Hal-hal Yang Bikin Gak Jadi Nulis

Berhubung mulai kehabisan ide menulis, dan tiap hari jadi mikirin: nulis apa ya hari ini tanpa bener-bener ditulis, maka jurus curhat dikeluarkan hahaha. Langsung aja dimulai daftarnya

Menunda menulis

Menunda menulis ini bisa jadi misalnya lagi ada ide, tapi tidak langsung dibikin draftnya. Bisa juga karena menunda dengan alasan pengen mengumpulkan data lebih banyak tapi gak dikerjakan juga. Yang lebih sering terjadi juga adalah sudah dimulai draftnya, terus hilang moodnya untuk meneruskan tulisannya.

Biasanya habis baca buku atau nonton film, semangat lagi tinggi pengen membahasnya, tapi kadang gak langsung ditulis. Akhirnya seperti waktu menonton 4 drama ongoing tahun lalu, akhirnya tulisannya super singkat dan sampai sekarang gak jadi-jadi dituliskan reviewnya (dan sepertinya gak akan jadi hahaha).

Menunda waktu menulis juga bisa jadi penyebab. Ketika buru-buru kejar setoran, tentunya kualitas tulisan jadi berkurang dan gak fokus karena melirik jam terus hahaha. Dari pengalaman setahun berusaha membuat sehari satu tulisan, bisa dihitung jari saya menulisnya bukan ala cinderella alias jelang tengah malam.

Ketiduran

Nah, kalau biasanya kebanyakan orang dewasa itu bilangnya mengaku insomnia, tapi ibu-ibu yang punya anak masih kecil pasti tau dan sering mengalami menemani anak tidur tapi malah ikut ketiduran. Pernah saya terbangun sebelum tengah malam, dan masih ada waktu sebenarnya untuk menulis, tapi kok ya rasanya enakan tidur daripada menulis.

Keasikan Browsing

Penyebab lain yang juga sering terjadi ketika punya ide dan tidak langsung dimulai. Kepikiran cek ini itu dulu. Baca-baca tulisan ataupun berita yang ada. Terus semakin bingung mau nulis apa karena sepertinya semua hal sudah dituliskan orang lain.

Ini kasusnya sama seperti membuka Netflix dan bingung mau nonton apa, karena semua terlihat menarik, tapi semua diantrikan dulu dan tidak langsung dimulai menonton.

Bolos sehari yang berkelanjutan

Walaupun pernah berhasil menulis setiap hari sebulan penuh, godaan untuk bolos menulis itu selalu ada. Kadang saya turutin dan berkata ke diri sendiri: ah gak apa-apa deh bolos 1 hari, besoknya kan bisa lagi. Tapi ternyata yang terjadi bukan cuma bolos 1 hari. Mengembalikan kebiasaan untuk memaksakan diri menulis itu lebih sulit.

Saya tahu sebagian orang memilih tidak menulis daripada tulisannya gak ok. Tapi kadang-kadang tulis aja dulu, edit kemudian kalau mau lebih oke lagi bisa kok.

Takut ada yang salah paham dengan tulisan saya

Nah, ini nih bagian yang biasanya bisa bikin bolos berhari-hari. Saya memilih untuk tidak menuliskan terlalu banyak opini untuk hal-hal yang bukan bidang saya, tapi ya kadang ada aja opini yang jadi topik pemikiran saya dan susah buat saya menuliskan topik lain kalau kepala lagi dipenuhi topik tersebut.

Terkadang agak sulit memformulasikan apa yang saya rasakan menjadi kalimat yang tidak akan salah dimengerti. Saya berusaha menerapkan prinsip: kalau tidak bisa menuliskan hal yang positif lebih baik tidak usah dituliskan. Tapi ya tidak selalu mudah untuk menjadi orang yang positif.

Idealisme Sesaat

Kenapa judulnya sesaat? karena ketika membaca tulisan orang lain yang bagus-bagus, ada perasaan: duh kok tulisan saya gak bisa seperti mereka ya? terus akhirnya minder sendiri dan malah gak jadi nulis. Padahal biasanya juga menulisnya gak ikut aturan baku juga gak apa-apa, ini kan tulisan di blog, bukan tulisan di media yang harus memperhatikan ejaan yang benar dan pemakaian kata yang baku (walaupun kalau memang bisa menulis dengan baik dan benar ya tentu lebih baik).

Kesimpulan

Kesimpulan hari ini saya jadi nulis walaupun mungkin kurang berkualitas hahaha. Mungkin kalau besok-besok kepikiran lagi hal lain yang bikin saya gak jadi nulis, akan saya edit tulisan ini. Kalau teman-teman pembaca biasanya gak jadi nulis karena apa?

