Mulai hari Minggu kemarin, dan untuk 3 hari Minggu mendatang, gereja di mana kami biasa hadir mengadakan kebaktian melalui live streaming memanfaatkan YouTube broadcast. Selain sebagai tindakan pencegahan penyebaran covid-19, saya rasa tindakan ini bagus juga diambil mengingat polusi di Chiang Mai masih dalam level tidak sehat dan udara yang panas sekitar 39 derajat celcius. Sebelum ada live streaming ini, kami sudah beberapa kali bolos gereja karena polusi dan udara panas, jadi adanya live streaming ini tentunya saya sambut dengan gembira.
Acara live streamingnya dimulai pada jam kebaktian seperti biasa. Materi untuk anak-anak sudah dikirim sejak hari Jumat. Jadi kemarin karena sebelum jam 4 sore anak-anak sudah bangun, kami manfaatkan untuk memberikan materi untuk anak-anak terlebih dahulu. Membacakan ayat hapalan dan juga memutar video, lalu memberikan kegiatan mewarnai. Sebentar juga selesai hehehe.
Setelah 13 tahun di Chiang Mai, dan tidak pernah ada restoran Indonesia yang harganya terjangkau dan bertahan lama, akhirnya sekarang saya bisa menikmati berbagai makanan Indonesia hampir setiap hari.
Biasanya sih harus menunggu kalau ada kumpul-kumpul Indonesia di Chiang Mai, masing-masing membawa makanan yang bisa mereka masak. Di saat itu sesekali bisa makan rendang, sayur pecel, bakwan ataupun lontong sayur. Tapi sekarang bisa lebih sering dan gak harus nunggu kumpul-kumpul, apalagi sekarang kan lagi dilarang tuh berkumpul-kumpul.
Ceritanya tahun lalu, di salah satu pertemuan masyarakat Indonesia di Chiang Mai yang digagas oleh KBRI Bangkok, saya berkenalan dengan seorang warga baru yang lokasi rumahnya kira-kira 1 jam perjalanan dari Chiang Mai dan ternyata jago masak.
Awalnya saya bercanda bilang: aduh coba mbak rumahnya di Chiang Mai, saya mau katering deh sama mbak. Ternyata… mbak itu setiap minggunya memang ada jadwal ke Chiang Mai untuk berbelanja berbagai bahan kebutuhan masakannya, jadi dia bersedia sambil membawa pesanan makanan saya.
Awalnya sih pesen makanan yang kira-kira bisa tahan lama seperti cemilan dan kue kering, lalu sekarang sudah bertambah banyak menunya termasuk makanan untuk lauk yang bisa dimasukkan freezer dan bisa jadi makanan untuk beberapa hari hehehe. Di saat himbauan untuk di rumah saja dan tidak kemana-mana seperti sekarang, saya tinggal penuhi kulkas dengan berbagai masakan dari si mbak.
Contohnya hari ini, saya sarapan pagi dengan lupis dan makan siang dengan gudeg nangka pakai telur dan tempe bacem. Supaya awet, lupisnya dikirim terpisah dengan kelapanya dan juga masih dibungkus daun pisang. Di Indonesia saya tidak pernah melihat lupis yang masih terbungkus daun pisang hehehe.
Jadi yang perlu saya lakukan tadi pagi hanyalah memanaskan lupisnya dan kelapa parutnya sebentar, dan tadaaaa sarapan tersedia. Untuk makan siang, saya juga tinggal memanaskan gudeg nangka dan telur, lalu menggoreng tempe bacem. Iya saya memang bisa bikin tempe bacem sendiri, tapi saya lebih suka memesan yang tinggal digoreng karena gak perlu repot mulai dari bikin tempe yang butuh waktu lebih dari 1 hari dan merebus tempenya jadi bacem.
Saya perhatikan, sejak adanya gerakan dirumah saja atau yang dikenal dengan nama social distancing, timeline media sosial saya jadi lebih ramai. Saya yang sudah lama tidak update status FB , beberapa hari ini jadi share informasi minimal 1 kali.
Bukan, mereka bukan cuma mengupdate masalah seputar Covid-19, tapi juga banyak update tentang kegiatan belajar di rumah ataupun bertukar gambar-gambar lucu untuk mengalihkan perhatian dari hal-hal yang harus dihadapi.
