Waktu buka-buka aplikasi ipusnas, saya menemukan kalau 2 buku Austin Kleon yang dia tulis sebelum buku Keep Going ada versi terjemahannya di sana. Langsung deh dipinjam. Saya pilih baca buku Steal Like an Artist yang terbit tahun 2012 terlebih dulu. Buku Show your work belum dibaca tapi sudah dipinjam.
Oh ya, aplikasi ipusnas ini agak berubah-ubah aturannya. Kalau dulu bisa pinjam cuma 3, belakangan ini bisa pinjam 2 buku/hari. Terus kalau dulu misalnya kita tidak suka dengan isi buku yang kita pinjam, bisa kita kembalikan langsung, tapi sekarang kita hanya bisa mengembalikannya 24 jam kemudian. Kalau dulu bisa pinjam agak lama, sekarang hanya bisa dipinjam 3 hari. Kalau dalam waktu 3 hari belum selesai, ya bisa pinjam lagi.
Judul bukunya tetap bahasa Inggris, tapi isinya sudah berbahasa Indonesia semua kok. Ini bisa dilihat daftar isinya.
Hari ini 13 tahun lalu, kami mengucapkan janji pernikahan kami, setelah 3 tahun saling mengenal lebih dekat sambil menyelesaikan kuliah s2.
Ada banyak yang ingin dituliskan, tapi hari ini saya akan menuliskan kenapa saya mau menikah dengan Joe. Latar belakang saya orang Batak dan Joe orang Jawa sebenarnya sempat bikin ragu-ragu menerima Joe, tapi ternyata bukan latar belakang suku yang menentukan 2 orang bisa bersama. Kepribadian 2 orang itu yang lebih menentukan apakah bisa saling menerima dan saling membangun, atau malah saling menghancurkan.
Alasan pertama saya mau menerima Joe adalah karena dia orangnya jujur dan to the point. Jadi, awalnya saya tidak menyadari kalau Joe itu lagi mendekati saya. Oh ya, kami sekelas dan satu kantor, tapi lebih banyak ngobrol setelah sering makan siang bareng di bulan puasa. Kebetulan hanya kami berdua yang tidak puasa, jadi ya otomatis kalau mau makan siang ya berdua aja.
Sambil makan siang, tentunya sambil ngobrol berbagai hal. Mulai dari ngomongin blog, buku, film dan termasuk ngomongin orang. Ngomongin orang di sini gak spesifik, tapi ngomongin orang-orang yang disekitar kami yang duduk di meja-meja lain. Kami bisa mengarang cerita kira-kira mereka lagi membahas apa, kenapa ekspresinya begitu. Kadang-kadang sambil membahas buku, kami juga jadi saling menceritakan pandangan kami tentang berbagai hal.
Terus to the pointnya mana? sabar pemirsa. Berbeda dengan Joe, saya ini orangnya kadang suka muter-muter dulu. Penjelasan dulu, baru kesimpulan. Kalau Joe orangnya kasih tau dulu intinya, kasih penjelasan baru kesimpulan. Loh kesimpulannya sama-sama diakhir? ya iya, mana pernah ada tulisan kesimpulan di awal. Udah penasaran belum? hahaha, maap, ini lagi agak-agak kurang ide menulis jadi ngomong sendiri.
Nah pada suatu hari, waktu ngobrol-ngobrol, saya bilang kalau saya di umur saat itu nggak nyari pacar, tapi nyari calon suami. Terus saya bilang lagi: tapi saya juga ga mau buru-buru nikah, saya mau kenalan dulu paling nggak 1 tahun sebelum menikah. Soalnya siapa tau dalam 12 bulan itu, kelakuan orang berubah tergantung cuaca. Jadi dalam cycle 1 tahun, mudah-mudahan cukuplah untuk tahu apa yang perlu diketahui. Tau-tau Joe bilang dia mau daftar jadi calon suami saya. Lah saya terdiam gak tau meresponnya gimana hahahaha. Terus ya abis itu saya mencari-cari alasan biar tidak harus menjawab dan semi menakut-nakuti Joe.
Saya ini orangnya dikenal cerewet, bawel dan galak. Padahal sebenarnya bawel, cerewet dan galak saya selalu ada alasannya, bukan karena saya hobi marah-marah. Siapa juga yang hobi marah, capek deh marah-marah mulu. Tapi kata Joe saya ini gak pernah tuh marahin dia.
