong royong yang ada,masih ada beberapa orang yang bisa hadir walaupun di masa pandemi.
Masa pandemi memang bukan masa yang normal. Normalnya, mungkin yang hadir akan lebih banyak lagi, tapi ada yang bisa membantu semua sampai dimakamkan saja rasanya sudah luar biasa. Saya juga tidak berharap melihat ada kerumuman orang yang banyak, karena saya juga tidak ingin melihat kedukaan kami membawa kedukaan berikutnya buat orang lain kalau misalnya salah satu yang datang orang tanpa gejala.
Ada satu hal yang selalu jadi pertanyaan kalau ada yang meninggal saat ini. Biasanya akan ada yang bertanya-tanya: jangan-jangan covid-19? Memang ada banyak berita di mana seseorang yang meninggal karena didiagnosa penyakit biasa, belakangan diketahui positif covid-19 atau masuk kategori PDP. Nah untuk hal ini, maka saya merasa lega kalau Emak bisa dimakamkan secepatnya dan kami tetap bisa melihatnya untuk terakhir kali.
Kemarin, ada seorang saudara juga bertanya ke saya, apa penyebab kematian Emak? yang saya tahu Emak memang sudah lama punya penyakit diabetes dan komplikasi ke jantung setahun terakhir ini. Beberapa hari terakhir juga tidak ada keluhan seperti orang yang sakit covid-19 dan kesehatannya selalu dipantau oleh dokter pribadi alias adik ipar saya.
Kepergian Emak kemarin memang sangat mendadak, sore harinya masih sempat main dengan cucu-cucunya. Malam harinya masih sempat minta dibikinkan teh hangat ke bapak, dan teh baru jadi, Emak sudah terbaring pergi begitu saja. Jadi ya, saya hanya bisa menjawab semoga saja bukan covid-19, karena kalau iya, saya tidak bisa bayangkan keluarga kami yang lain akan terkena juga.
Bertanya untuk menunjukkan perhatian dengan rasa ingin tahu itu beda tipis. Tapi sebagai yang berduka, saya juga mengerti kenapa ada pertanyaan tersebut. Sebagai yang berduka, kita juga harus menerima kalau yang datang tidak sebanyak masa normal.
Hari ini saya mendapat berita duka lain dari Medan. Salah seorang kerabat dari papa saya meninggal pasca operasi. Mama saya jadi dilema pergi atau tidak untuk menyampaikan rasa dukacitanya. Sebagai orang batak, pemakaman orangtua di atas umur 60 tahun biasanya bisa berhari-hari dan seperti pesta besar saja, tapi tidak di masa pandemi ini.
Mama saya sudah masuk dalam lanjut usia, sudah 74 tahun, jadi termasuk beresiko tinggi terhadap covid-19. Saya tegaskan ke mama saya, mungkin kerabat yang meninggal memang bukan karena covid, tapi lingkungan rumah sakit dan bertemu dengan banyak orang dari berbagai area, itu yang berbahaya. Akhirnya mama saya menelpon saja untuk menyampaikan rasa dukanya.
Pengalaman berduka di masa pandemi ini mengajarkan saya 3 hal:
Hal pertama: sampaikan dukacita tanpa bertanya-tanya penyebabnya, apalagi dengan nada menuduh jangan-jangan covid-19. Karena belum tentu semua orang menerima dengan baik maksud pertanyaannya dan malah bisa membuat yang berduka jadi tambah kesal.
Hal kedua: jangan memaksakan diri untuk datang ke acara duka, apalagi jika kita termasuk golongan beresiko tinggi atau bukan keluarga langsung. Karena walaupun mungkin yang meninggal bukan karena covid-19, selalu ada resiko bertemu orang tanpa gejala di keramaian. Utamakan keselamatan diri sendiri terlebih dahulu
Hal ketiga: internet bukan lagi sekedar dunia maya dengan anonimity dan nama palsu. Internet sudah menjadi perluasan dunia kita yang sebenaranya. Semua komentar duka yang disampaikan di sosial media ataupun jalur pribadi, sama tulusnya dengan ucapan langsung. Bahkan emoji yang ada juga sudah merupakan reaksi dari lingkungan sosial kita.
Masa pandemi ini, bisa dibilang sebagai masa kegelapan. Ada kesedihan di mana-mana. Kesedihan karena kehilangan orang yang kita sayangi ataupun karena kehilangan pekerjaan atau hal-hal lainnya. Semoga pandemi segera berlalu, dan kita bisa berduka ataupun berbagi tawa dengan lebih normal seperti dulu.
