Tanggal 4 Mei 2007, kami tiba di Chiang Mai untuk pertama kali. Awalnya, tidak terbayang akan tinggal sampai selama ini di kota ini. Sebelum tinggal di Chiang Mai, saya tinggal di Bandung selama 12 tahun. Jadi, sekarang saya bisa bilang kalau saya sudah lebih lama tinggal di Chiang Mai daripada di Bandung.
Di tulisan tahun lalu, ada yang bertanya dan belum saya jawab tentang bagaimana awalnya kami pindah ke Chiang Mai. Saya cari lagi, sepertinya saya belum pernah menuliskan kisah awal kami ke sini. Jadi, di tulisan ini akan sekalian saya tuliskan, supaya jadi catatan untuk kami juga di kemudian hari.
Sekitar dua hari yang lalu, saya mendapatkan e-mail yang mengingatkan kalau saya sudah setahun memakai aplikasi Duolingo untuk belajar bahasa Korea. Sebelum memakai ini, saya sudah mencoba juga memakai Memrise yang pernah saya tuliskan di sini. Saya jadi ingat kalau saya belum pernah menuliskan tentang aplikasi Duolingo di blog.
Walaupun aplikasi Duolingo dan Memrise sama-sama saya pakai untuk belajar bahasa Korea dan metodenya mirip, saya akhirnya meninggalkan Memrise tapi tetap meneruskan Duolingo. Beberapa alasannya karena: Memrise materinya semakin lama semakin berat dan tidak banyak petunjuk, Duolingo terasa lebih fun dan ringan karena ada banyak petunjuknya dan saya bisa mengerjakan lebih sebentar.
Hari ini, saya mengikuti kelas self-editing dengan teman-teman dari group KLIP. Belajarnya via aplikasi Zoom. Pengajarnya sepupu saya, Rijo Tobing, yang berhasil saya ajak masuk grup KLIP tahun 2020 ini. Inti dari pelajaran hari ini tentu saja kembali ke tata bahasa dalam bahasa Indonesia alias PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia).
Dari dulu, pelajaran bahasa Indonesia itu sering dianggap enteng. Banyak yang berpikir hanya karena kita bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia, kita langsung jadi ahli bahasa Indonesia. Padahal dalam semua bahasa, belajar lisan dan tulisan tidak selalu sama. Ada banyak hal yang perlu diperhatikan dalam penulisan supaya pembaca tidak jadi salah mengerti ketika membaca tulisan kita.
Walaupun sudah banyak menulis di blog, saya sering tidak sabar untuk memeriksa kembali tata cara penulisan saya. Pembelaan diri saya, “Ah ini kan bukan tugas Bahasa Indonesia.” Padahal, alasan sebenarnya karena saya terlalu malas untuk membiasakan diri untuk belajar PUEBI lagi.
Saya tidak akan menuliskan apa saja hal-hal yang saya pelajari hari ini, karena semuanya ada banyak di buku-buku PUEBI yang tersedia online maupun offline.
Beberapa bulan lalu, di grup KLIP juga pernah ada belajar tentang PUEBI ini dalam sebuah kulwap (kuliah WhatsApp). Waktu itu, memang belum jamannya belajar sambil tatap muka pakai Zoom seperti sekarang. Waktu saya membaca materinya serasa membaca buku saku PUEBI. Saya menyerah sebelum mencoba.
Berbeda dengan kulwap sebelumnya, karena kelas menggunakan Zoom, selain mendengar saya bisa melihat presentasi dan contoh. Saya bisa berinteraksi juga untuk menanyakan langsung kalau ada pertanyaan. Belajar dua arah begini kelebihannya bikin beberapa hal langsung terekam di kepala. Hasilnya, saya jadi ingin belajar PUEBI lagi.
Belajar itu berbeda dari sekedar tahu. Setelah tahu apa saja aturan PUEBI, tentunya saya harus berlatih untuk mengaplikasikan aturan yang ada ketika menulis. Berlatih terus menerus sampai akhirnya menjadi keahlian.
Setelah pelajaran hari ini, saya merasa waktunya bergeser dari zona kemalasan. Setiap hari menulis berarti setiap hari ada kesempatan berlatih memperbaiki tulisan mengikuti PUEBI. Kalau merasa kurang banyak bahan latihan, selalu bisa memperbaiki tulisan yang lalu-lalu.