Setelah kejadian itu, saya sebenarnya secara tidak langsung memberi jawaban tidak, tapi ya Joe tidak jadi berubah dan kami tetap makan siang bareng seperti biasa. Saya juga biasa aja, karena secara ga sadar, saya mulai terbiasa dan senang bisa ngobrol sama Joe. Padahal kalau orang-orang lihat, Joe itu pendiam dan gak banyak omong, tapi ternyata sama saya, Joe bisa ngobrolin banyak hal.
Setelah 13 tahun menikah, saya semakin bersyukur kalau Joe waktu itu nggak langsung mundur teratur. Karena akhirnya dia berhasil meyakinkan saya untuk memilih dia jadi suami hahaha. Keputusan untuk mengenal lebih dekat selama lebih dari 1 tahun itu juga sudah benar, tidak ada hal yang mengejutkan dari karakter Joe dalam 13 tahun menikah.
Hal lain yang juga saya suka dari Joe adalah: dia selalu mau mendengarkan saya. Setelah menikah dengan Joe, saya sih merasa jadi berkurang kebawelannya. Kalau ada hal-hal yang bikin emosi, biasanya saya ceritakan ke dia, dan emosinya bisa mereda. Selain mendengarkan keluh kesah dan omelan, sejauh ini cara pandang kami dalam banyak hal yang prinsip juga sama termasuk cara mendidik dan membesarkan anak. Walaupun sibuk kerja, dia masih mau menyediakan waktu untuk main dengan anak-anak dan bahkan urusan mandiin anak juga gak masalah.
Satu hal yang juga bisa bikin kami menikah 13 tahun tanpa banyak drama adalah: kami selalu mengkomunikasikan apa yang kami rasakan. Kalau ada yang bikin sebel, ya dikasih tau. Kalau saya lagi terlalu malas juga bakal ditegur sama Joe hehehe. Kalau ada kekhawatiran yang dihadapi, kami juga saling menceritakan apa yang membuat kami merasa khawatir. Kami berusaha untuk tidak pakai acara tebak-tebak buah manggis. Karena dari dulu saya pernah bilang – jangan pernah ada kata-kata: harusnya kau tau isi hatiku, karena aku gak punya kemampuan telepati (lah ini bahasa drama banget yah).
Ceritanya jadi kemana-mana kan. Cerita ini saya tuliskan di sini untuk Jonathan dan Joshua. Kalau mau cari pasangan, gak usah pakai drama. Kalau memang suka ya bilang suka, kalau ditolak jangan langsung menyerah hahaha. Komunikasikan perasaan, dan jangan main tebak-tebakan. Kalau gak jodoh? ya terimalah, namanya juga nggak jodoh, jangan dipaksakan.
Buat Joe, terimakasih karena mau menjadi suamiku. Semoga kita selalu bahagia selamanya walau apapun yang ada di depan kita (dangdut mode banget ya hahahhaa).
ps. sewaktu saya menulis, Joe menulis juga, dan ya secara gak sengaja intinya sama sih: komunikasi hehehe.
Kalau dulu, ditanyakan ke saya: mau liburan ke pantai atau ke gunung? dengan cepat saya akan menjawab pantai, tapi pantai danau ya, bukan pantai laut.
Tadi pagi, tiba-tiba saya terpikir lagi dengan pertanyaan ini, dan saya tidak bisa menjawab dengan cepat. Ada begitu banyak pertimbangan kalau ke gunung bagaimana, kalau ke pantai bagaimana. Waktu saya tanya ke Joe, dia juga jawabannya: ada pilihan lain gak? pengennya yang datar aja ga harus ekstrim gunung atau pantai.
Kalau Liburan ke Gunung…
Alam pegunungan itu biasanya sejuk dan hijau. Suasananya juga terasa lebih indah dengan kicauan burung ataupun suara aneka hewan yang hidup di alam yang bisa terdengar sesekali. Semuanya membuat suasana terasa lebih santai untuk beristirahat dan melepas penat. Oh ya, ini bukan cerita naik gunung yang hiking ya, tapi ke daerah pegunungan saja. Seperti misalnya ke Doi Inthanon kalau di Chiang Mai.
