Manfaat NgeBlog

Saya masih ingat pertama kali teman saya mengenalkan blog ke saya, saya pikir: apaan itu blog, terus waktu dijelasin yang kepikiran malahan: lah ngapain nulis diary dibaca semua orang? Tapi ya, saya ikut-ikutan aja bikin blog gratisan di blogspot.

Awalnya untuk sekedar menuliskan apapun

Ternyata karena banyak temen yang juga ikut-ikutan ngeblog, rasanya ngeblog itu cukup fun, bisa punya bacaan kalau lagi bengong, atau nulis unek-unek tentang orang secara anonim tanpa peduli siapa yang baca.

Ya waktu awal ngeblog, kadang-kadang post saya cuma beberapa kalimat, yang kalau saya baca ulang lagi, sangkin anonimnya saya ga ngerti dulu itu kenapa saya nulis begitu. Kenapa anonim? karena saya tau kita gak boleh sembarangan menulis di internet. Apa yang kita tulis akan selalu ada arsipnya, dan bisa jadi boomerang kalau gak hati-hati.

Lanjutkan membaca “Manfaat NgeBlog”

Buku Baru: Seri Secret Coders

Masih cerita soal buku yang di beli di Big Bad Wolf Desember lalu. Jonathan gak sengaja memilih 1 buku Secret Coders. Sebenarnya beli buku ini awalnya tertarik karena judulnya saja, dan saya malah gak tau isinya berupa komik. Ceritanya mengenai seorang anak usia 12 tahun yang pindah sekolah dan menemukan beberapa misteri yang ternyata bisa dipecahkan dengan pemrograman. Buku ini sejenis pengenalan pemrograman juga buat Jonathan.

Buku yang kami beli di BBW itu hanya buku nomor 2. Waktu kami kembali ke BBW lagi untuk mencari nomor lainnya, kami gak berhasil menemukannya. Akhirnya karena Jonathan sudah baca buku ke-2 itu berkali-kali, kami memutuskan untuk memnbeli buku lainnya dari Amazon.

Lanjutkan membaca “Buku Baru: Seri Secret Coders”

Ralph Breaks the Internet

Sudah lama gak nonton ke bioskop, film ini release tahun 2018 tapi baru bisa nonton film ini sekarang di rumah. Ceritanya masih seputar persahabatan Ralph dan princess Vanellope. Untuk baca plotnya bisa liat di sini. Film ini merupakan sequel dari film Wreck-It Ralph. Tapi kalaupun belum nonton film pertamanya, kita bisa menonton film ini tanpa merasa ada yang kurang. Film pertama kesimpulannya terciptanya persahabatan antara Ralph tokoh permainan arcade Wreck-It Ralph dan Vanellope tokoh pembalap dari game arcade Sugar Rush. Cerita film ke-2 ini cukup menarik menjelaskan mengenai internet. Pertama digambarkan mereka menginstal WiFI di Arcade Center, dan disitulah asal mula Ralph dan Vanellope bisa menjelajahi dunia Internet.

poster Ralph Breaks the Internet, sumber dari internet

Penggambaran Internet yang cukup menarik adalah adanya Mr. KnowsMore untuk tempat bertanya banyak hal. Ada e-bay tempat orang-orang berbelanja dengan sistem lelang dan harus membayar dengan kartu kredit, ada TubeBuzz dimana orang-orang berusaha mendapatkan heart sebanyak-banyaknya dan bisa di monetize. Selain itu ada juga keliatan gedung-gedung dengan lambang Amazon, Google, Pinterest, dan Instagram.

Selain menggambarkan apa saja yang ada di internet, termasuk bagaimana sebuat video viral untuk sesaat dan kemudian digantikan oleh yang lain, ada juga penggambaran bagaimana agen-agen bekerja untuk mengundang orang lain mengklik video yang dipromosikan dengan harapan mendapatkan heart (atau like). Jumlah heart itu bisa dikonversi menjadi sejumlah uang yang bisa dipakai untuk membeli benda beneran. Misi Ralph dan Vanellope adalah membeli spare part untuk Gamenya Vanellope dari e-bay, dan untuk mendapatkan uang untuk membelinya mereka berusaha membuat video yang bisa menghasilkan uang.