Ibu-ibu dan Cita-Cita Anaknya

Hari ini sebenarnya hampir gak nulis, tapi daripada bolos nulis tiba-tiba terpikir topik obrolan tadi siang dengan sesama ibu-ibu lain tentang mau jadi apa anaknya besar nanti.

Iya, ini bukan anaknya yang punya mau, tapi ibunya yang pingin anaknya besar dengan profesi tertentu dan apa yang dia anggap penting untuk dilakukan sekarang ini untuk mendukung mewujudkan cita-citanya terhadap anaknya nanti.

Teringat beberapa tahun lalu, saya punya teman orang Thai. Sejak anaknya umur 2 tahun, dia sangat giat mencari sekolah, karena dia pingin anaknya menjadi dokter. Jadi menurut teman saya ini, kalau anaknya masuk sekolah tertentu di Chiang Mai, maka peluang anaknya untuk menjadi dokter akan lebih besar, dan anaknya pasti akan pintar. Teman saya ini tidak ingin anaknya masuk sekolah internasional, karena selain mahal, masuk sekolah internasional hasilnya cuma bisa berbahasa Inggris dan tidak pintar hal-hal lain (ini bukan kata saya loh, ini kata teman saya).

Sekarang ini, anaknya sudah masuk ke sekolah idaman ibunya. Apakah anaknya akan jadi dokter? nanti kita kita lihat sekian tahun lagi hehehe.

Lalu ada lagi nih, hari ini ketemu ibu-ibu lain yang anaknya umur sekitar 4 tahun. Anak ini ibunya Thai dan bapaknya bule. Sebelum anaknya sekolah di sekolah bilingual (Thai dan Inggris), anaknya ini cuma bisa berbahasa Inggris. Tapi sekarang, anaknya tidak mau lagi berbahasa Inggris dan selalu berbahasa Thai. Ibunya mulai resah dan berniat memindahkan anaknya ke sekolah Internasional supaya memaksa anaknya kembali berbahasa Inggris.

Saya komentar bilang: bukannya bagus kalau anaknya bisa lebih dari 1 bahasa? dijawabnya: gak penting bisa bahasa Thai, saya cuma pengen anak saya fasih berbahasa Inggris, karena nanti setelah lulus SMA saya mau kirim dia ke Amerika untuk sekolah pilot. Saya dalam hati bilang: emang pilot cuma bisa bahasa Inggris?

Nah pertanyaanya: kalau mau anaknya fasih berbahasa Inggris, kenapa ga tinggal di negara bapaknya aja? Ibunya bilang: enakan tinggal di Thailand, saya cinta negeri ini. Dan saya garuk-garuk kepala karena ibu ini cinta Thailand tapi gak pengen anaknya bisa bahasa Thai. Sebagai pendatang di negeri ini, saya bisa merasakan lebih betah tinggal di sini sejak lebih lancar berkomunikasi dengan bahasa lokal. Gimana sih si ibu, pengen anaknya tinggal di Thailand tapi ga merasa perlu anaknya bisa baca tulis Thai juga.

Ibu punya cita-cita anaknya jadi apa nanti memang baik. Tapi kan belum tentu anaknya punya cita-cita yang sama dengan si ibu. Untuk kasus ibu yang ingin anaknya jadi dokter dan mengupayakan supaya anaknya masuk sekolah favorit, rasanya masih lebih masuk akal. Karena toh, biasanya kalau sekolah favorit, persaingannya cukup tinggi. Memang tidak ada jaminan anaknya bakal jadi dokter, tapi dengan persaingan yang ada di sekolah – dan kalau anak itu ga jadi stress dan tetap santai saja – si anak akan lebih terlatih menghadapi persaingan masa depan di dunia kerja apapun profesinya nanti. Tapi untuk kasus ibu yang ingin anaknya fasih berbahasa Inggris dan tidak menganggap bahasa lokal itu penting rasanya agak aneh.

Saya tidak tau apakah di Indonesia ada fenomena yang menganggap bahasa Inggris lebih penting daripada bahasa lokal. Saya termasuk yang tidak bisa berbahasa daerah karena di rumah orang tua saya juga berbahasa Indonesia. Saya bersyukur dari SMP sudah belajar bahasa Inggris, walaupun tidak fasih berbicara tapi saya jadi bisa baca buku-buku teks berbahasa Inggris ketika kuliah dan bisa dipakai untuk belajar bahasa Thai di sini. Waktu saya terpaksa belajar bahasa Thai, saya tidak pernah terpikir akan bisa ngobrol panjang lebar dalam bahasa Thai. Tapi faktor bisa berbahasa Thai membuat saya lebih betah tinggal di sini.

