Tulisan hari ini merangkum obrolan di beberapa grup yang saya ikuti (dan isinya ibu dan istri) setelah saya membagikan tulisan tentang film Indonesia Ali dan Ratu-ratu Queens.
Sebelum saya menontonnya, ada banyak pujian tentang film ini. Ada beberapa hal yang disebutkan kalau wanita itu boleh punya mimpi dan perlu mengejar cita-citanya.
Tapi, buat saya, ibunya Ali ini tetap tidak bertanggung jawab sebagai ibu atas nama cita-cita. Apalagi cita-citanya cuma mau jadi penyanyi, kalau ga sukses di Indonesia, kok ya mimpi terkenal di Amerika? Ada Smule dan Youtube tuh kalau mau jadi penyanyi masa kini.
Serial TV terpanjang yang saya ikuti itu ya Grey’s Anatomy. Saya tidak mengikuti dari awal, tapi setelah ada beberapa season, saya menonton beberapa season sekaligus. Akhirnya sejak sekitar season 10, saya mengikuti setiap kali ada episode baru keluar.
Hari Kamis kemarin, 2 episode pertama season 17 dimulai lagi, dan hari ini saya berkesempatan menontonnya di Disney+ Hotstar (nambah langganan layanan streaming lagi deh). Hari ini saya jadi menyadari, alasan saya tetap nonton serial ini. Saya memang sudah malas mengikuti serial western yang jumlahnya puluhan episode (dan banyak season), tapi masih ada beberapa serial yang tetap diikuti dan serial ini salah satunya.
Memikirkan hal-hal yang terjadi di 2020 di mana banyak kejadian yang tidak nenyenangkan datang silih berganti, saya jadi teringat dengan buku anak yang saya tonton filmnya di tahun 2004 dan sudah pula menjadi serial TV oleh Netflix yang berjudul A Series of Unfortunate Events.
Saya belum membaca bukunya, waktu itu pernah membeli buku versi bahasa Indonesianya, tapi kami tinggal di Indonesia. Saya tidak berhasil menyelesaikan membaca bukunya, karena dari awal ceritanya banyak kejadian menyedihkan.
Biasanya, buku anak-anak itu diberikan akhir yang membahagiakan, atau kisah yang menyenangkan. Tapi, buku ini berbeda. Dari judulnya dan dari bagian awal buku ini, sudah diberitahukan kalau mencari kisah yang membahagiakan, jangan baca buku tersebut.
Oh ya, karena ingat dengan buku tersebut, saya juga jadi ingat dan memulai menonton serialnya di Netflix. Serialnya di Netflix juga cukup menarik dan dari dialognya, saya merasa seakan-akan sedang dibacakan bukunya.
Ngomongin nonton film atau serial TV, dari jaman dulu saya sudah tahu ada banyak cara para pemirsa untuk menyalurkan hobi menontonnya. Sejak jaman DVD sampai jaman internet film dan drama tersedia yang resmi maupun bajakan.
Ada yg memilih membeli DVD resmi tapi artinya harus menunggu lama sampai sebuah drama selesai tayang seluruh episode dalam 1 season di TV baru diproduksi DVD nya. Tapi ada juga yang memilih untuk menonton versi bajakannya walaupun kualitasnya kurang memuaskan.
Sekarang ini sudah bukan jaman DVD, teknologi para pembajak juga makin canggih. Tapi yang banyak tidak diketahui oleh pemirsa, kalau memang suka menonton, lebih baik cari versi berbayar daripada versi bajakan.
Beberapa alasan kenapa sebaiknya tidak mencari dari sumber ilegal (selain masalah etika dalam menghargai hasil karya orang lain):
Kualitas gambar tidak selalu bagus untuk dilihat.
Ada film yang tidak sinkron antara suara dan gambar, hal ini mengganggu kenyamanan menonton.
Subtitle film bajakan juga sering memberi makna yang salah atau tidak enak dibacanya.
Ada kemungkinan file bajakan yang didownload disusupi virus atau malware.
Menonton streaming dari website ilegal juga banyak jebakan iklan yang mengarah ke situs-situs porno.
Ada banyak cara menonton Kdrama yang legal. Bisa gratis atau membayar dengan jumlah yang sebenarnya tidak terlalu mahal dibandingkan mahalnya membayar kuota internet. Sebelum memutuskan mau menonton dari web streaming yang mana, pastikan Anda punya kuota internet yang lebih dari cukup.