Belajar itu harus pakai niat. Dulu, rasanya mustahil buat saya bisa menulis setiap hari. Ternyata, tahun 2020 ini saya bisa menulis hampir setiap hari. Jadi, mudah-mudahan niat saya untuk belajar PUEBI lagi ini bisa tetap saya ingat untuk lakukan.
Buat saya, menulis sambil memeriksa aturan tata bahasa itu sering membuat ide tulisan keburu hilang. Yang terpikir saat ini, saya akan tetap menulis saja dulu seperti biasa, lalu membaca ulang sambil memperbaiki tata bahasa.
Mulai hari ini, saya akan mencoba mengingat satu hal dari aturan tata bahasa dan menerapkannya ketika memperbaiki tulisan. Kemudian akan menambahkan satu aturan baru setiap harinya, atau setiap beberapa hari. Mudah-mudahan, di akhir tahun 2020 ini, saya bisa mengingat dan menggunakan semuanya.
Belajar PUEBI lagi ini baik buat saya. Selain supaya tulisan-tulisan berikutnya semakin enak untuk dibaca, juga untuk persiapan mengajarkan ke anak-anak. Setidaknya ketika diperlukan mengajarkannya ke anak-anak, saya tidak perlu gagap lagi sambil berkali-kali buka contekan. Untungnya, sekarang ini anak-anak masih belum fasih membaca bahasa Indonesia. Jadi, saya punya waktu untuk belajar duluan.
Tidak ada manusia yang hidup selamanya, semua orang ada batas umurnya. Di awal pandemi, saya pernah berkata kepada suami semoga keluarga kami yang jauh di Indonesia semua baik-baik saja, karena kami tidak mungkin bisa pulang dengan kondisi penerbangan di masa pandemi ini.
Orangtua kami memang sudah cukup tua, dan mempunyai beberapa keluhan kesehatan sejak beberapa tahun terakhir. Tapi selain berdoa mereka tidak kena infeksi covid-19, juga berharap mereka sehat-sehat saja dan berumur panjang supaya bisa beretemu lagi. Saya rasa setiap orang pasti berharap hal yang sama.
Manusia hanya bisa berdoa dan berharap tapi umur di tangan Tuhan. Kami sungguh tidak menduga kalau ibu mertua saya yang kami panggil Emak dipanggil Tuhan di masa pandemi ini. Rasanya? jangan ditanya, saya tidak bisa mendeksripsikannya dengan kata-kata.
Namanya duka itu sama apapun penyebabnya, rasanya sedih luar biasa. Walaupun kita tahu tidak ada manusia yang bisa hidup selamanya, kita tidak akan pernah siap kehilangan orang yang kita sayangi. Sebagai orang yang percaya Tuhan, kita harus menerima dan mengikhlaskan. Saya percaya dukacita itu datang tidak sendirian. Akan ada pelangi sehabis hujan.
Saya belajar, rasa duka itu jangan disimpan sendiri tapi dibagikan supaya tidak jadi penyakit. Saya sungguh merasakan tangan Tuhan bekerja menghiburkan kami yang jauh di negeri orang ini. Kami mendapatkan ucapan turut berduka dan doa-doa yang luar biasa dari banyak sekali kerabat dan teman-teman di media sosial dan jalur pribadi ke kami.
Banyak ucapan dari teman-teman yang selama ini sudah lama sekali tidak pernah berinteraksi dan saya pikir sudah tidak aktif lagi di media sosialnya. Sungguh saya berterimakaih untuk semua ucapan yang sudah menguatkan kami.
Saya belum bisa membalas semua ucapan duka sekarang ini. Rasanya untuk menuliskan ini saja, saya memaksakan diri supaya saya tidak larut dengan pikiran sendiri. Saya bersyukur kalau ternyata di masa pandemi ini, masih banyak yang perduli dengan kami.
Dengan bantuan teknologi internet, kami bisa melihat wajah Emak untuk terakhir kali. Kami bisa melihat ibadah kebaktian pelepasan, penutupan peti sampai diantar ke peristirahatannya yang terakhir. Kami berterimakasih dengan semangat gotong royong yang ada,masih ada beberapa orang yang bisa hadir walaupun di masa pandemi.