Sejak punya anak, saya sudah tetapkan, walau kami tinggal di Thailand kami mau anak-anak harus bisa berbahasa Indonesia selain Inggris dan Thai. Alasannya supaya kalau mereka pulang atau sekedar liburan ke Indonesia mereka tidak menjadi orang asing di negeri sendiri selain supaya bisa ngobrol dengan eyangnya dan oppung yang tidak bisa bahasa Inggris.

Jonathan awalnya cukup bisa berbahasa Thai selain Indonesia, tapi karena pernah sekolah di sekolah yang hanya berbahasa Inggris, dia sempat menolak berbahasa lain selain bahasa Inggris. Sekarang ini dia mulai bisa lagi berbahasa Indonesia, tapi bahasa Thainya makin kurang terasah karena jarang dipakai. Joshua juga ikut-ikutan Jonathan, lebih banyak berbahasa Inggris (tapi tetap mengerti bahasa Indonesia). Tapi ya, mereka masih kecil dan masih banyak kesempatan untuk belajar bahasa Thai.

Joe dan saya tidak menargetkan cita-cita tertentu untuk anak-anak kami. Saat ini ada kecenderungan mereka berdua suka niru-niru papanya dengan hal yang berkaitan dengan coding dan building block. Tapi ya tetap kami gak menargetkan mereka menjadi programmer ataupun engineer. Siapa tahu mereka malah pengen jadi dokter atau malah jadi seniman.

Sekarang ini kami berusaha mengenalkan mereka dengan berbagai hal dan biarkan mereka memilih mau jadi apa nantinya. Kami tetap berharap anak-anak kami nantinya fluent dengan bahasa Indonesia dan Thai selain bahasa Inggris. Kalau sudah bisa 3 bahasa, harapannya belajar bahasa berikutnya akan lebih mudah. Bukan untuk menjadi ahli bahasa, tapi bahasa itu penting untuk komunikasi dan mencari informasi. Kalau sudah bisa komunikasi dan mengerti cara mendapatkan dan menggunakan informasi, banyak hal lebih mudah untuk dipelajari.

Tulisan ini jadi panjang seperti obrolan ngalor ngidul dengan sesama ibu-ibu tadi siang. Kira-kira menurut pembaca, apakah bahasa lokal itu penting dipelajari atau cukup bahasa Inggris saja? Dan apakah pembaca tipe ibu yang menetapkan cita-cita untuk anak atau membebaskan anak dengan cita-citanya nanti?

Hidup ini adalah Pilihan

Hari ini bukan mau mereview buku, tapi daripada ga nulis, terinspirasi dari baca buku ini jadi pengen sedikit mereview pilihan-pilihan dalam hidup ini sejak punya kesadaran untuk memilih dan sampai sekarang. Kebetulan juga baru selesai baca buku tua yang isinya masih menarik untuk dibaca. Isinya mirip dengan Chicken Soup for the Soul, tapi ya ini konon kisahnya semua dari kisah nyata dengan menyamarkan nama tokoh-tokohnya.

Buku lama, tapi isinya masih relevan untuk direnungkan

Saya baca buku ini 1 hari 1 cerita saja, sebenarnya jumlah halamannya tidak banyak ya, tapi rasanya gak kuat membaca sekaligus. Kisah kehidupan itu tidak selalu happy ending, bahkan kadang berakhir sangat menyedihkan. Tapi dari kisah yang dialami oleh orang lain, selalu ada pelajaran yang bisa kita petik. Kadang-kadang kalau lagi kebagian cerita yang sedih, saya jadi ikutan sedih dan berpikir aduh kenapa sih dia begitu, kalau saja dia tidak begitu mungkin akhir ceritanya tidak sedih.

Kumpulan 19 kisah nyata yang diceritakan kembali oleh penulis

Dari 19 cerita kehidupan ini, semua yang terjadi terhadap tokoh yang diceritakan itu ya akibat dari pilihan yang mereka pilih. Mungkin itu kenapa walaupun hanya 1 cerita yang judulnya The Choice is Yours, tapi ya buku ini diberi judul dari cerita The Choice is Yours.

Kalau diingat-ingat, setiap hari sekarang ini sejak bangun pagi pastinya kita membuat keputusan sendiri mulai dari mau megang HP dulu atau ke toilet dulu sampai mau tidur kita memilih tidur awal atau tidur larut. Setiap hari kita dihadapkan dengan berbagai pilihan-pilihan yang tentunya membawa kita terhadap konsekuensi terhadap pilihan itu.