Pemandangan dari tempat yang tinggi biasanya juga cukup indah. Bisa melihat daerah di sekitar kaki gunung. Salah satu yang saya ingat dari liburan ke daerah pegunungan juga biasanya sayuran dan buah-buahannya semua enak, karena biasanya banyak petani di sekitar daerah pegunungan.
Terus kenapa gak memilih ke daerah pegunungan kalau memang indah, nyaman, sejuk dan semua alasan di atas?
Untuk sampai ke area pegunungan, biasanya kita harus melalui jalanan tanjakan dan berbelok-belok. Jalan menanjak sih gak masalah ya, karena toh kita bukan jalan kaki dan biasanya naik mobil. Tapi belok-beloknya itu loh kadang-kadang yang agak memabukkan. Belum lagi, kalau jalanannya bukan jalan yang mulus ataupun sempit. Rasanya agak ngeri gak sih kalau lewat jalan kecil dan berliku dengan kanan kiri itu jurang?
Biasanya, sinyal hp di gunung juga kurang bagus, apalagi kalau gunungnya bukan tempat yang sudah ada bts provider yang kita gunakan hehehe. Lah katanya mau liburan, kok mikirin sinyal sih? ya, kan walau liburan kita tetap butuh akses internet buat nonton film santai-santai. Ah kalau mau nonton film di rumah aja sana, gak usah ke gunung! Banyak alasan aja ya hehehe.
Kalau Liburan ke Pantai…
Waktu kecil, setiap liburan kenaikan kelas, saya pasti diajak orangtua saya ke Danau Toba. Sepertinya, karena liburan ke Danau Toba inilah saya selalu kepikiran liburan ke pantai itu menyenangkan. Untuk mencapai lokasi pantainya, tentunya harus melewati gunung dulu, lalu turun lagi. Jadi sama aja dong dengan ke gunung? nggak juga, karena setelah sampai di bawah, kita bisa dapat pemandangan ya pantai, ya gunung. Jadi pemandangannya terasa lebih indah.
Walaupun dari kecil sampai lulus SMA saya tinggal di Medan, dan Medan itu adalah kota yang ada pelabuhannya, saya tidak pernah ke pantai laut. Pantai yang saya kenal itu ya pantai dari Danau Toba.
Saya senang ke Danau Toba untuk bermain air, berenang di danau, naik sepeda air, speed boat dan pernah belajar naik soluh (sejenis canoe). Selain itu tentunya makan indomie rebus, ikan bakar, mangga kecil-kecil (gak tau namanya apa) dan ya senang aja dengan semilir angin yang berhembus sepanjang hari yang terasa sejuk. Pulang dari Danau Toba biasanya kulit pada gosong dan mengelupas hehehe.
Pertama kali ke pantai laut itu waktu jalan-jalan kelas 2 SMA ke Parang Tritis. Nah, melihat deburan ombak yang keras dan angin yang terasa lengket di kulit, tidak ada keinginan untuk main air sedikitpun. Main pasir aja rasanya ogah. Sejak itu, keinginan untuk bermain ke pantai berkurang.
Sampai sekarang, setelah beberapa kali liburan ke pantai laut seperti Bali, Pattaya, Ancol dan Phuket, perasaan tentang pantai laut tetap sama. Saya hanya senang melihat-lihat saja, tidak ada keinginan berenang atau bermain air. Tidak ada keinginan untuk menghabiskan waktu seharian bermain air.
Saya mulai agak takut dengan pantai laut sejak banyak bencana tsunami. Tapi ya ketakutan ini gak bikin jadi gak mau ke pantai laut sama sekali sih. Namanya bencana bukan hanya terjadi di laut saja, jadi kalau ada kesempatan berlibur ke pantai laut, ya dinikmati juga dan lupakan takutnya.
Jadinya Pilih ke Mana?
Karena Chiang Mai jauh dari pantai, ya sekarang ini kami cukup senang dengan jalan-jalan sekitar kota Chiang Mai yang waktu tempuhnya tidak terlalu lama. Kalaupun ada waktu, ya libur ke gunung atau ke pantai sama menyenangkannya untuk melihat pemandangannya, tapi tidak ada perasaan lebih ingin ke salah satunya.
Kalau mau libur ke gunung ataupun ke pantai, yang jelas tidak dilakukan di musim hujan. Musim hujan mendingan kita ke mall aja deh daripada gak bisa enjoy hehehe.