Saya perhatikan, beberapa kontak saya yang biasanya juga diam-diam saja seperti saya juga mengupdate entah tentang situasi mereka saat ini, saling berkomentar dengan teman yang lain ataupun berbagi himbauan dari pemerintah di mana mereka berada.
Di WhatsApp grup yang saya ikuti, orang-orang yang biasanya hanya jadi pengamat atau bahkan tidak pernah berkomentar juga jadi bermunculan. Ada yang bertanya ataupun berbagi cerita.
Saya sendiri jadi berusaha menghubungi beberapa teman lama yang merupakan tenaga kesehatan untuk bertanya bagaimana kabar mereka dan kondisi di tanah air. Sebelumnya kami seperti tidak ada bahan obrolan, tapi dengan adanya masalah yang dihadapi bersama, tidak pakai basa-basi rasanya kami tidak pernah lama tanpa komunikasi.
Memang, di rumah saja bukan berarti kita tidak terhubung dengan dunia luar. Dengan adanya teknologi internet saat ini, yang jauh bisa terasa dekat walaupun kadang-kadang ada juga kasus yang dekat malah ngobrolnya balas-balasan di komen sosmed hehehe.
Satu lagi yang saya perhatikan, kabarnya work from home ataupun belajar di rumah bikin orang-orang jadi cepat lapar. Mungkin karena energi habis untuk membaca informasi yang berdatangan, atau kurang kerjaan jadilah makan aja yang terpikir hehehe. Apalagi untuk orang-orang yang mengisi kulkas penuh sebelum masa di rumah saja di mulai.
Sebenarnya, menurut saya, kalau tidak ada masalah polusi seperti kami yang di Chiang Mai, keluar dari rumah untuk melihat langit yang biru dan bermain di halaman rumah boleh-boleh saja. Atau sekedar bekerja sambil memandangi orang yang sesekali lalu lalang. Tapi buat kami, langit biru itu merupakan hal yang langka ditemui. Jadi kami benar-benar harus di dalam rumah saja.
Sebelum tulisan ini berubah jadi curcol soal polusi, baiklah saya akhiri saja. Manfaatkan saja waktu di rumah. Bersyukur saja kalau masih bisa punya pilihan untuk bekerja di rumah atau di rumah saja. Banyak orang yang mungkin berharap bisa di rumah saja tapi tugas dan kewajiban memanggil atau kalau ga kerja ya ga bisa makan.
Kalau lagi bosan, coba untuk mencari hobi baru atau belajar hal baru untuk mengisi waktu. Jangan malah terpikir untuk piknik ke tempat yang ramai. Piknik di halaman rumah saja bersama keluarga.
Kalau HP habis batere ya jangan dipakai sambil charge dengan powerbank. Mungkin itu tandanya waktu untuk keluarga.
Kata siapa social distancing menjauhkan orang-orang? mungkin kita harus jaga jarak secara fisik, tapi semua bisa tetap dekat di hati.
Pamer langit biru dulu ya– hal langka beberapa bulan terakhir
Saya termasuk beruntung, tidak perlu susah payah mengenalkan huruf, angka dan membaca ke Joshua. Saya lupa persisnya sejak umur berapa dia menunjukkan ketertarikan dengan huruf dan angka. Tapi di umur belum 5 tahun, dia masih suka sekali dengan huruf dan angka dan sudah bisa membaca.
Nggak ke sekolah bukan berarti gak belajar. Anak-anak belajar dari bermain. Jadi untuk orangtua yang anaknya masih di bawah 6 tahun, gak usah pusing dengan tugas berjibun dari sekolah. Anak gak akan belajar kalau dipaksa, mending juga diajak main.
Beberapa mainan yang selalu dimainkan oleh Joshua tanpa bosan dalam mempelajari huruf dan angka. Siapa tahu bisa jadi inspirasi untuk masa-masa di rumah saja ini. Sebagian besar mainan sudah kami punya dari Jonathan kecil, tapi rasanya Joshua lebih banyak memainkan semuanya tanpa bosan.