Selain bagian menghasilkan uang dari konten video, di film ini juga digambarkan adanya virus yang bisa menginfeksi internet. Namanya virus, tentu saja membuat internet sempat kacau. Virusnya digambarkan karena adanya insecurities dari Ralph yang kemudian insecuritiesnya diduplikasi. Cara film ini menceritakannya tentu saja lebih menarik daripada apa yang saya tuliskan di sini, jadi jangan pikir film ini film teknikal ya, ini film anak-anak hehehe.

Bagian lain yang menarik dari film ini adalah ketika Ralph membaca komen-komen yang ada tentang videonya. Lalu ada yang bilang begini: Rule no 1 di Internet: jangan pernah baca bagian komen. Ya walaupun begitu banyak orang yang memberikan like, di internet akan selalu ada orang yang tidak suka dengan apa yang kita share dan memberi komentar yang negatif. Kalau saya sih menerapkan prinsip lebih baik gak komen daripada ngasih komentar negatif. Godaan untuk menuliskan hal-hal berupa kritik negatif sering ada sih, tapi kalau memang ada hal yang perlu dikritik, lebih baik menyampaikan langsung daripada komentar yang di set publik lalu mengundang orang lain menambah komentar negatif lainnya. Oops jadi curcol, oke balik lagi ke cerita film ya.

Satu hal yang bikin saya terhibur ketika melihat princess dari film-film Disney juga ada di film ini. Cinderella, Rapunzel, Mulan, Elsa, Anna, Snow White dan beberapa tokoh lain yang saya tidak kenal. Awalnya saya pikir putri-putri ini cuma sekedar supaya film ini menarik penonton yang udah menonton film-film Disney sebelumnya, tapi ternyata mereka cukup punya peranan. Lucu ketika melihat mereka berganti baju dengan kaos biasa dan tanpa gaun, lalu bilang ah kenapa baru tau sekarang mengenai baju begini yang sangat nyaman. Saya juga merasa lucu ketika mereka tidak percaya Vanellope seorang putri lalu memberikan beberapa pertanyaan untuk meyakinkan kalau dia putri.

Vanellope: Hi.
[The Princessess all assume attack postions, each with holding an item, specific to their character, as a weapon]
Vanellope: Woah, woah, ladies! I’m a…princess too!
Pocahontas: What kind of a princess are you?
Vanellope: Uh…
Rapunzel: Do you have magic hair?
Vanellope: No.
Elsa: Magic hands?
Vanellope: No.
Cinderella: Do animals talk to you?
Vanellope: No.
Snow White: Were you poisoned?
Vanellope: No.
Aurora, Tiana: Cursed?
Vanellope: No!
Rapunzel, Belle: Kidnapped or enslaved? 
Vanellope: No! Are you guys okay? Should I call the police?
Rapunzel: Do people assume all your problems got solved because a big strong man showed up?
Vanellope: Yes! What is up with that?
Pocahontas, Merida, Rapunzel, Elsa, Aurora, Moana: She is a princess!
[Snow White pokes her head in and sings a few happy notes]

percakapan Vanellope dengan putri-putri Disney

Selain percakapannya putri ini, ada banyak bagian lain yang cukup menarik. Tapi dari keseluruhan film ini yang paling saya suka adalah persahabatan antara Ralph dan Vanellope. Mereka tidak memaksakan bersahabat itu harus selalu bersama-sama, dan walaupun tidak berada di arcade yang sama, mereka tetap menjalin komunikasi dan bertukar cerita secara rutin. Saya jadi agak merenung, mengingat teman-teman yang dulu terasa sangat dekat tapi sekarang saya bahkan gak tahu kabarnya karena walaupun mereka punya akses ke Internet, tapi saya merasa setelah gak ngobrol sekian lama jadi gak tau juga mau mulai bertanya dari mana. Kalau saya nanya kebanyakan ntar saya disangka interogasi lagi hehehe.

Anyway, film ini hiburan menarik untuk mengisi akhir pekan di tonton dengan anak-anak. Kalau anaknya sudah agak besar, setelah nonton bisa dilanjutkan pelajaran pengenalan internet dan bagaimana supaya tetap aman di Internet hehehe.