Biasanya Hari Paskah ngapain aja? jalan-jalan? Liburan? Ziarah ke kuburan? Mendekorasi telur paskah dan mencari telur-telur yang diumpetin? Gereja subuh-subuh? Kumpul sama keluarga? Ikut sakramen perjamuan kudus di gereja? Atau tidur seharian karena udara terlalu panas dan malas keluar rumah?
Tradisi Paskah
Kalau saya, pernah melakukan hampir semua jawaban di atas kecuali ziarah ke kuburan dan mendekorasi telur paskah dan kegiatan mencari telur paskah. Keluarga kami tidak menjalankan tradisi ke kuburan subuh-subuh paskah, tapi saya tau ada banyak orang di Sumatera Utara yang menjalankan tradisi itu dulu (entah sekarang).
Untuk kegiatan mendekorasi telur paskah ataupun mencari telur paskah, sejak saya kecil saya tidak pernah melakukannya. Di gereja yang kami ikuti sekarang di Chiang Mai, anak-anak juga tidak ada kegiatan itu di gereja. Saya bahkan tidak pernah mencari tahu kenapa sih orang-orang sibuk mendekorasi telur dan mencari telur di hari Paskah, karena buat saya itu bukan makna dari Paskah, kegiatan-kegiatan itu hanya tradisi untuk memeriahkan hari Paskah.
Bagusnya, ketika masa sekarang ini, saya tidak perlu repot menyiapkan telur buat dihias anak-anak, karena anak-anak juga tidak dibiasakan dengan kegiatan telur-telur itu. Ah dasar aja emak malas! Ya sebenarnya kombinasi antara malas dan menurut saya telur itu bukan bagian penting dari Paskah.
Ibadah Paskah
Waktu masa kuliah, saya ingat pernah ke gereja jam 5 subuh untuk ibadah paskah. Ngapain subuh-subuh? ya karena adanya jam segitu, dan sengaja pergi subuh biar siangnya bisa jalan-jalan heehhe. Tapi itu cuma 1 kali, seringnya saya ibadah Paskah jam gereja biasa saja, sekali-kalinya pergi subuh itu juga karena ramai-ramai sama teman kos, biar pernah merasakan saja.
Beberapa kali hari Paskah kami sedang dalam perjalanan pulang ke Indonesia, karena di sini biasanya libur Songkran itu di bulan April agak panjang. Kami lebih sering memilih pulang di bulan April ke Indonesia daripada bulan Desember, biar liburnya bisa lebih lama. Harga tiket pesawatnya biasanya relatif lebih murah di bulan April daripada Desember.
Tahun ini, awalnya kami juga ada rencana pulang ke Indonesia di bulan April untuk merayakan Paskah di Indonesia. Tapi ya manusia bisa berencana, Tuhan menentukan. Dengan adanya Covid-19, kami gak bisa pulang deh.
Makna Paskah
Jadi sebenarnya apa sih makna peringatan Paskah itu? Saya sudah pernah menuliskan tentang ini di tulisan lama, baiklah saya tuliskan lagi di sini. Hari Paskah merupakan hari di mana umat Kristiani memperingati tentang Yesus yang bangkit setelah mati di kayu salib pada Jumat agung, dan dikubur selama 3 hari. Yesus bangkit dan hidup kembali, mengalahkan kematian itu.
Ibadah Paskah saat Pandemi Covid-19
Terus kenapa Yesus harus mati? Menurut iman Kristen, manusia tidak bisa menyelamatkan diri sendiri dari dosa walaupun berbuat baik sebanyak-banyaknya.
Manusia butuh Juruselamat untuk menyelamatkan dari dosa. Satu-satunya jalan keselamatan itu ya hanya melalui pengorbanan Yesus di kayu salib – makanya Dia harus mati. Dan kebangkitan Yesus di hari ke-3 menjadi bukti kemenangan Yesus terhadap kematian diperingati sebagai hari Paskah.
Pada ibadah Paskah, biasanya diadakan sakramen perjamuan Kudus sebagai peringatan dari kematian dan kebangkitan Yesus. Nah karena tahun ini ibadah online, gimana dong? Kalau gak ikutan perjamuan kudus, gak sah dong Paskahnya? Ya gak gitu juga dong, itu kan untuk peringatan saja. Bukan sesuatu yang wajib. Namanya juga memperingati, sama seperti kita mengingat orang-orang yang kita kasihi dengan melakukan hal-hal yang mungkin kita pernah lakukan bersama mereka.