Kalaupun di rumah saja, saya belum mengatur apa saja yang harus dikerjakan Joshua. Biasanya dia akan memilih sendiri apa yang dia mau. Rumah berantakan tidak masalah, selesai bermain bisa diajak untuk merapihkan. Berikut ini beberapa mainan yang sering dimainkan Joshua siapa tahu bisa jadi inspirasi dalam masa social distancing
LEGO
main lego juga bisa untuk belajar huruf
Lego selain bisa membentuk-bentuk sesuai petunjuk, bisa juga untuk dipakai bikin huruf dan angka. Kalau anak suka dengan hal yang lain, ajak dia membentuk hal-hal lain dengan menggunakan lego.
Udah bosan baca berita dengan judul yang dilebih-lebihkan? Udah bosan baca hoax? Udah bosan baca berita yang simpang siur? Sekarang waktunya kita yang menulis, supaya berita di Internet isinya lebih bervariasi.
Gak usah bingung mau nulis apa, kita bisa menuliskan mulai dari apa yang menjadi hobi kita, buku yang kita baca, kegiatan menarik untuk keluarga dan anak yang kita lakukan, film yang kita tonton, produk menarik yang kita pakai, merekomendasikan hal-hal yang kita anggap layak untuk direkomendasikan, atau bisa juga sekedar puisi dan curhat colongan. Daripada pusing kepala melihat berita yang ada, lebih baik menulis di halaman sendiri. Berbagi cerita ataupun informasi.
Menulis setiap hari itu awalnya terasa sulit, apalagi kalau sendiri. Tapi kalau menulis dengan ada komunitas yang saling mengingatkan dan menyemangati, lama-lama rasanya ada yang hilang kalau gak menulis 1 hari.
Kelas Literasi Ibu Profesional tahun 2020 masih menerima pendaftaran sampai tanggal 20 Maret 2020. Masih ada waktu kalau mau bergabung untuk menulis setiap hari.
Catatan: tulisan ini bukan penjelasan rumus pythagoras ataupun cara mencari akar kuadrat, tapi tentang anak yang suka iseng menghitung apa saja untuk latihan soal.
Anak-anak senang sekali bermain di kamar kerja papanya. Mereka kadang-kadang ikut sibuk mengganggu papanya yang sibuk sementara mamanya pura-pura sibuk di dapur atau kadang memang lagi sibuk nulis blog. Ceritanya, papanya baru beli monitor komputer. Jadi tadi dia sibuk mengukur-ukur monitor papanya dan menghitung-hitung di kertas. Saya pikir: kenapa tidak langsung diukur pakai meteran juga diagonalnya? Tapi ya begitulah, kadang-kadang Jonathan suka menantang dirinya sendiri.
Ternyata, Jonathan terinspirasi untuk menghitung diagonal dari monitor itu dengan menerapkan rumus pythagoras dan menghitung akar kuadrat yang dipelajari dari buku The Murderous Maths yang dia baca. Selesai menghitung, dia melaporkan ke papanya, dan papanya cerita ke saya.
Sejak kecil, Jonathan sudah kami ajak berbicara dengan bahasa Indonesia. Di masa awal, dia sudah bisa bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dari lagu-lagu yang dia dengarkan dan buku yang kami bacakan.
Sekitar umur 3,5 tahun, kami masukkan Jonathan ke preschool Thai, dan dia pun mulai bisa berbahasa Thai selain Indonesia dan Inggris.
Setelah umur 4,5 tahun, kami masukkan dia ke sekolah Australia yang hanya menggunakan bahasa Inggris. Sejak saat itu, Jonathan hanya mau berbicara bahasa Inggris (dengan aksen Australia) dan semakin jarang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Thainya.
Sejak mulai homeschool, Jonathan mulai lagi berbicara bahasa Indonesia di rumah selain menggunakan bahasa Inggris. Bahasa Thainya tetap jadi nomor 3 karena dia tidak punya teman bermain orang Thai (teman Thainya bisa berbahasa Inggris juga). Teman-temannya dari berbagai negara di grup homeschool umumnya bisa berbahasa Inggris. Jadi kalau di luar dia menggunakan bahasa Inggris, sedangkan di rumah bahasa Indonesia bercampur bahasa Inggris.