Tapi ada kalanya, selain pilihan-pilihan otomatis yang kita kerjakan karena sudah menjadi rutin, ada juga pilihan yang kita ambil karena tergoda (misalnya niat nya diet tapi tergoda makanan enak jadi batal diet), dan ada juga pilihan-pilihan yang menjadi milestone dalam hidup kita karena akan sangat besar pengaruhnya untuk masa depan kita.

Dari semua pilihan yang kita ambil, tentunya kita tidak punya jaminan kalau pilihan kita itu yang paling baik hasilnya (walaupun ada juga yang udah ketauan lah hasilnya secara logika makan banyak di kala diet itu hasilnya jelas timbangan geser kanan bukan ke kiri). Tapi ada juga yang misalnya memaksakan diri berolahraga dan melaparkan diri demi menurunkan berat badan dan bukan jadi langsing malah jadi langsung masuk rumah sakit.

Hidup ini tidak ada spoiler alertnya, tidak seperti kisah-kisah dalam film yang kita tonton. Tidak bisa juga di fast forward kalau kita tidak ingin menjalani kebosanan rutinitas atau tidak mau menjalani kesusahan. Hidup ini harus dihadapi dan dijalani. Terus lagi nulis ini jadi ingat lagu yang kemarin gak sengaja dengar, judulnya Dear Younger Me. Ceritanya sih kira-kira kalau kita tau apa yang kita tau sekarang, kira-kira apa yang ingin kita ubah dari pilihan-pilihan kita sebelumnya.

Nah gimana dengan saya? ada gak pilihan yang mau diubah kalau bisa mengubahnya? Nggak ada. Ih sombong bener ya ga ada. Ya, abis kalau misalnya ada pilihan yang saya ubah, saya jadi ga belajar dari pengalaman saya. Pengalaman itu kan guru yang terbaik. Nah dari apa yang saya alami, saya bisa lebih bijaksana kemudiannya untuk mengambil keputusan berikutnya. Yang jelas, semua keputusan major sih ga ada yang disesali.

Emang apaan sih keputusan major? Ya keputusan besarlah maksudnya, misalnya keputusan dulu minta SMA pindah rayon, kuliah, kuliah lagi, berhenti kerja, menikah, pindah ke Thailand, berhenti kerja lagi, punya anak, punya anak lagi, homeschool anak, dan seterusnya.

Kalau keputusan yang minor contohnya apa? yaaa misalnya kadang-kadang memutuskan bolos ngeblog karena ga ada ide, atau kadang makan kebanyakan dan pas berhenti menyesal karena kekenyangan. Atau kadang-kadang karena merasa bangun kepagian memutuskan tidur lagi terus jadi ketiduran seperti waktu masa orientasi mahasiswa baru (OSPEK) pernah ketiduran dan akhirnya gak ikut OSPEK secara penuh. Itu tuh pilihan yang antara nyesal gak ikutan secara penuh dan nyesal ngapain repot-repot ikut perploncoan hahahha.

Sejauh ini rasanya semua pilihan yang diambil (apalagi sejak menikah) rasanya sudah menjadi pilihan yang terbaik. Loh kok pakai rasanya? ya kan itu yang saya rasakan, lagian hidup ini tidak ada spoiler alertnya dan semoga masih panjang perjalanan yang boleh dijalani bersama-sama dengan triple J (Joe, Jona dan Joshua).

Hukum Newton dan Menulis

Menurut wikipedia:

Hukum I: Setiap benda akan mempertahankan keadaan diam atau bergerak lurus beraturan, kecuali ada gaya yang bekerja untuk mengubahnya.

Artinya:

  • Sebuah benda yang sedang diam akan tetap diam kecuali ada resultan gaya yang tidak nol bekerja padanya.
  • Sebuah benda yang sedang bergerak, tidak akan berubah kecepatannya kecuali ada resultan gaya yang tidak nol bekerja padanya.

Kalau waktu belajarnya dulu, sederhananya begini: benda yang diam akan selalu diam sedangkan yang bergerak selalu bergerak.

Terus apa hubungannya dengan menulis? Jadi hari ini sebenarnya sudah ada beberapa ide untuk menulis, tapi ditunda dan tidak dimulai, hasilnya? tulisannya ya tidak ada (yang tidak bergerak cenderung tidak bergerak).