Males Nerima Telepon

Dulu, jaman nelepon itu harus ke wartel atau pake koin di telepon umum, sering banget rasanya pengen aja gitu iseng nelpon-nelpon. Waktu jaman internet belum ada dalam genggaman, pengen aja gitu rasanya cek e-mail atau sekedar chatting di warnet 30 menit pun jadi. Dulu, jaman video call itu masih harus pake skype, rasanya perlu banget ngajarin ortu buat nyalain skype di komputer rumah dan beli webcam segala. Tapi sekarang, setelah semua tersedia dalam telepon genggam dengan akses internet unlimited 24 jam, rasa pengen itu udah berkurang gak kayak dulu lagi.

Sekarang ini, hampir semua orang sudah bisa mengakses internet dan mengajari mereka video call jauh lebih mudah. Oppung dan Eyang juga udah pada jagoan pake video call dari telepon genggamnya. Terus apakah jadi nelepon orangtua setiap hari? ya nggak juga sih, tapi ya paling tidak jadi lebih mudah sekali seminggu bisa bertatap muka dengan Eyang atau Oppung. Sekedar update singkat. Kalau gak sempat video call, ya minimal bisa kirim pesan singkat via WhatsApp atau aplikasi messenger lainnya, dan sesekali sambil kirim foto atau video anak-anak.

Komunikasi dengan keluarga besar sih ya seperti biasa ya, kalau telepon tiap hari juga ya mau ngobrolin apa. Paling sekarang ini kebanyakan keluarga itu ada group chat nya. Biasanya sesekali akan ada berita-berita keluarga dan gak tiap hari juga selalu ramai. Saya tidak bergabung dengan group keluarga yang terlalu besar, saya cuma gabung di grup keluarga kakak beradik dan orangtua saja.

Cerita awalnya kepanjangan ya dan belum nyambung sama judul. Saya cuma mau cerita, sejak gampangnya terhubung dengan banyak komunitas, saya cenderung tidak suka nerima telepon, apalagi misalnya bukan dari orang yang saya benar-benar kenal. Saya lebih suka obrolan itu tertulis. Alasannya sih biar bisa sambil mengerjakan hal lain (misalnya sambil ajak main atau ngajarin anak belajar). Alasan lainnya ya, kalau di telepon itu bisa lupa point-point percakapannya dan gak bisa sambil mencari informasi yang dibutuhkan. Kalau misalnya chat kan bisa sambil mencari informasi di google dan kemudian membagikan informasi yang ditemukan. Selain itu kalau chat itu gak harus di jawab langsung. Kadang-kadang sebagai ibu, saya harus sambil antar jemput anak, atau nungguin anak di tempat kursus. Rasanya gak enak aja gitu teleponan di mana ada banyak orang juga lagi pada diam-diaman hehehe.

Nah, waktu saya cerita ke Joe, kenapa ya saya kok sekarang malas terima telepon apalagi kalau gak kenal. Eh Joe bilang ya wajarlah, untuk hal-hal yang gak urgent, mendiskusikan sesuatu itu lebih baik dengan tulisan, baik e-mail ataupun chat. Setidaknya jadi ada arsip percakapannya dan bisa dibaca kembali untuk menyimpulkan point-point yang dibutuhkan. Malah kata Joe, kadang-kadang malah kalau menyangkut komunitas, lebih baik dilakukan secara tertulis di group baik itu group mail ataupun group chat, jadi ya semua anggota bisa baca dan gak harus di update satu persatu.

Saya tahu, untuk beberapa urusan, misalnya membatalkan janji karena ada urusan lain yang lebih penting secara mendadak, pastinya harus nelepon daripada kita kirim e-mail atau chat yang kemudian ternyata orangnya gak baca dan menunggu-nunggu kita tanpa kabar. Tapi jangan salah, saya masih suka juga sesekali menelpon teman yang sudah lama gak berkabar untuk janjian ketemuan misalnya. Walaupun misalnya janji ketemuannya besok, ngobrol di teleponnya bisa agak lama juga walau gak urgent hehehe. Kalau kamu bagaimana? lebih suka selalu nelepon saja atau pake tulisan chat/e-mail untuk komunikasi di komunitas?