Satu hal yang paling penting juga, kalau mau liburan ke manapun, sekarang ini yang perlu dipertimbangkan adalah anak-anak. Mereka perlu melihat gunung, pantai, danau, lembah, sungai, hutan, tapi ya tentunya diperkenalkan sesuai dengan kesiapan mereka menerimanya.
Untuk sekarang ini, kami belum menanyakan ke anak-anak lebih suka ke gunung atau pantai, kami yang memutuskan untuk membawa berganti-ganti supaya mereka mempunyai pengalaman di berbagai tempat. Karena kalau ditanya, jangan-jangan jawabannya malah: di rumah aja lebih enak hahahaha.
Sebelumnya, saya ingin mengucapkan selamat Tahun baru Imlek untuk teman-teman yang merayakan. Selamat memasuki tahun Tikus.
Hari ini masih bulan Januari, tapi kita sudah merayakan tahun baru lagi. Di Thailand, karena hari ini hari Sabtu, ya secara tidak langsung jadi hari libur juga. Ada banyak juga orang Thai yang masih keturunan Cina dan ikut merayakan tahun baru Imlek, tapi biasanya tidak menjadi hari libur khusus seperti halnya di Indonesia. Mall dan tempat berbelanja tentunya banyak dihias dengan hiasan merah, dan juga keperluan untuk sembahyang di tahun baru ini.
Di Chiang Mai, biasanya ada barongsai dan parade dari old city ke China Town yang ada di pasar Warorot. Seingat saya, jalanan di pasar Warorot akan macet menjelang tahun baru Imlek ini, selain persiapan untuk dekorasi, juga karena orang-orang sibuk berbelanja untuk menyambut tahun baru seperti halnya tahun baru 1 Januari kemarin.
Saya belum pernah sih melihat langsung acara tahun baru di Chiang Mai, alasannya? tentu saja karena tidak ingin terjebak macet hehehe. Tahun depan deh direncanakan buat melihatnya hehehe.
Selain Tahun Baru Masehi dan Tahun Baru Imlek, Thailand punya tahun baru sendiri yang dirayakan setiap bulan April yang dikenal dengan sebutan Tahun Baru Songkran. Nah pada Tahun Baru Songkran inilah liburannya lebih lama, biasanya sih 3 – 4 hari kerja, tapi kalau jatuhnya di dekat hari kejepit dan ada akhir pekan, akhirnya libur itu bisa sampai 10 hari hehehe.
Ngomongin tahun baru, biasanya disebut tahun baru karena penanda sebagai hari pertama kalender baru. Sudah tahu belum, kalau di Thailand menggunakan sistem tahun sendiri? Selain mengenal tahun yang sama seperti kita gunakan di kalender gregorian, mereka menggunakan perhitungan berdasarkan era Budha yang bedanya 543 tahun dibanding kalender biasa. Jadi tahun 2020 itu lebih dikenal dengan tahun 2563. Surat-surat akte lahir anak-anak juga menggunakan tahun Thai. Jadi biasanya orang bertanya lahir tahun berapa itu, ekspektasinya mendapat jawaban dalam tahun Thai. Uniknya, walau perayaan Tahun Baru Songkran itu diadakan pertengahan April, kelender tahun Thai sudah berganti tahun sejak 1 Januari.
Penggunaan tahun Thai ini kadang membingungkan saya. Misalnya mau bayar pajak mobil, di stiker yang ditempel itu menggunakan angka belakang dari tahun Thai. Jadi ada tulisan 62 atau 63. Walau sudah lama di Thailand, saya masih belum terbiasa mengingat tahun Thai dan sering harus menghitung lagi, tahun ini tahun berapa ya?
Pernah juga, waktu memeriksa kadaluarsa makanan. Mereka kadang-kadang memakai tahun Thai, jadi saya juga harus ingat-ingat tahun ini tahun berapa untuk tahu apakah makanan sudah kadaluarsa atau belum.
Saya ingat, di Indonesia juga ada tahun baru Hijriyah, tapi biasanya tidak digunakan di dokumen resmi ataupun penanda kadaluarsa makanan.
Sebelum menuliskan tulisan ini, saya iseng mencari tahu, apakah Korea juga mempunyai tahun baru sendiri? ternyata mereka juga merayakan hari ini sebagai Tahun Baru yang disebut Seollal. Sekilas sih mirip dengan Imlek, tapi pernah juga dirayakan berbeda sedikit dengan Imlek, dan tentunya dengan tradisinya sendiri.