Terus waktu nunggu anak-anak, saya lanjutin baca bukunya Mark Manson: The Subtle Art of Not Giving a F*ck dan bertemu dengan prinsip: Do Something! Dari penjelasan panjang lebar yang kapan-kapan akan saya tuliskan review bukunya kalau sudah selesai baca semua, ada nasihat guru matematikanya katanya begini: “Kalau kamu lagi stuck dengan sebuah persoalan, jangan cuma duduk dan berpikir, tapi kerjakan aja. Walau kau gak tau apa yang sedang kau kerjakan, dengan mulai mengerjakannya nantinya kau akan dapat ide yang benar untuk mengerjakannya”.

Terus ada lagi katanya kadang-kadang jawaban dari pertanyaan ‘bagaimana caranya’ itu jawabannya sederhana: ‘ya kerjakan saja’. Jadi jawaban pertanyaan saya: mau nulis apa hari ini? ya mulai aja nulis, nanti juga idenya datang sendiri.

Jadi ingat juga selama beberapa bulan pertama gabung di grup menulis ODOP / KLIP, saya berusaha setiap hari menulis apa saja, pokoknya nulis. Mulai saja minimal 1 paragraph. Dan benar saja, setelah memulai 1 paragraph, ide untuk paragraph berikutnya bisa datang atau mungkin bahkan ganti topik hehehe. Belakangan setelah saya mengikuti kemalasan, bolos 1 hari bisa berkepanjangan jadi bolos nulis berhari-hari.

Jadi kembali dengan hukum Newton pertama. Kalau kita diam saja, ya ada kecenderungan kita akan tetap diam dan ga ada yang selesailah. Butuh usaha untuk menggerakkan benda dari diam ke bergerak. Tenang, saya gak akan kasih rumus fisika di sini hehehe.

Sejak mengisi goal di google calendar, setiap hari jadi lebih bersemangat kalau berhasil menyelesaikan apa yang ditargetkan. Kalau lagi malas, saya liat di calendar apa yang bisa saya selesaikan walau sambil agak malas-malasan hehehe. Jadi kalau kita sudah mulai melakukannya, kecuali ada hambatan yang super besar mudah-mudahan kita akan tetap melakukan kebiasaan baik menyelesaikan target harian.

Jadi ingat, hari ini juga kebetulan ada sesi sharing dengan Miyosi, seorang teman blogger/penulis yang sudah banyak karyanya. Tipsnya ada 2 untuk tetap produktif:

  1. Pilih apa yang menjadi prioritas kita, dan fokuslah dengan pilihan kita
  2. Tetap mau belajar dan lakukan (jadi bukan belajar teori tapi gak diaplikasikan).

Pilih prioritas ini buat saya sama seperti saya menetapkan target apa saja yang harus dikerjakan setiap harinya dan fokus utama ya menyelesaikan target tersebut. Nah karena target hari ini salah satunya nulis blog, ya udah deh nulis blog walaupun isinya semi curhat begini hehehehe.

senang setiap kali menyelesaikan target harian

Rutinitas Saat Ini

Sebenarnya hari ini sudah hampir bolos menulis, tapi karena beberapa waktu belakangan ini Joshua melihat saya menulis sebelum tidur, dia menyuruh saya duduk dan menulis waktu masuk kamar. Jadi kepikiran untuk menuliskan soal rutinitas kami saat ini.

Jonathan main trampolin tiap pagi

Sejak Jonathan bisa naik sepeda tanpa roda bantu, kami membelikan dia sepeda baru dan juga membeli 1 sepeda lipat untuk Joe pakai. Sudah beberapa bulan ini, setiap bangun pagi setelah main trampolin, mereka keluar bersepeda keliling komplek rumah. Mereka tidak bersepeda hanya kalau hujan. Sebenarnya pengen juga mengajak Joshua bersepeda, tapi dia tidak menunjukkan ketertarikan untuk belajar sepeda, jadi ya sementara ini Joe dan Jonathan saja yang bersepeda. Saya menemani Joshua di rumah.

main sepeda kalau tidak hujan setiap hari

Setiap hari kami juga makan bersama. Makan pagi dan siang pasti bersama (kecuali hari di mana Jonathan ada kegiatan dengan grup homeschoolingnya), makan malam kadang-kadang tidak bersama kalau Jonathan ada jadwal Taekwondo.

Walaupun Jonathan tidak berangkat ke sekolah, tapi hampir setiap hari ada kegiatan di luar rumah. Kegiatan mengerjakan buku pelajaran hanya sampai sebelum makan siang, dan kegiatan keluar rumah biasanya setelah jam makan siang. Hari Sabtu dan Minggu jadi hari untuk keluarga.