Masa pandemi memang bukan masa yang normal. Normalnya, mungkin yang hadir akan lebih banyak lagi, tapi ada yang bisa membantu semua sampai dimakamkan saja rasanya sudah luar biasa. Saya juga tidak berharap melihat ada kerumuman orang yang banyak, karena saya juga tidak ingin melihat kedukaan kami membawa kedukaan berikutnya buat orang lain kalau misalnya salah satu yang datang orang tanpa gejala.
Ada satu hal yang selalu jadi pertanyaan kalau ada yang meninggal saat ini. Biasanya akan ada yang bertanya-tanya: jangan-jangan covid-19? Memang ada banyak berita di mana seseorang yang meninggal karena didiagnosa penyakit biasa, belakangan diketahui positif covid-19 atau masuk kategori PDP. Nah untuk hal ini, maka saya merasa lega kalau Emak bisa dimakamkan secepatnya dan kami tetap bisa melihatnya untuk terakhir kali.
Kemarin, ada seorang saudara juga bertanya ke saya, apa penyebab kematian Emak? yang saya tahu Emak memang sudah lama punya penyakit diabetes dan komplikasi ke jantung setahun terakhir ini. Beberapa hari terakhir juga tidak ada keluhan seperti orang yang sakit covid-19 dan kesehatannya selalu dipantau oleh dokter pribadi alias adik ipar saya.
Kepergian Emak kemarin memang sangat mendadak, sore harinya masih sempat main dengan cucu-cucunya. Malam harinya masih sempat minta dibikinkan teh hangat ke bapak, dan teh baru jadi, Emak sudah terbaring pergi begitu saja. Jadi ya, saya hanya bisa menjawab semoga saja bukan covid-19, karena kalau iya, saya tidak bisa bayangkan keluarga kami yang lain akan terkena juga.
Bertanya untuk menunjukkan perhatian dengan rasa ingin tahu itu beda tipis. Tapi sebagai yang berduka, saya juga mengerti kenapa ada pertanyaan tersebut. Sebagai yang berduka, kita juga harus menerima kalau yang datang tidak sebanyak masa normal.
Hari ini saya mendapat berita duka lain dari Medan. Salah seorang kerabat dari papa saya meninggal pasca operasi. Mama saya jadi dilema pergi atau tidak untuk menyampaikan rasa dukacitanya. Sebagai orang batak, pemakaman orangtua di atas umur 60 tahun biasanya bisa berhari-hari dan seperti pesta besar saja, tapi tidak di masa pandemi ini.
Mama saya sudah masuk dalam lanjut usia, sudah 74 tahun, jadi termasuk beresiko tinggi terhadap covid-19. Saya tegaskan ke mama saya, mungkin kerabat yang meninggal memang bukan karena covid, tapi lingkungan rumah sakit dan bertemu dengan banyak orang dari berbagai area, itu yang berbahaya. Akhirnya mama saya menelpon saja untuk menyampaikan rasa dukanya.
Pengalaman berduka di masa pandemi ini mengajarkan saya 3 hal:
Hal pertama: sampaikan dukacita tanpa bertanya-tanya penyebabnya, apalagi dengan nada menuduh jangan-jangan covid-19. Karena belum tentu semua orang menerima dengan baik maksud pertanyaannya dan malah bisa membuat yang berduka jadi tambah kesal.
Hal kedua: jangan memaksakan diri untuk datang ke acara duka, apalagi jika kita termasuk golongan beresiko tinggi atau bukan keluarga langsung. Karena walaupun mungkin yang meninggal bukan karena covid-19, selalu ada resiko bertemu orang tanpa gejala di keramaian. Utamakan keselamatan diri sendiri terlebih dahulu
Hal ketiga: internet bukan lagi sekedar dunia maya dengan anonimity dan nama palsu. Internet sudah menjadi perluasan dunia kita yang sebenaranya. Semua komentar duka yang disampaikan di sosial media ataupun jalur pribadi, sama tulusnya dengan ucapan langsung. Bahkan emoji yang ada juga sudah merupakan reaksi dari lingkungan sosial kita.
