Kalau sudah bosan dengan berbagai mainan fisik yang dimiliki, Joshua suka bermain game di berbagai platform (iPad, Android, Nintendo 3Ds, dan macOS). Saat ini Joshua berusia 5 tahun, dan dia menyukai game di mana dia bisa mengkonstruksi sesuatu, dan biasanya yang dikonstruksi pertama adalah huruf dan angka. Posting ini sekedar jadi catatan kenangan game-game yang saat ini disukai Joshua.
Toca Builders
Game ini seperti kanvas 3D, kita mengendalikan karakternya untuk membentuk apa saja. Game ini tersedia untuk Android dan iOS. iPad yang dipakai Joshua usianya sudah sekitar 7 tahun dengan OS 10 dan game ini masih bisa dipakai di situ. Joshua sudah suka ini sejak sekitar 3 tahun, dan dia memulai dengan bentuk mendatar saja. Karena waktu itu dia sedang suka berhitung, bentuk yang dibuat adalah angka-angka.
Setelah agak lama, dia mulai bisa berpikir 3D dan membuat benda yang tegak misalnya huruf yang berdiri untuk membentuk kata-kata.
Sebenarnya ide staycation alias nginep di tempat yang cuma beberapa kilometer dari rumah tidak pernah menarik buat saya. Tapi, setelah terjadi pandemi dan Thailand aman kembali, baiklah kita membantu menggerakkan roda ekonomi sambil menyenangkan hati anak-anak.
Jonathan baru saja menyelesaikan semua pelajaran homeschooling kelas 4 nya, sebelum mulai kelas 5, kami memutuskan untuk memberi hadiah berupa liburan yang tidak terlalu jauh dari rumah. Lagipula perjalanan ke Bangkok yang kami lakukan akhir bulan Juni tidak bisa dianggap liburan, karena fokusnya ya urus passpor saja.
Tujuan liburan kali ini beneran dekat dari rumah. Menurut Google Map cuma sekitar 40 km dari rumah, tapi karena macet ya hampir 1 jam di jalan.
Salah satu kelebihan tinggal di Chiang Mai, tidak jauh dari rumah masih banyak sawah dan daerah yang serasa di kampung halaman. Tapi, karena kami tidak berniat ikut bercocok tanam, ya tentunya mencari penginapan yang walau lokasi suasana desa, tapi fasilitas modern. Wifi dan kolam renang, selain rumah yang kokoh dengan kamar mandi yang bersih tentu saja syarat utama.
Hari ini 23 Juli 2020 diperingati sebagai Hari Anak Nasional di Indonesia. Biasanya kami di Thailand ikutan merayakan Hari Anak Thailand yang dirayakan setiap akhir pekan ke-3 bulan Januari. Jadi, berbeda dengan di Indonesia yang merayakannya pada tanggal yang sama, setiap tahunnya, di Thailand perayaan hari anak itu setiap akhir pekan, supaya semua orang pasti libur. Orang tua tidak ada alasan tidak bisa membawa anaknya bersenang-senang, dan anak-anak juga libur dari kegiatan sekolah.
Tulisan saya hari ini bukan mau membahas perayaan hari Anaknya, tapi saya jadi ingat kalau ada tantangan menulis di grup KLIP yang belum saya kerjakan. Temanya adalah: Makna Anak Bagiku.
Sekilas, topik ini sepertinya mudah, masa sih seorang ibu tidak bisa menuliskan apa makna anak buat dirinya? Apalagi kalau udah jadi ibunya bukan baru setahun dua tahun. Tapi ternyata, awalnya saya merasa kehilangan kata-kata untuk menuliskan apa sih makna anak buat saya?
Siapa yang pernah baca buku atau nonton film terus kepikiran: “ih cerita ini kok kayaknya pernah ngalamin ya?” Atau merasa suka dengan cerita karena ada kemiripan dengan jalan cerita walaupun hanya sekelumit saja. Saya juga pernah.
Dari sekian banyak nonton drama Korea, tentunya ada cerita-cerita yang ketika menontonnya mengingatkan dengan pengalaman pribadi. Nah hari ini tantangan dari grup drakor dan literasi, kami diminta menceritakan kisah pribadi yang mirip dengan drama Korea. Kalau ga ada yang mirip gimana? ah ga mungkin ga ada yang mirip, berarti belum banyak nonton dramanya, maksa banget ya, hahaha.
Sebenarnya mungkin ada banyak yang mirip atau dimirip-miripkan, tapi ya, kan ga semua bisa diingat kalau lagi disuruh menuliskan begini, belum lagi kalau orangnya pemalu dan ga mau jadi malu-maluin. Kalau kata salah satu teman saya, “jadi harus buka aib nih di blog?” Tentu tidak, jangan pernah menuliskan rahasia di blog, karena kalau ditulis namanya sudah bukan rahasia lagi. Jangan juga menuliskan hal yang bisa dipakai untuk mempersulit dirimu di kemudian hari, karena nanti pasti jadi sulit urusannya.
Iya, maap, saya memang lagi agak muter-muter ini ngomongnya, biar pembaca mulai penasaran atau makin penasaran. Kalau yang kenal dengan saya, atau yang baca tulisan sebelumnya review Dinner Mate (2020), pasti sudah tahu deh kira-kiranya cerita saya bakal seperti apa.