Joshua mainan block domino disusun membentuk huruf

Setiap minggunya Jonathan ada kelas Art (1 x 2 jam), kelas piano (1 x 1 jam), kelas taekwondo (2 x 1,5 jam), kelas renang (1 x 30 menit) dan kelas kumon Thai (2 x 1 jam). Untuk kelas kumon Thai, walau ke kelas kumon hanya 2 x seminggu, tapi setiap harinya Jonathan harus mengerjakan lembar kerja kumon Thai. Jonathan dan Joshua juga pergi ke kumpulan homeschool 1 x seminggu dan kelas sensori 2 x 1 jam. Kumpulan homeschool ini berlangsung dari jam 9 pagi sampai jam 3 sore dan lokasinya dekat dari rumah.

Yoga, salah satu kegiatan di grup homeschool

Untuk Joshua, karena kami belum mulai kegiatan Homeschool secara terstruktur, dia belum kami ikutkan ke kelas-kelas tambahan. Di rumah biasanya dia akan berlatih sendiri, menulis di papan tulis, menyusun puzzle tangram atau domino, atau bernyanyi-nyanyi.

Joshua rajin berlatih menulis, ada yang tahu huruf apa itu?

Kegiatan saya sendiri jadi banyak disibukkan dengan antar jemput Jonathan dan Joshua. Untuk kegiatan yang sampai agak malam, Joe yang mengantar Jonathan, sedangkan saya dan Joshua di rumah. Kadang-kadang Joshua dan saya ikutan juga sekalian makan malam di luar.

Karena sering antar jemput dan menunggu, saya jadi punya waktu untuk mengerjakan memrise atau sekedar membaca. Pernah juga mencoba untuk menulis, tapi ya masih belum bisa langsung fokus, jadi saya malas bawa-bawa laptop dan memilih mengerjakan yang bisa dikerjakan di HP saja.

Kegiatan menulis blog ini saya kerjakan biasanya selesai makan malam. Entah kenapa, walaupun ada ide atau kebanyakan ide, saya sulit menulis di pagi atau siang hari. Makanya beberapa hari ini Joshua melihat saya menulis di saat dia akan tidur. Jadinya sudah beberapa kali kalau dia masuk kamar untuk tidur, dan melihat saya tidak duduk di depan komputer untuk menulis, dia akan bilang: “Mama, go to your chair and write!”. Demikian juga dengan hari ini, padahal saya sudah niat bolos aja nulisnya. Begitulah rutin buat anak-anak. Mereka mungkin belum belajar membaca jam, tapi mereka mengingat urutan kegiatan, termasuk mengingat kalau dia mau tidur apa saja yang harus dilakukan sebelumnya termasuk apa yang harus dilakukan mama papanya hehehe.

Review Buku: Kupilih Jalan Terindah Hidupku

Sudah 2 hari bolos nulis blog, ceritanya di grup KLIP ada yang share novel tentang dunia kerja, terus ternyata bukunya ada di app ipusnas. Ternyata karena ceritanya menarik, keterusan baca deh. Buku 200 an halaman selesai 1 hari (biasanya baca buku 1 bulan gak selesai haha). Tapi emang buku yang dibaca novel bahasa Indonesia jadi lebih cepat bacanya. Saya lupa terakhir baca novel bahasa Indonesia itu kapan.

Cover buku di aplikasi ipusnas

Kemarin, mbak Erna teman di grup menulis KLIP kasih tahu kalau bukunya yang baru terbit November 2018 lalu ada di ipusnas juga. Beberapa waktu lalu ada acara giveawaynya tapi gak bisa ikutan karena ntar pasti susah ongkir, terus mikirnya ntar aja nyari pas pulang. Tertarik beli karena kami di grup dapat cerita proses penulisan buku sampai terbit itu berapa lama dan bagaimana. Nah, waktu dikasih tau ada di ipusnas, saya langsung pinjam biar gak kehabisan stok.

Pengalaman baca di hari pertama, baca e-book di layar hp itu sungguh menyiksa. Jadi buat baca buku ini saya pinjam ipad Joe biar puas layarnya hehehe. Ternyata bacanya lebih cepat dari buku sebelumnya (buku sebelumnya ditulisnya besok aja ya). Saya mulai baca buku ini jam 3.30 sore waktu nungguin Jonathan les, eh waktu Jonathan selesai les udah selesai hampir setengahnya. Pulang ke rumah harus sediakan makanan dan makan malam dulu. Padahal hati ini penasaran. Selesai makan dan beberes semuanya, baru bisa baca lagi. Buku setebal 200 an halaman ini selesai hari itu juga. Bangga dengan diri sendiri tiba-tiba rajin baca hahaha.