Dan sepertinya di banyak negara di Asia punya sistem penanggalan yang tidak sama dengan kalender gregorian. Masing-masing tahun baru mempunya tradisinya masing-masing, tapi ada kesamaannya: kumpul dengan keluarga atau teman, dan mengucap syukur memasuki tahun yang baru dengan menikmati hidangan yang enak.
makasih ya tante angpau nya hehehe…
Hari ini, walau kami tidak merayakan Imlek, Jonathan dan Joshua mendapat angpao dari teman kami yang merayakannya hehehe. Kami juga dapat traktiran makan enak hasil order dari restoran Korea dekat rumah. Anggap saja merayakan tahun baru Imlek dan Seollal sekaligus ya, yang penting makan enak hahaha.
mewakili 3 tahun baru nih, ada nastar selain makanan korea dan nasi goreng hahaha
Ada yang bisa menambahkan ada tahun baru apa lagi yang dirayakan dalam waktu 365 hari?
Kdrama Chocolate ini baru selesai tayang di Netflix hari Minggu lalu, sebelum lupa saya mau tuliskan sedikit review dan opini tentang drama ini. Seperti biasa, mudah-mudahan tidak ada spoiler, dan ya namanya opini sifatnya subjektif hehehe.
Drama sebanyak 16 episode ini awalnya saya mulai nonton karena judulnya. Saya pikir isinya akan berupa cerita seputar bikin coklat melulu, tapi ternyata saya salah. Coklat merupakan awal dari cerita cinta pasangan utamanya.
Cerita bergenre melodrama romantis ini sebenarnya bukan tipe drama yang bikin saya betah nontonnya. Dari beberapa genre sejenis yang pernah ditonton, saya paling tidak tahan melihat scene yang dilama-lamain dan sedih bukan kepalang. Tapi drama Chocolate ini, walaupun saya akui ada bagian yang berasa dilambat-lambatin, tapi ya masih menarik untuk dilihat karena biasanya pemerannya mikir sambil masak.
Teaser Chocolate dari YouTube The Swoon
Ada banyak jenis masakan yang ditunjukkan dimasak di drama ini, bukan cuma coklat doang. Kebanyakan makanan seperti lauk pauk gitu deh. Cara bercerita sambil tokohnya menyiapkan makanan ini cukup menarik, mulai dari mengupas, mengiris, mencuci, urutan memasukkan bahan-bahan ke dalam panci ataupun kuali sampai dihias di atas piring untuk disajikan. Ini bukan acara master chef, bukan juga acara masak memasak, tapi ya tampilan makanan yang dimasak dan disajikan bisa bikin saya betah menonton drama melodrama ini. Makanan yang disebutkan bukan cuma ramen, atau jajangmyon, ataupun teokbukki yang sering disebut-sebut di drama lain saja. Tapi saya lupa nama-namanya hahaha.
Setting lokasi cerita ini ada beberapa tempat. Ceritanya juga berusaha menceritakan dari kisah pertemuan pertama tokoh wanita dan prianya. Cerita 2 episode pertama kita harus memperhatikan tahun peristiwanya, karena ada bagian ceritanya maju mundur.
Garis besar ceritanya seorang anak perempuan yang kelaparan diundang makan oleh seorang anak laki-laki baik hati yang senang membantu ibunya memasak. Anak ini juga senang memasak coklat dan punya keahlian masak, jadi setelah pertemuan pertama itu, si anak ini mengundang teman barunya itu untuk datang lagi makan coklat shasha. Tapi karena satu dan lain hal, mereka tidak bisa bertemu lagi di hari yang dijanjikan. Si anak laki-laki pindah ke kota besar dan menjadi seorang dokter ahli saraf, sedangkan si anak perempuan memilih jadi chef karena terkesan dengan makanan yang disajikan di restoran si anak laki-laki itu. Tujuan jadi chef nya juga karena ingin bisa memasak coklat shasha.