Serba Serbi Belajar Bahasa Thai

Waktu pertama kali tahu akan pindah ke Chiang Mai, saya dan Joe mulai mencari tahu mengenai bahasa Thai. Joe sih yang lebih banyak mencari info dan memberi tahu saya fakta-fakta soal bahasa Thai. Waktu itu saya sih cuma jawab ooo gitu ya doang, karena ga kebayang dan mikirnya ah nanti juga bisalah hehehe. Joe membeli beberapa e-book dan podcast untuk pengenalan bahasa Thai. Sekarang ini udah lupa nama e-book dan podcastnya. Terus dapat buku belajar bahasa Thai titipan dari sepupu terbaik yang waktu itu masih tinggal di Singapura. Katanya sih dia nitip sama temennya yang orang Thai, dibeliin buku Thai for Beginners Benjawan Poomsan Becker, yang waktu itu masih pake cd audio. Buku ini banyak banget menambah vocabulary di awal belajar bahasa Thai.

Walaupun ada waktu beberapa bulan untuk belajar bahasa Thai sebelum berangkat ke Chiang Mai, tapi entah kenapa waktu itu saya gak merasa bersemangat untuk belajar. Baru buka beberapa halaman sambil dengar cd audionya udah berasa kewalahan duluan dan merasa aduh ini tulisan apaan sih kayak cacing semua, terus pas dengar audionya bilang bunyi kata “ma” aja bisa 5 jenis naik turun dan beda arti semua, saya langsung mikir aduh susah bener sih, perasaan kedengarannya sama saja. Terus kami mencoba mencari DVD film Thai, dan ketemunya beberapa film horror dan berasa serem duluan hahaha.

Mungkin waktu itu karena belum bener-bener butuh, saya jadinya ga serius berusaha belajar baca bahasa Thai. Tapi setelah sampai di Chiang Mai, ya mau gak mau harus mulai belajar. Dan ternyata, gak sesusah yang saya bayangkan sebelumnya. Belajar bahasa itu tergantung masing-masing orang gimana model belajarnya. Sepertinya saya buka tipe yang bisa belajar sendiri dengan buku, saya memutuskan ikut kelas percakapan seminggu 3 kali, masing-masing selama 2 jam.

Ternyata keputusan belajar sekali 3 minggu ini ideal buat saya. Dengan adanya jeda hari kosong, saya punya waktu untuk mengingat setiap kosa kata baru yang saya pelajari. Setting kelas dengan isi sekitar 10 orang juga membantu saya mereview kosa kata yang dipelajari hari itu. Oh ya, biasanya kelas percakapan bahasa Thai itu menggunakan transliterasi, jadi saya tidak langsung belajar huruf-huruf cacing yang jumlahnya banyak itu.

Pelajaran pertama yang paling kepakai itu pelajaran angka, selain mengucapkan salam. Pelajaran angka ini berguna waktu belanja ke pasar ataupun belanja oleh-oleh. Kata-kata untuk menawar harga juga penting hehehe. Setelah ikut kursus, saya mulai menguasai perbedaan nada naik turunnya dan mulai bisa membedakan kata-kata yang saya dengarkan.

Setelah beberapa bulan les di tempat yang 3 x seminggu itu, saya mulai merasa butuh percepatan alias gak sabaran untuk belajar lebih banyak lagi. Akhirnya saya pindah kursus Senin – Jumat setiap pagi 2 jam. Dalam waktu sekitar 3 bulan saya selesai kelas conversation. Ada banyak kosa kata yang saya pelajari, tapi banyak juga yang hilang karena gak dipakai. Oh ya waktu itu saya masih kerja part time di kantor Joe, seharusnya ada kesempatan berlatih ngobrol, tapi karena di kantor pakainya bahasa Inggris, ya akhirnya malah gak banyak latihan ngobrol juga.

Setelah selesai kelas percakapan, entah kenapa saya gak kepikiran untuk segera belajar baca tulis. Mungkin karena waktu itu udah berasa cukup, plus karena merasa ah nanti belajar sendiri saja. Tapi lagi-lagi gagal belajar sendiri karena gak sediakan waktu setiap harinya. Akhirnya saya ikut kelas lagi untuk membaca/tulis. Nah kesalahan saya setiap kali belajar baca ini adalah, saya merasa kewalahan duluan sebelum mencoba membacanya pelan-pelan, dan akhirnya menyerah. Di kelas saya selalu bisa mengikuti apa yang dijelaskan, tapi karena gak pernah latihan, ya akhirnya sampai sekarang membacanya masih super lambat dan jalan di tempat.