Saya perhatikan, beberapa gereja yang menyelenggarakan ibadah online cukup kreatif, mereka mengajak anggota gerejanya untuk menyiapkan roti dan anggur untuk mengikuti sakramen perjamuan kudus dari rumah. Ibadah yang kami ikuti hari ini tapi tidak seperti itu, tapi seperti saya sebutkan, gak ada perjamuan kudus juga tidak jadi masalah. Makna Paskah itu bukan di kegiatannya dan bukan di tradisinya, tapi peringatan kebangkitan Yesus.
Hanya karena kasih karunia
Manusia bisa diselamatkan hanya dengan kasih karunia. Jadi bukan dengan kegiatan-kegiatan tradisi. Hanya dengan kasih karunia, melalui kematian Yesus di kayu salib dan kebangkitan Yesus manusia bisa diselamatkan dari dosa-dosa. Jadi jangan sedih kalau tahun ini terasa berbeda dari tahun-tahun yang lain karena hanya bisa ibadah online dan tanpa perjamuan kudus.
Sekali lagi, selamat Paskah untuk kita yang merayakannya!
Setelah minggu lalu bolos baca buku, kemarin bolos nulis karena memutuskan baca buku Kim Ji-young, Born 1982 sampai selesai. Bukunya sebenarnya tipis, cuma 196 halaman sudah termasuk halaman-halaman yang tidak perlu dibaca. Tapi karena memulainya sudah sore, dan tanggung bacanya, jadilah memilih meneruskan membaca daripada menulis.
Buku ini aslinya berbahasa Korea, terbit tahun 2016 oleh seorang wanita Korea: Cho Nam-joo, yang pernah bekerja sebagai penulis skrip acara TV. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia di tahun 2019 dan saya bacanya di Gramedia Digital.
Kisah dalam buku ini sudah diangkat menjadi film, tapi saya belum menonton filmnya. Tulisan ini merupakan kesan yang saya dapat dari baca bukunya. Terjemahannya terasa cukup enak dibaca, dan emosinya bisa bisa membuat saya merasa seakan-akan buku fiksi ini adalah kisah nyata dari seorang wanita yang lahir dan besar di Seoul, Korea di tahun 1982.
Walaupun buku ini berjudul Kim Ji-Yeong (KJY), tapi saya mau menuliskan kesan tentang wanita-wanita Korea lainnya yang diceritakan dalam buku ini. Selain kisah hidup KJY sejak lahir sampai tahun 2016, ada 3 wanita lain yang diceritakan dalam buku ini yang situasinya mirip dengan KJY: Ibunya Oh Man-Suk, Ketua tim di kantor yang bernama Kim Eun-sil dan istri dari psikiater yang membantunya mengatasi depresi.
Setiap hari kita makan 3 kali sehari. Kadang-kadang sampai pusing memutuskan mau makan apa siang ini. Pergi ke food court, ada banyak pilihan, tapi malah jadi pusing mau makan apa. Dulu waktu jaman belum ada anak, setiap mau makan Joe bertanya: makan apa kita? terus saya jawab terserah. Terus Joe memutuskan makan sesuatu dan seringnya saya bilang: tapi kan itu baru kemarin. Sampai akhirnya Joe kesel dan bilang: lah katanya terserah, giliran dipilihin protes. Ya udah putuskan mau makan apa.
Nah sebenarnya pernah juga, saya lagi ga kepengen makanan tertentu, lalu bertanya ke Joe: mau makan apa kita? Dia jawab: terserah. Sebenarnya terserahnya Joe ini maksudnya apapun yang saya pilih dia gak akan protes, tapi karena sayapun lagi ga punya ide, malah jadi kesel dan bilang: kalau aku tau mau makan apa, ya gak akan nanya lah.
Kata “terserah” ini kadang-kadang memang mengesalkan. Tapi sebenarnya lebih mengesalkan kata terserah yang pertama. Kalau kita bilang terserah dan pasti ikut dengan usulan yang diberikan, ya gak masalah. Atau bisa juga mungkin pertanyaannya diganti biar tidak dapat jawaban terserah.
Buku Gadis Jeruk oleh Jostein Gaarder ini awalnya nemu di ipusnas, tapi ternyata ada juga di Gramedia Digital. Buku terjemahan berbahasa Indonesia ini tebalnya 254 halaman. Buku aslinya berbahasa Norwegia dengan judul Appelsinpiken. Sebelum membaca buku gadis jeruk ini, bulan Agustus 2016 saya juga sudah membaca buku versi bahasa Inggrisnya di Kindle dengan judul The Orange Girl. Kalau menurut keterangan di Kindle, buku versi kindle hanya 168 halaman. Saya tidak tahu kenapa ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia jadi lebih banyak jumlah halamannya. Mungkin karena beda format bukunya. Oh ya, Jonathan juga sudah selesai membaca buku versi bahasa Inggrisnya.