Masa pandemi ini, bisa dibilang sebagai masa kegelapan. Ada kesedihan di mana-mana. Kesedihan karena kehilangan orang yang kita sayangi ataupun karena kehilangan pekerjaan atau hal-hal lainnya. Semoga pandemi segera berlalu, dan kita bisa berduka ataupun berbagi tawa dengan lebih normal seperti dulu.
Walaupun belum tahu kapan pandemi ini berakhir, saya ingin berangan-angan. Melihat cara-cara manusia beradaptasi terhadap situasi khusus di masa pandemi, saya berharap beberapa hal bisa tetap dilakukan pasca pandemi. Namanya juga harapan, belum tentu terwujud, tapi ya namanya juga angan-angan.
Pernikahan Tanpa Resepsi Mewah
Esensi pernikahan itu untuk mengikat janji sehidup semati menjadi suami istri. Sebelum pandemi, ada banyak sekali saya membaca pengantin baru yang harus menanggung beban membayar hutang pesta pernikahan yang hanya sehari itu.
Resepsi pernikahan berupa pesta mewah yang menghabiskan biaya banyak itu tidak ada gunanya. Mungkin banyak yang tidak setuju dan berpendapat kalau pesta itu untuk berbagi kebahagiaan. Tapi apa iya berbagi kebahagiaan kalau akhirnya harus menghabiskan dana yang tidak sedikit dari kerabat yang memaksakan diri datang, terutama dari luar kota, atau bahkan dari luar negeri? Ongkos pesawatnya kalau dijadikan amplop hadiah pengantin rasanya bakal bikin pengantin merasa wow, bisa buat nambah bayar uang muka beli rumah.
Dari pihak pengantin, mengeluarkan biaya tidak sedikit juga. Mulai dari sewa gedung, sewa fotografer, bayar katering makanan, bayar pemusik untuk hiburan, bayar seragam kalau misalnya ada keluarga yang menuntut seragam. Belum lagi untuk baju pengantin yang hanya akan dipakai sekali lalu disimpan dalam lemari.
Setelah beberapa lama menanti turunnya hujan badai, akhirnya hujan dan angin turun hari Sabtu dan Minggu kemarin di Chiang Mai. Pagi ini seluruh indikator polusi menjadi hijau dan tidak ditemukan adanya titik api lagi di utara Thailand. Kabar baik lainnya, hujan yang datang membuat sungai yang kering kembali mengalir dan persediaan kota mulai terisi lagi.
Semoga saja, hari ini merupakan hari pertama di tahun 2020 di mana Chiang Mai bebas polusi. Prediksi hujan yang masih akan turun sepanjang minggu ini, diharapkan benar-benar membuat udara Chiang Mai bersih. Semoga saja tidak ada lagi titik api baru karena semua masih terlalu basah untuk terbakar ataupun dibakar.
Kalau pepatah bilang panas setahun dihapus hujan sehari. Situasi di Chiang Mai dan utara Thailand ini, polusi berbulan-bulan butuh hujan paling tidak seminggu dan tentunya dengan angin kencang kiriman badai musim panas dari Cina.
Belakangan ini mulai bosan dengan drama korea. Sebenarnya banyak yang lagi hits dan jadi pembicaraan, dan direkomendasikan. Mau yang sudah selesai atau yang masih tayang setiap minggunya, ada banyak yang katanya bagus-bagus, seru dan menguras emosi.
Drama korea dengan cerita zombie atau cerita selingkuh, cerita setengah robot atau cerita pengacara yang penuh intrik atau cerita cinta pertama yang kenal dari masih kecil, sebagian besar ada di Netflix. Tapi rasanya dengan anak-anak di rumah saja, kurang baik kalau mereka ikut menonton film-film tersebut.
Beberapa hari lalu saya mulai terpikir untuk menonton film Indonesia saja di Netflix. Salah satu yang membuat saya mulai mencari film Indonesia lagi karena seorang teman yang di Bangkok membagikan kalau film Bumi dan Manusia sudah masuk Netflix Thailand. Nah gara-gara mencari film itu, malah menemukan beberapa film lain yang sepertinya lebih cocok untuk ditonton dengan anak-anak.