Waktu Jonathan mulai ikut kelas KUMON bahasa Thai, saya berniat untuk ikutan mengerjakan tugasnya, tapi karena waktu itu merasa terlalu mudah, saya malah gak ikutan ngerjain hehee. Sekarang ini Jonathan masih ikut kelas KUMON dan setiap harinya dia membaca cerita-cerita pendek dari tugas kumonnya. Saya kadang-kadang masih membacanya, tapi lebih sering tidak.

Sekarang ini, setelah 12 tahun tinggal di Chiang mai, saya merasa cukup bisa berkomunikasi dengan orang lokal, asal topiknya bukan topik politik. Saya bisa mengerti kalau ada pembicaraan mengenai pendidikan anak. Saya bisa ngobrol dengan banyak orang Thai ketika belanja ataupun anter jemput Jonathan dengan kegiatan ekstra kurikulernya. Saya bisa membaca tapi masih tidak sesuai harapan. Saya bisa menuliskan semua huruf Thai, tapi saya belum bisa mengeja banyak kata dalam bahasa Thai. Mengeja kata dalam bahasa Thai ini agak rumit, karena untuk bunyi huruf K saja bisa beberapa pilihan huruf. Kalau menurut orang lokal, untuk mengingat ejaan kata-kata tersebut satu-satunya cara ya semua itu harus dihapalkan *gedubrag*.

Oh ya, sekarang ini saya suka menggunakan voice typing di HP untuk mencoba menuliskan kata-kata dalam bahasa Thai juga. Sejauh ini saya cek ke kamus, asalkan pengucapannya benar, hasil voice typingnya juga cukup akurat. Saya juga cukup bisa membaca percakapan di Line Grup Homeschooling Chiang Mai sini. Saya juga mencoba membaca status FB teman-teman Thai saya. Tapi sampai sekarang saya belum terlalu percaya diri untuk menulis status FB dalam bahasa Thai hehehe.

Belajar bahasa ini proses yang panjang. Setiap tahun saya menargetkan untuk bisa lebih lancar lagi membaca bahasa Thai, tapi kalau memang tidak sediakan waktu ya akhirnya masih jalan di tempat. Sepertinya saya harus membuat challenge ke diri sendiri untuk lebih lancar lagi membacanya.

Kalau ada yang punya tips bagaimana cara belajar bahasa yang kalian lakukan, silakan tulis di komen ya.

Applikasi untuk Mengenal Huruf Thai

Tulisan ini masih ada sambungannya dengan tulisan-tulisan sebelumnya. Nah kalau misalnya mantap nih mau jalan-jalan atau tinggal di Chiang mai, hal berikut yang perlu diketahui adalah bahasa Thai itu berbeda dengan bahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris. Tulisannya bukan dengan alphabet a-z seperti yang kita kenal dan satu hal lagi yang sangat perlu diperhatikan, bahasa Thai itu bahasa yang tonal. Jadi kalau kita mengucapkan sesuatu, nada naik turun suara kita bisa membuat kata yang transliterasinya sama berbeda makna.

Nah supaya familiar dengan huruf-huruf Thai, kalau ada yang mau mengenal 44 konsonan, 32 vokal, tone marks dan angka dalam tulisan Thai, bisa coba donlot aplikasi KengThai. Aplikasi ini ada versi lite yang bisa dipakai secara gratis dan cukuplah kalau mau pengenalan tahap awal. Kalau misalnya punya anak kecil, nah aplikasi ini juga cocok buat anak kecil belajar tracing huruf Thai hehehe. Aplikasi ini tersedia di AppStore untuk iOS maupun GooglePlay untuk Android.

Ada banyak aplikasi untuk belajar bahasa Thai, tapi saya suka dengan aplikasi ini untuk mengenalkan hurufnya dulu. Aplikasi ini juga mengenalkan cara menulis huruf Thai. Berbeda dengan menuliskan alphabet latin, menuliskan huruf Thai ada aturannya, bukan sekedar asal terlihat sama bentuknya. Setiap huruf Thai juga ada namanya dan bunyinya. Kalau sudah bisa mengingat sebagian besar informasi dari game ini, tahap berikutnya baru deh mencoba aplikasi untuk belajar bahasa Thai.