Setelah bertahun-tahun kemudian, dengan berbagai kesedihan yang terjadi dalam kehidupan masing-masing, akhirnya mereka bertemu kembali. Tapi tentu saja mereka tidak langsung saling mengenal. Pertemuan pertama itu hanya sebentar, dan mereka hanya saling berkenalan nama. Dengan banyakan peristiwa yang terjadi dalam hidup masing-masing, sebenarnya agak aneh kalau mereka langsung mengenali satu sama lain.
Cerita dalam drama ini mengambil tempat di Greece juga selain di Korea. Ceritanya, si cewe belajar masaknya di Greece. Salah satu daya tarik drama ini selain penyajian makanannya ya pemandangan alamnya.
Kalau didaftarkan di sini, banyak sekali kesedihan yang dihadapi 2 tokoh utama ini. Proses mulai dari pertemuan pertama, sampai mereka menyadari siapa satu sama lain juga lama banget. Ceritanya juga sebenarnya klise banget, kisah cinta pertama dari sejak kecil dan itu hasil pertemuan sekali saja. Terlalu mengada-ngada ya sepertinya. Tapi ya, namanya drama (ini kalimat yang akan sering ada kalau ngomongin drama), saya kagum dengan kemampuan penulis membuat rangkaian kesedihan dalam kehidupan 2 tokoh utama sambil memikirkan menyajikan pemandangan alam yang indah dan makanan yang terlihat menarik.
Endingnya gimana? apakah mereka akhirnya bersama? Ada kisah cinta segitiganya gak? atau ada nenek sihir jahatnya gak? eh emang ini cerita apaan sih pake nenek sihir segala, ini bukan kisah Hansel dan Gretel. Tapi seperti semua drama, pasti adalah orang jahatnya. Bagian yang ini bisa ditonton sendirilah. Kalau gak suka dengan klise nya, coba liat makanannya deh. Kalau gak suka makanannya, ya udah ga usah ditonton hehehe.
Ada banyak pesan kehidupan juga dalam drama ini, apalagi karena salah satu settingnya adalah rumah sakit untuk pasien-pasien yang penyakitnya sudah tidak bisa disembuhkan lagi. Rumah sakit itu lebih untuk membantu pasien supaya tidak terlalu menderita di masa akhir hidupnya. Setting lokasi rumah sakit ini yang bikin makin terasa melodramanya. Kalau gak suka melodrama, gak suka makanan, gak suka klise cinta pertama, ya udah cari drama lain, ada banyak kok hehehe.
Dengan berakhirnya drama ini, saya perlu mencari drama baru yang masih tayang untuk ditonton. Ada yang mau kasih rekomendasi?
KLIP singkatan dari Kelas Literasi Ibu Profesional. Program KLIP 2020 masih seperti tahun 2019 merupakan wadah untuk melatih konsistensi menulis setiap hari selama setahun. Tapi tenang saja, kalau belum ibu-ibu juga boleh gabung kok, tapi memang program ini khusus untuk perempuan.
Mungkin ada yang akan berpikir: aduh nulis tiap hari? mana sempat, banyak urusan lain yang perlu dilakukan, dan mau nulis apa tiap hari? Katanya kan gak baik kalau semua dituliskan di media sosial? Ntar ada orang kepo yang jadi tahu informasi detail kita dan disalah gunakan. Bahaya ah nulis tiap hari, pusing ntar nyari topiknya. Ini salah satu pikiran saya sebelum saya menantang diri sendiri menulis tiap hari.
Tapi program KLIP ini beda. Tidak ada keharusan menulis topik tertentu, kita yang membatasi diri kita di mana kita ingin posting. Tujuan utamanya ya membuat kita membiasakan menulis. Kita yang membatasi informasi apa yang mau kita bagikan ke publik atau cuma dituliskan di googledocs yang hanya bisa dilihat admin. Atau bahkan kalau nulis di diary lalu di foto dan fotonya saja yang diupload ke google doc juga bisa kok. Tidak suka menulis? ya mungkin grup ini bukan buat Kamu kalau gitu hehehe.
Terus kenapa harus setoran sih? kan kadang-kadang ada yang rajin aja gitu nulis tiap hari, tapi suka lupa untuk menyetorkan tulisan. Yaaa kalau gak disetorkan ke dalam form, gimana caranya mbak-mbak pengurus tau kalau kita nulis atau nggak? Makanya kita cuma perlu setor 1 kali sehari. Buat yang tiba-tiba rajin nulis 10 tulisan dalam 1 hari, ya setorannya 1 tulisan per hari dalam 10 hari ke depan juga boleh. Asal jangan menyetorkan tulisan yang sama dalam 10 hari ya (walaupun ini tidak disarankan hahaha).