Ketika perjalanan ke Bangkok kemarin, saya perhatikan ada beberapa orang menggunakan face shield selain masker. Sebenarnya sudah tahu lama tentang face shield ini, tapi mau beli langsung kok tidak ketemu juga. Akhirnya pulang dari Bangkok, kami membeli face shield secara online.
Secara garis besar ada 3 jenis face shield yang tersedia online. Tapi karena sekilas berbeda, kami membeli 5 face shield yang harganya mulai dari 19 baht sampai 150 baht. Saya akan mereview masing-masing faceshield tersebut.
Tipe pertama, model kacamata
Waktu pertama kali melihat ini, datangnya berupa lembaran plastik dan kacamata yang terlepas dari plastiknya. Awalnya saya merasa aneh karena terlihat plastiknya buram dan tidak bening. Lalu saya berhasil melepas 1 lapisan di bagian luar plastiknya, tapi terlihat masih tetap buram. Akhirnya saya baru menyadari kalau ternyata ada 1 lapisan lagi di bagian dalam yang perlu dilepas. Dan sekarang plastiknya terlihat lebih bening.
Setelah hampir 4 bulan di rumah saja, mulai dari gara-gara polusi sampai dengan pandemi Covid-19, hari Minggu kemarin kami ngemall lagi. Bersyukur kalau di Thailand tidak ada polusi lagi dan penyebaran infeksi Covid-19 sudah tidak ada transmisi lokal selama 40 hari lebih.
Semua yang dulu ditutup sudah mulai dibuka kembali. Semua sudah terasa normal, bedanya selama di luar setiap orang disarankan memakai masker. Sebelum masuk mall tetap ada pemeriksaan suhu tubuh dan check-in dengan aplikasi. Kalau masih ada kasus infeksi setiap harinya, pastinya kami masih di rumah saja.
Saya perhatikan, check-in aplikasi ataupun mendaftarkan nama dan nomor telepon sebenarnya bisa saja tidak dilakukan. Tapi kami memilih tetap melakukannya, supaya kalau tiba-tiba ada penyebaran kasus baru, kami bisa dihubungi dan segera diperiksa. Tidak berharap ada kasus baru sih, tapi namanya juga lebih baik menjaga daripada terkena.
Tulisan ini merupakan kelanjutan cerita ketika kami ke Bangkok akhir bulan Juni 2020 untuk mengurus paspor saya dan anak-anak. Setelah mengambil paspor dari KBRI Bangkok, kami memanggil taksi untuk mengantarkan kami ke bandara Don Muang. Kami naik pesawat dari Don Muang menuju Chiang Mai.
Jarak dari KBRI Bangkok ke Bandara Don Muang itu sekitar 22,5 km. Sepanjang perjalanan sekitar 1 jam, supir taksi bercerita tanpa henti dalam bahasa Thai dan sesekali berbahasa Inggris. Dari logatnya ketika mengucapkan kata-kata dalam bahasa Inggris, saya dan Joe sepakat, kalau bahasa Inggrisnya si tukang taksi ini cukup lumayan. Tapi, karena saya selalu menjawab dalam bahasa Thai, tentu saja dia lebih memilih ngobrol dalam bahasa Thai.
Ceritanya mulai dari pertanyaan tentang situasi Covid di Indonesia, sampai pembangunan BTS Skytrain di Bangkok dari Don Mueang yang menuju ke pusat kota Bangkok. Tulisan ini sekalian juga untuk menceritakan ke Joe tentang apa saja yang diceritakan si supir taksi.
Karena kami naik taksi dari depan kedutaan Republik Indonesia, supir taksi langsung bertanya, “Kalian orang Indonesia ya? mau pulang ke Indonesia atau baru datang dari Indonesia?” Saya jawab kalau kami orang Indonesia tinggal di Chiang Mai, ke Bangkok untuk urusan surat-surat saja.
Supir taksi bertanya lagi, “Indonesia masih tutup karena Covid-19 kan? Saya baca, setiap hari ada sampai di atas seribu orang yang terkena Covid-19?” Saya menghela napas sebelum menjawab, “Iya, tiap hari sekarang ada di atas 1000 orang positif, dan totalnya sudah sekitar 50 ribu orang terkena.” Percakapan ini terjadi hari Selasa, tanggal 30 Juni 2020 lalu, pada waktu itu saya ingat sih 50 ribuan, ketika saya cek lagi ternyata saat itu sudah 55 ribu kasus aktif dan hari ini ketika saya menuliskan sudah lebih dari 60 ribu kasus positif di Indonesia.
Tentunya, reaksi si supir taksi sudah bisa saya duga. Dia membanggakan Thailand yang sudah tidak ada transmisi lokal lebih dari sebulan (hari ini sudah 41 hari tidak ada transmisi lokal), dan total kasus yang terjadi tidak lebih dari 4000 kasus. Dia dengan bersemangat menceritakan kalau sekarang ini sebenarnya dia bahkan berani tidak memakai masker karena sudah merasa aman, tapi ya karena aturannya masih menganjurkan memakai masker, maka dia menuruti saja.