Saya memang sudah lama sekali tidak menonton film Indonesia. Sejak tinggal di Chiang Mai tahun 2007, saya hanya tahu film Indonesia yang ramai dibicarakan di sosial media saja. Itupun saya tidak selalu tertarik untuk menontonnya. Kalaupun tertarik, kadang sulit mendapatkan filmnya.
Awal berlangganan Netflix, sebenarnya sudah pernah melihat ada film Indonesia. Waktu itu heran ada film judulnya What’s up with Love?, ternyata itu film Ada apa dengan Cinta yang judulnya diterjemahkan ke bahasa Inggris. Terus ada juga beberapa film lain, tapi umumnya film lama yang mana sudah saya tonton sebelumnya.
Biasanya film yang ramai dibicarakan itu kalau diangkat dari buku. Bukunya laris, lalu difilmkan. Semua berbondong-bondong menonton lalu kecewa karena katanya cerita di buku lebih bagus daripada filmnya. Ya iyalah ya, saya belum pernah menemukan ada film yang diangkat dari buku bisa lebih bagus dari bukunya. Tapi kalau belum sempat baca bukunya, menonton filmnya bisa memberi gambaran ingin baca bukunya atau tidak.
Selain yang saya ambil gambarnya dari aplikasi Netflix ini, ada banyak lagi film Indonesia lainnya. Tapi saya pikir, karena mau menontonnya dengan anak-anak, sebaiknya pilihan ke film yang ada pelajarannya. Kemarin pilihan pertama, nonton Laskar Pelangi yang judulnya diterjemahkan menjadi Rainbow Troops.
Untungnya, film Indonesia di Netflix ini filmnya juga diberi subtitle bahasa Inggris. Untuk anak saya yang belum begitu terbiasa menonton film Indonesia, adanya subtitle ini cukup membantu dia untuk memahami jalan ceritanya.
Saya tahu film Laskar Pelangi ini sudah lama, dan saya tahu film ini diangkat dari buku karya Andrea Hirata dan kabarnya terinspirasi dari kisah nyata. Menonton film Laskar Pelangi ini membuat saya ingin membaca bukunya. Apalagi semua teman saya bilang kalau bukunya jauuuuh lebih bagus daripada filmnya. Iya saya pengen baca tapi belum menemukan bukunya.
Saya mencoba cari buku digital Laskar pelangi di beberapa tempat belum ketemu juga. Di Ipusnas dan Gramedia Digital tidak ada, di Google Playbook dan Kindle Amazon malah nemu buku yang diterjemahkan ke bahasa Inggris dan Mandarin. Kalau mencari buku fisiknya, akan lebih sulit lagi, apalagi sekarang ini belum tahu kapan penerbangan Thailand – Indonesia normal kembali.
Film berikut yang ingin saya tonton itu film Bumi Manusia atau yang diterjemahkan Netflix jadi The Earth of Mankind. Film ini juga diangkat dari bukunya Pramoedya Ananta Toer. Tapi kalau lihat ratingnya, kemungkinan ini ditonton tanpa anak-anak.
Banyak teman saya bilang lebih baik baca bukunya daripada nonton filmnya. Tapi persoalan yang sama dengan Laskar Pelangi, belum ketemu bukunya. Lagipula tidak ada salahnya menonton dulu, nanti cari bukunya kemudian.
Ada beberapa film yang menarik perhatian saya. Kalau dari judulnya sih bisa untuk sekalian belajar sejarah Indonesia. Tapi harus dicari tahu dulu ini filmnya berdasarkan sejarah Indonesia atau sudah dijadikan fiksi semata. Kalau mau ajak anak-anak juga harus memperhatikan rating usia penontonnya juga.
Kalau dari judul yang ada di foto sebelumnya, saya ingin menonton film Soekarno, Habibie, Guru Bangsa Tjokroaminoto, 3 Srikandi, Athirah, Sokola Rimba, Sang Pemimpi, dan Cahaya dari Timur: Beta Maluku. Banyak juga yah.
Rencananya, kalau memang filmnya ratingnya cocok untuk anak-anak, nontonnya bisa untuk hiburan setelah jam belajar selesai. Padahal nontonnya juga buat sambil belajar juga. Belajar bahasa Indonesia dan belajar sejarah Indonesia.
Ada rekomendasi film Indonesia lain di Netflix yang menarik untuk ditonton bersama atau tanpa anak-anak?