Ah kebanyakan pengantar belum sampai ke review buku deh. Buku ini awalnya saya pikir kisah nyata, tapi waktu baca nama tokohnya loh kok namanya Mia bukan Erna. Terus baru menyadari kalau ini fiksi. Ceritanya diawali tentang seorang wanita bernama Mia yang punya tanggung jawab di kantor dan punya 2 anak di rumah. Walau saya tidak punya masa galau harus memilih pekerjaan dan anak, tapi saya bisa melihat kalau cerita ini bukan fiksi yang mengada-ada. Cerita ini bisa jadi kisah nyata kehidupan seorang wanita bekerja yang juga merangkap sebagai ibu muda. Mungkin bukan kisah nyata penulis, tapi bisa jadi kisah nyata seseorang deh.

Awal buku penuh drama

Setengah buku pertama bercerita drama suka duka dan perjuangan seorang ibu muda. Kegelisahan hati antara tanggung jawab di kantor dan di rumah. Keharusan memilih antara karir di kantor atau mengasuh anak, ditambah dengan bumbu salah paham dengan mama yang bantu jagain anak dan rasa cemburu karena anak sulung lebih dekat dengan neneknya, dan drama semakin lengkap dengan mbak yang ijin mudik dan tak kembali karena memutuskan kawin di kampung.

Kegalauan seorang Mia ini bukan hal yang baru dikalangan ibu-ibu muda. Dilema karena tidak ada yang menjaga anak-anak di rumah dan keinginan untuk tetap berkarya di kantor terutama juga untuk membantu kebutuhan finansial keluarga.

Kesalahpahaman dengan ibunya yang akhirnya ngambek dan ga mau tinggal di rumahnya dan tidak adanya mbak yang membantu mengurus rumah, akhirnya membawa Mia menetapkan hati untuk memilih meninggalkan kantor dan fokus dengan keluarga.

Mungkin buat yang belum mengalami, atau buat yang tidak pernah mengalami, akan berpikir: ah enak ya berhenti kerja, di rumah kan gak ngapa-ngapain. Tapi buat saya yang kebagian jatah ngurus anak di rumah sepanjang hari, cerita tentang Mia ini sangat nyata. Mia yang biasanya kerja di kantor, udah jadi supervisor, tiba-tiba di rumah seharian ngurusin 2 anak tanpa mbak dan tanpa siapa-apa. Suaminya bantuin gak? Bantuin juga tapi dalam cerita ini suaminya kasih syarat kalau apapun keputusan Mia, rutin sang suami tidak akan berubah, termasuk bangun siang di akhir pekan. Waktu baca ini dalam hati saya pengen nimpuk tuh suaminya bilang: lah elu kerja Senin-Jumat terus minta santai di akhir pekan, terus istri lu kapan istirahatnya? lu kata istri lu kacung? hahaha. Tapi emang kenyataanya banyak kok suami yang begitu (untungnya Joe gak gitu dan saya masih ada mbak walau part time hihihi).

Setelah menjalani drama demi drama menjadi ibu rumah tangga tanpa pengalaman mengurus rumah tanpa asisten, Mia mulai tergoda untuk kembali kerja lagi saja karena katanya masih dibutuhkan di kantor. Di saat itu Mia mendapat mimpi sekaligus pencerahan. Mau tau pencerahannya apa? baca bukunya hahhaha.. gak mau spoiler.

baca sampai habis, terutama bagian rumus mengurus rumahtangga

Setelah mendapat pencerahan, dari bagian tengah ke akhir cerita, buku ini banyak ilmunya. Bukan berarti nggak ada drama lagi, tapi ya udah punya banyak bekal menghadapi dramanya. Dengan cara yang tidak membosankan, tips mengenai mencuci piring, menjemur pakaian, menyetrika baju diceritakan dalam buku ini. Kedengarannya sepele ya, tapi tips itu untungnya saya sudah pelajari dari mama saya jaman masih remaja. Tapi walaupun tips-tips tersebut bukan hal baru buat saya, saya yakin banyak ibu-ibu muda yang mungkin belum tahu tips tersebut. Penyajian tipsnya juga menarik, bukan dalam bentuk bullet poin presentasi hahaha.

Di bagian akhir buku ini, Mia merumuskan kehidupan keluarga seperti organisasi kantor. Nah bagian ini saya suka banget. Kalau bagian ini saya yakin hasil perenungan mendalam penulis di saat malam-malam bergadang sambil ngurus bayi hehehe.

Buku ini saya rekomendasikan dibaca oleh para wanita baik yang masih single ataupun sudah menikah, sudah ataupun belum punya anak supaya ada gambaran hari-hari mendatang itu seperti apa. Buku ini juga penting untuk dibaca untuk para suami, supaya lebih dapat gambaran apa yang dihadapi istri sepanjang hari dengan anak.