Walaupun kita disemangati untuk menulis tiap hari, tapi sebenarnya target minimum itu 10 tulisan perbulan. Berarti rata-rata bisa menulis 1 tulisan per 3 hari. Kalau ada bulan yang nggak bisa nulis 10 tulisan gimana? ya tidak apa-apa juga, coba lagi bulan depannya. Dalam setahun usahakan aja bisa nulis 10 tulisan/bulan selama 7 kali. Artinya paling tidak sepanjang 365 hari, kita sudah menulis 70 tulisan.
Tulisannya harus ada batas minimum jumlah katanya nggak? jawabnya nggak. Tulisannya juga bebas kok, bisa berupa puisi atau bahkan status facebook. Pokoknya nulis! Kembali ke kita sendiri, puas gak kalau nulisnya cuma 2 kalimat? Biasanya sih, mulai aja nulis 1 paragraph, nantinya ide untuk paragraph berikutnya pasti berdatangan, dan tiba-tiba kita gak bisa berhenti hahaha.
Mungkin akan ada yang berpikir: ah bulan Januari udah gak bisa 10 tulisan lagi, ga jadi ikut ah, tahun 2021 aja ikutannya. Jangan salah, tahun 2020 masih ada 11 bulan lagi kalau pun Januari tidak bisa nulis minimum 10 tulisan. Mulai aja nulis, biasakan dari sisa bulan Januari ini, dan menyiapkan diri untuk menulis tiap hari di bulan Februari. Grup KLIP masih menerima pendaftaran sampai bulan Maret 2020 untuk program tahun ini.
Satu hal yang paling saya tunggu-tunggu dari grup KLIP ini adalah WAGrup nya. Khusus Januari ini memang belum ada WAG nya, tapi kalau bulan ini berhasil nulis minimum 10 tulisan, bulan depan bakal bisa gabung di WAgrupnya. Nantinya, tiap bulan akan disaring lagi untuk bulan berikutnya. Kalau bisa konsisten tiap bulan nulis minimum 10 tulisan, artinya bakal bertahan terus di WAGrupnya.
Ada apa di WAGrup KLIP? Ada banyak teman-teman yang sama-sama berjuang melatih konsistensi menulis. Akan ada yang setiap hari bertanya-tanya mau nulis apa hari ini ya (ini sih saya biasanya). Ada juga berbagi informasi perlombaan menulis, atau bahkan bisa ada sesi tanya jawab dengan teman sesama anggota yang sudah menerbitkan buku. Dan tentunya ada yang jadi cinderella alias buru-buru nulis menjelang tengah malam untuk disetorkan (ini juga saya hahaha).
piagam dari KLIP – bisa begini berkat WAGrupnya hehehe
WAGrup ini sifatnya tidak wajib kok, kalau misalnya ada yang merasa hp sudah kebanyakan WAGrup dan tidak ingin gabung walaupun berhak masuk, ya tidak masalah juga. Tahun 2019 saya berhasil konsisten menulis tiap bulan juga berkat WAGrup KLIP. Setelah setahun bersama-sama dengan teman-teman KLIP, saya merasa Januari ini agak berat karena terasa ada yang hilang dari kebiasaan bikin ribut di WAG hehehe.
Bulan ini saya sudah mengamankan target menulis, supaya bisa masuk WAG di bulan Februari. Ayoo yang udah gabung KLIP dan belum 10 tulisan, semangaaat, masih ada 9 hari ke depan untuk mencapai target minimum. Untuk yang belum bergabung, bisa baca-baca informasi lengkapnya di FB Grup KLIP dan di tulisan ini dan siapkan diri untuk ikuti tantangan menulis bersama-sama kami.
Oh ya, mungkin akan ada yang bertanya-tanya: tantangan menulis ini ada hadiahnya apa? Hadiahnya tentu saja kepuasan pribadi dan teman-teman baru sesama penggemar literasi. Karena selain tantangan menulis, tahun 2020 ini ada tantangan membaca buku juga. Lalu ada kesempatan untuk memilih tulisan yang kita anggap terbaik dari minggu sebelumnya. Dengan berbagi link di grup, berarti juga menambah pembaca blog kita (kalau yang menulis di blog). Yuk yuk ditunggu ya untuk latihan konsistensi menulis bersama KLIP.