Hari ini, saya akan menulis review film Korea lagi. Ini merupakan topik pertama dari tantangan 30 Topik Kokoriyaan bareng teman-teman di group Drama Korea dan Literasi. Film “Time to Hunt” ini baru release April 2020 di Netflix, jadi masih relatif baru.
Berbeda dengan dua film yang pernah kami review bareng sebelumnya yang bertema komedi, film ini genrenya mirip-mirip film Amerika. Netflix memberi rating 18+ untuk film bergenre crime, gangster, heist and gritty movie karena ada banyak adegan kekerasan dan bahasa yang tidak sesuai dengan anak-anak.
Film ini pertama kali ditayangkan tanggal 22 Februari 2020, di acara 70th Berlin International Festival. Film ini juga merupakan film Korea pertama yang masuk seleksi Berlinale Special section. Akhir April 2020, film ini release di seluruh dunia melalui Netflix.
Ceritanya
Cerita di mulai ketika 3 sekawan bertemu dengan temannya yang baru keluar setelah 3 tahun di penjara. Teman yang baru keluar dari penjara ini ternyata seperti pemimpin mereka dalam melakukan kejahatan seperti pencurian. Dia mengorbankan dirinya tertangkap ketika mereka ber-4 mencuri bersama.
Si pemimpin yang baru keluar dari penjara ini bercerita tentang mimpinya untuk pensiun dari dunia kejahatan. Dia ingin memiliki resort di Kenting Beach, Taiwan yang memiliki pantai berwarna hijau seperti di Hawaii. Tapi untuk itu tentunya dia butuh modal, katanya dengan modal 200 ribu USD, dia bisa mendapatkan 8 ribu USD perbulan (atau perhari ya), intinya sih gak perlu kerja repot-repot lagi tinggal menikmati hasil deh.
Review film kali ini merupakan kegiatan review bareng ke-2 bersama teman-teman di WAG drakor dan literasi (iya isinya memang teman-teman yang hobi nonton drama Korea selain menulis setiap hari). Alasan memilih film ini tentu saja karena film yang baru release di awal tahun 2020 ini genrenya drama komedi yang cocok ditonton bersama dengan keluarga.
Judul dari film ini merupakan cara penulisan romanisasi dari nama tokoh utamanya, tapi sebenarnya penulisannya bukan Zoo, melainkan Joo. Tapi namanya romanisasi, tentu saja tidak harga mati. Bunyinya masih mirip-mirip lah ya Joo ataupun Zoo. Dalam ceritanya si mister ini akan punya kemampuan dengan banyak binatang, maka pemakaian kata Zoo sekalian menggambarkan kumpulan hewan yang banyak tampil di film ini.
Kalau mau cari tau apakah film berdurasi 113 menit ini cocok untuk tontonan keluarga Anda, silakan lanjutkan membaca sampai habis. Siapa tahu lagi tidak ada ide mau menonton apa di akhir pekan ini.
Bukan, ini bukan film tentang pandemi. Dalam tulisan ini saya mau review film “Radius” (2017), jadi bukan mau bahas pandemi Covid-19. Tapi harap maklum kalau dalam tulisan ini di sana sini akan ada beberapa hal yang dikaitkan dengan situasi saat ini.
Film produksi Kanada bergenre science-fiction thriller tahun 2017 ini dibintangi oleh Diego Klattenhoff, seorang aktor yang dikenal sebagai agen Ressler dalam TV Seri Amerika, “The Blacklist“. Film berdurasi 87 menit ini dari awal sampai akhir cukup menarik untuk disimak karena ada misteri yang membuat saya menonton sambil bertanya-tanya bagaimana kelanjutannya dan cara mereka menyelesaikan persoalannya.
Ceritanya
Ceritanya di mulai dengan tokoh pria yang baru tersadar dari kecelakaan mobil dan kehilangan ingatannya. Dalam keadaan masih setengah sadar, dia semakin bingung karena setiap ada orang atau hewan berada di dekatnya, semuanya langsung jatuh dan mati. Bukan cuma orang yang lewat, bahkan burung yang terbang juga kalau kurang dari jarak tertentu, bisa tiba-tiba jatuh ke tanah.