Untuk ibu-ibu muda yang sedang galau antara tetap bekerja kantor atau mengurus anak di rumah, buku ini juga bisa dibaca bersama dengan suami untuk membuat kesepakatan sebelum memutuskan berhenti bekerja. Yang jelas, apapun keputusannya, seorang ibu butuh sistem pendukung supaya bisa tetap bekerja kantor atau bekerja urus rumahtangga. Sukur-sukur, suaminya gak kayak suami Mia dalam cerita ini yang gak mau berubah rutin hanya karena Mia berhenti kerja. Padahal kan Mia biasanya ada asisten, nah ini gak ada mbak pula (tetep aja saya protes bagian itu hahaha).

Haduh jadi panjang nih review atau curhat sih? hahaha. Saya sih kesimpulannya suka dengan buku ini. Jarang menemukan buku tentang ibu rumah tangga dalam bentuk novel dengan berbagai percakapan yang saya bisa bayangkan kejadiannya.

Semoga ya, bagian terakhir buku ini jadi kenyataan buat penulis buku. Buku ini kalau difilmkan juga bisa jadi edukasi buat ibu-ibu rumahtangga dan sistem pendukungnya. Hal penting lain juga dalam buku ini diceritakan bagaimana pentingnya komunikasi dengan pasangan dan juga punya kemandirian ekonomi.

Saya sendiri gak mengalami dilema seperti Mia. Sebelum anak pertama lahir, kami dengan sadar memutuskan kalau saya harus berhenti kerja. Tinggal di negeri orang tanpa keluarga yang bisa dititipkan ataupun betapa tidak enaknya kalau harus punya pengasuh orang Thai, bisa-bisa anak kami jadi orang Thai. Saya lebih beruntung dibandingkan Mia, keputusan yang kami ambil berdua didukung penuh dengan Joe, dan Joe bukan tipe yang bilang: rutin saya tidak berubah ya. Waktu anak-anak masih bayi, ada hari-hari di mana saya bangun siang dan Joe yang sediakan sarapan hehehe. Prinsipnya punya anak berdua kita urus berdua dong. Setelah anak besar, ya kalau saya bangun siang, paling sarapannya jadi pada kesiangan hahahhaa.

Kesimpulannya buku ini saya rekomendasikan untuk dibaca semua orang yang sedang galau menghadapi kerjaan rumah yang tak kunjung selesai, ataupun kegalauan antara pilihan rumah dan kantor. Semua drama akan berlalu kalau kita tahu caranya. Mungkin judul lain buku ini adalah: Yang perlu diketahui sebelum terjun bebas jadi ibu rumah tangga.

Musim Perbaikan

Hari ini saya istirahat dulu dari menuliskan tentang Bahasa Thai, mau cerita tentang suatu hal yang beberapa hari ini jadi topik dalam kehidupan. Mungkin bukan cuma kami yang alami dan siapa tau namanya lagi musim. Bukan baru kali ini sih, tapi sudah beberapa kali terjadi.

Saya perhatikan, secara berkala ada yang namanya musim di mana banyak benda rusak satu persatu dan butuh perhatian, entah itu harus ganti baru atau masuk ke bengkel. Musim ini saya sebut musim perbaikan dan keluar duit banyak. Beberapa benda yang masih ada garansi biasanya bisa diperbaiki tanpa biaya, tapi namanya garansi gak bersifat selamanya kan. Nah kalau masa garansi sudah lewat, kadang-kadang ya harus bayar biaya perbaikan, atau ya bahkan ada yang ga bisa diperbaiki dan harus ganti baru.

minggu lalu harus sewa mobil karena mobil nginep di bengkel, eh hari ini mobil perlu ganti batere

Saya ga ingat di mulai dari benda apa yang rusak, tapi hari ini mobil kami tidak bisa menyala, padahal baru juga di bawa ke bengkel untuk cek rutin minggu lalu. Pemeriksaan rutin ini termasuk periksa status batere. Karena penasaran, kami cek lagi sejarah perbaikan mobil dan ternyata ganti batere terakhir itu tahun 2016 November (dan sekarang sudah Juni 2019). Sebenarnya waktu beli baterenya sudah diberitahu kalau batere mobil itu perlu diganti sekitar 2 sampai 3 tahun, bisa lebih cepat kalau ada yang kelupaan dimatikan. Nah saya cukup yakin kalau tidak ada yang dibiarkan menyala di mobil, jadi sepertinya tanpa disadari sudah waktunya ganti batere.

Lanjutkan membaca “Musim Perbaikan”