Ringkasan Cerita
Buku ini bercerita tentang seorang anak bernama Georg, berusia 15 tahun, yang berkesempatan membaca surat dari ayahnya yang dituliskan sebelum ayahnya meninggal. Ayah Georg bernama Jan Olav, sudah meninggal sejak dia berumur 4 tahun (11 tahun yang lalu). Jadi bisa dibilang, dia tidak begitu punya banyak kenangan dengan ayahnya. Surat itu ditemukan oleh kakek neneknya ketika bersih-bersih gudang. Suratnya berupa cerita tentang seorang gadis yang diberi nama gadis jeruk oleh ayahnya.
Tulisan hari ini singkat saja. Sejak 1 Januari 2020, ada banyak kejadian yang tidak begitu baik terjadi di sekitar kita. Mulai dari banjir Jakarta sampai belakangan ini maraknya beredar virus dari Wuhan. Reaksi dan komentar banyak orang tidak akan saya bahas, karena pada dasarnya semua orang khawatir. Respon dan opini yang banyak beredar merupakan cerminan dari rasa khawatir masing-masing orang.
Di Chiang Mai sudah ada beberapa kasus positif virus Corona, dan beberapa masih terduga. Saya tidak akan menuliskan angka dan statistik, tapi intinya ya ada yang sembuh dan ada yang masih dalam perawatan. Bagaimana dengan angka yang diduga? ya biarkan saja ahlinya bekerja untuk menentukan angka-angka tersebut. Tapi yang saya lihat adalah: penyakit ini bisa disembuhkan.
Seminggu ini udara Chiang Mai menjadi dingin lagi. Anak-anak di rumah juga mulai bersin-bersin dan batuk-batuk. Saya sendiri juga mulai tidak enak tenggorokan. Terus apakah saya khawatir kena virus tersebut? Saya lebih khawatir dituduh orang yang papasan di jalan kalau saya menyebarkan virus. Namanya virus, senjata paling ampuh saat ini tentunya istirahat dan mengusahakan supaya kekebalan tubuh bisa menang dari virusnya.
Kekhawatiran dalam hidup ini bukan cuma masalah virus yang marak saja. Pasti ada banyak hal-hal lain yang akan datang silih berganti. Saya ingat, di suatu masa, saya merasakan kekhawatiran yang berlebihan – yang mana saya bahkan sudah lupa apa yang saya khawatirkan saat itu – terus Joe bilang gini ke saya: Yuk kita berdoa, kita serahkan kekhawatiran kita kepada Tuhan. Kita lakukan apa yang kita bisa untuk menyelesaikan masalah kita.
Ada banyak hal yang tidak bisa kita kendalikan, percuma kalau kita khawatir dan akhirnya jadi larut dalam kekhawatiran dan tidak mengerjakan apa yang menjadi bagian kita. Kalau kita sudah berdoa, kita percaya Tuhan akan memberi jalan keluar untuk apa yang kita khawatirkan itu.
Sejak saat itu, setiap saya khawatir, saya akan berdoa dan melakukan apa yang saya bisa lakukan. Untuk kasus virus saat ini, saya percaya sudah banyak ahlinya sedang bekerja meneliti dan berusaha menemukan obat ataupun vaksinnya. Yang saya bisa lakukan saat ini tentunya mengikuti anjuran mengenai menjaga kesehatan dan meningkatkan kekebalan tubuh.
Saya berdoa untuk orang-orang yang saat ini bekerja membantu pasien yang masih dalam masa observasi maupun yang sudah ketahuan sakitnya. Saya kagum dengan dedikasi para dokter dan suster yang tetap mau bertugas padahal pasti keluarganya khawatir juga. Saya juga berdoa semoga orang-orang yang berada di Wuhan dan sekitarnya bisa mendapatkan cukup supply makanan dan minuman yang dibutuhkan selama masa karantina dan semoga penyebaran virus ini bisa berhenti.
Saya tidak akan ikut-ikutan menyebarkan ketakutan mengenai virus ini. Ilmu pengetahuan sudah cukup maju, sudah ada banyak vaksin ditemukan untuk penyakit-penyakit yang pada masa itu mungkin lebih heboh dari virus yang sekarang heboh. Cari berita yang sumbernya jelas, dan tidak meneruskan berita yang gak tau valid atau nggak. Kalau memang nggak tau kebenarannya, lebih baik beritanya berhenti di kamu daripada bikin orang lain ikutan khawatir berlebihan.
Semoga sisa tahun 2020 ini lebih banyak berita baiknya daripada berita yang mengkhawatirkan.