Dulu, waktu saya di awal belajar bahasa Thai, aplikasi ini belum ada. Saya kursus bahasa Thai untuk percakapan saja dan tidak langsung belajar membaca dan menulis bahasa Thai. Kalau saya mengulang dari awal, rasanya saya akan memilih untuk belajar membaca dan menulis langsung sambil belajar percakapannya. Sekarang ini setelah nyaman bisa berbahasa Thai, ada kemalasan tersendiri untuk memaksakan diri membaca dan menulis bahasa Thai, apalagi karena tidak ada kebutuhan.

Joshua dan Jonathan belajar menulis huruf Thai menggunakan applikasi ini, selain juga dengan bantuan poster di rumah dan buku-buku yang bisa di trace yang bisa di beli dengan murah. Dibandingkan aplikasi lain, aplikasi ini antar mukanya lebih besar dan lebih gampang untuk tracingnya. Gambarnya juga cukup menarik dan suaranya cukup jelas untuk ditirukan. Sekarang ini, Joshua sudah bisa mengingat keseluruhan 44 konsonan Thai, tapi karena dia masih belum mengerti konsep menggabungkan konsonan dan vokal, dia belum bisa diajarkan untuk membaca bahasa Thai yang menggabungkan konsonan dan vokalnya.

Setelah belajar mengenal huruf, tahap berikutnya adalah mengenal kata-kata dalam bahasa Thai. Nah untuk ini akan saya tuliskan di posting terpisah. Belajar bahasa itu tidak cukup dengan 1 app atau 1 buku saja. Kunci dari belajar bahasa adalah kita harus menggunakan bahasa itu. Contohnya, walaupun bertahun-tahun sudah bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris, tapi untuk menulis dalam bahasa Inggris, grammar saya masih sering kacau. Untuk bahasa Thai juga vocabulary yang tidak dipakai banyak yang saya lupa walaupun pernah belajar.

Oh ya, kalau ada yang punya rekomendasi app atau buku untuk belajar bahasa Thai, silakan tulis di komen ya.

Miskonsepsi Seputar Chiang Mai

Selama beberapa tahun tinggal di Chiang Mai, kadang-kadang ada teman yang bertanya tentang Chiang Mai. Tapi kadang-kadang pertanyaanya salah karena sepertinya pertanyaan itu muncul karena generalisasi yang mereka dengar atau ya memang begitulah biasanya digambarkan mengenai Thailand. Di sini saya mau mencoba menuliskan beberapa hal yang sering disalahpahami tentang Chiang Mai, Thailand.

Diajak Ketemuan di Bangkok

Sebelum saya tinggal di sini, saya termasuk yang kurang mendengar tentang kota ini, padahal kota ini pernah jadi tuan rumah penyelenggaraan SEA Games tahun 1995. Kota ini merupakan kota terbesar di utara Thailand dan jaraknya sekitar 700 km di utara Bangkok ibukota Thailand.

Chiang Mai itu masih jauh dari Bangkok, naik pesawat 1 jam, naik mobil 9 jam, naik kereta api lebih lama lagi. Kota ini gak jauh dari Cina Daratan (sekitar 700 km ke utara Thailand), bahkan beberapa tahun belakangan ini banyak sekali turis dari Cina daratan berdatangan ke Chiang Mai sejak adanya film Cina yang shootingnya di Chiang Mai : Lost in Thailand. Beberapa turis itu bahkan memilih untuk tinggal menetap di Chiang Mai untuk berbagai alasan.

Walau bukan ibukota negara, sekarang ini ada banyak penerbangan langsung dari berbagai negara ke kota ini, sayangnya belum ada yang langsung dari Indonesia. Penerbangan ke Kuala Lumpur, Penang, Singapore, Hongkong, Shenzen, Macau, Hanoi, Yangon, Taipei, Seoul, Kunming, Beijing, Guangzhao, Doha, Xi An setau saya ada setiap harinya (bahkan ada yang lebih dari 1 x).

Dengan banyaknya penerbangan langsung ke Chiang Mai, biaya hidup yang lebih murah dibandingkan Bangkok, dan juga keindahan alamnya, kota ini jadi tujuan banyak orang baik untuk wisata ataupun untuk tinggal.