Dalam rangka memaksa diri membaca buku. Kemarin ingat lagi buat buka aplikasi ipusnas setelah sekian lama gak dibuka. Setelah melihat-lihat sekian lama dan tidak ada buku yang menarik untuk dibaca, eh tiba-tiba liat buku Dilan ini. Jadi ingat, buku yang sudah difilmkan ini pernah ramai dibicarakan di grup.
Kesan pertama: eh ini buku diceritakan dengan sudut pandang seorang gadis SMA kelas 2 dengan setting tahun 1990 di Bandung. Karena pernah tinggal di Bandung, beberapa tempat yang diceritakan bisa dibayangkan. Tapi karena di Bandungnya bukan masa SMA, jadi gak bisa juga bayangkan kehidupan anak SMA di Bandung seperti apa.
Gaya bahasa di buku Dilan ini terasa aneh buat saya. Karena sudah pernah menonton filmnya sekilas, jadi kebayang sih cara Milea dan Dilan berbicara (walaupun sudah lupa wajah-wajah pemerannya). Waktu menonton Dilan juga saya sebenarnya agak geli dengan gaya bahasanya. Tapi waktu itu saya tonton juga buat sekedar tahu hehehe.
Mungkin karena masa SMA sudah lama berlalu, agak sulit menerima kegombalan Dilan. Kalau saya jadi Milea, dari pertama Dilan datang mendekati dengan motornya, pasti saya udah lari menjauh. Waktu tau Dilan anak geng motor ataupun suka melawan guru, pasti saya bakal lebih gak suka lagi.
Waktu ada cerita ternyata Milea sudah punya pacar di Jakarta, nah ini kok saya makin gak suka dengan Milea. Jelas-jelas Milea ini tipe wanita gak setia (ups banyak yang protes gak ya hahaha). Beni, pacar Milea yang di Jakarta juga sepertinya bukan pemuda yang oke. Tipe cemburu buta tanpa bertanya, dan kata-katanya kasar. Saya setuju Milea putusin tuh Beni. Eh tapi karena Milea tidak pernah ceritakan apa yang bikin dia suka dengan Beni, saya tidak bisa menilai lebih banyak selain yang diceritakan Milea saja. Beni itu digambarkan kasar omongannya. Cowok kasar dibandingkan dengan cowok gombal seperti Dilan, tentu saja anak SMA bakal kesengsem sama yang pintar bermain kata.
Terlepas dari jalan ceritanya, betapa Milea lebih memilih Dilan si anak geng motor dibanding teman sekelasnya yang pintar, atau guru les nya yang anak ITB, cerita Dilan ini menarik karena ditulis oleh pria dengan mengambil sudut pandang wanita anak SMA pula. Sepertinya kisah ini terinspirasi dari kisah nyata. Bisa jadi penulisnya sebenarnya menggambarkan Dilan sebagai dirinya di masa SMA.
Saya tahu buku Dilan ini ada lanjutannya. Tapi saya kurang ingin cari tahu kelanjutan kisah Milea dan Dilan apakah bahagia selamanya atau cuma sampai di situ saja hehehe. Saya malah kepikiran, kira-kira berapa banyak anak SMA yang terinspirasi memberikan hadiah buku teka-teki silang yang sudah diisi ke pacarnya dengan alasan: supaya kamu gak pusing mikirinnya. Atau berapa banyak anak SMA yang malah jadi pengen pacaran dengan anak geng motor karena berharap mereka seperti Dilan?
Buat saya, Dilan itu tetap bukan tokoh ideal. Walaupun kata-katanya gak kasar, tapi dia suka main kekerasan (berantem dengan guru dan sibuk mengatur penyerangan geng motor buktinya). Kalau masih SMA suka kekerasan, gimana nanti besarnya?
Dari keseluruhan cerita itu, yang paling saya suka ibunya Dilan. Saya tapi tetap gak mengerti ibunya Dilan yang diceritakan seorang guru juga, ibu yang baik dan lembut begitu bisa membiarkan anaknya ikut geng motor. Ah namanya juga cerita ya, lebih baik dinikmati saja. Diambil baiknya dan belajar untuk menghindari yang gak baiknya.