Banyak Godaannya

Pernah juga ada teman bertanya begini: “Kamu gak kuatir tinggal di sana, katanya wanita-wanitanya agressif, nanti kalau suami kamu digoda orang lokal gimana?” Waktu saya ditanya begitu, saya gak pernah kepikiran atau melihat ada wanita lokal yang seperti dikhawatirkan teman saya. Saya tahu tujuan orang beda-beda datang ke Chiang Mai, ada yang memang datang untuk melihat kehidupan malamnya, nah karena kami bukan orang yang berkunjung ke tempat hiburan malam, saya gak bisa kasih komentar banyak.

Tapi semua itu menurut saya sih tergantung orangnya yang datang, kalau memang hobi ke tempat hiburan malam, nggak hanya di Chiang Mai, di Indonesia juga saya yakin banyak wanita agressif. Kalau di tempat umum, manalah ada wanita yang tiba-tiba godain cowok-cowok. Mereka bahkan udah biasa dengan kehadiran orang asing di sini.

Banyak Ladyboy dan Tomboy

Pertanyaan lain yang juga gak pernah saya pikirkan akan ditanyakan adalah: “Pernah lihat wanita tapi bukan wanita gak? terus kamu gimana ngelihatnya?” Kenapa saya bilang gak kepikiran ada yang bertanya begini adalah, karena di sini lady boy dan tomboy itu ya biasa aja seperti laki-laki dan perempuan.

Mereka bisa bekerja di minimarket ataupun menjadi penari di tempat wisata. Tapi mereka bukan orang jahat, bukan orang yang harus di cela-cela dan bukan orang yang harus dipandang sebelah mata. Mereka juga bukan orang sakit menular yang harus dihindari.

Waktu pertama kali melihat, saya memang agak takjub, kok bisa ya wanita secantik itu ternyata bukan wanita, pastinya mereka melakukan usaha untuk bisa tampil seperti itu, tapi ya lama-lama biasa melihatnya. Jumlah ladyboy dan tomboy gak sebanyak itu juga sih di Chiang Mai sini.

Pedesaan Sepi

Ada lagi nih salah satu teman saya bertanya begini: “Chiang Mai itu pedesaan ya? katanya masih banyak sawah dan ladang kayak di pelosok Indonesia?” Nah mungkin di bandingkan kota Bangkok atau Jakarta, kota Chiang Mai ini emang kota kecil, tapi ya gak pedesaan banget.

Banyak fasilitas yang tersedia seperti halnya di kota besar, mall aja sekarang ada 3, tapi memang daerah sekitar Chiang Mai masih banyak hutan dan masih alami, jadi bisa juga kalau mau melihat alam pedesaan datang ke Chiang Mai. Menyetir sektiar 1 atau 2 jam, tahu-tahu kita sudah ada di kaki gunung yang penduduk sekitarnya hidup dari bercocok tanam.

Salah satu daya tarik Chiang Mai itu justru karena fasilitas lengkap seperti kota besar, tapi kalau mau refreshing ke alam terbuka gak perlu jauh-jauh.

Menjadi Digital Nomad

Di kota ini ada banyak digital nomad, ada banyak orang yang bekerja remote atau commuting dari Chiang Mai. Tapi ya untuk tinggal di sini, tetap harus mengurus visa masing-masing.

Ada yang bertanya ke kami begini: “Saya tertarik tinggal di Chiang Mai, gimana caranya?” ya caranya:

  • Kalau punya kemampuan, carilah pekerjaan di sini untuk dapat visa kerja.
  • Kalau punya duit untuk buka bisnis, bisa juga cari tau gimana caranya membuka bisnis di Thailand.
  • Kalau punya anak usia sekolah dan punya penghasilan tetap tanpa bekerja, ya anaknya bisa disekolahkan supaya bisa dapat guardian visa.
  • Bisa juga mencari tau menjadi volunteer untuk mendapat visa volunteer.
  • Beberapa yang banyak dilakukan juga adalah mengambil kelas belajar bahasa Thai selama setahun di tempat yang juga menawarkan visa Edukasi.

Kalau ada pertanyaan lain seputar Chiang Mai, silakan tinggalkan komentar atau kirim pesan ke halaman Facebook kami ya.