Tulisan hari ini mau cerita kenapa sih nonton drakor, dan mulai kapan jadi drakorian alias suka nonton drama korea.
Jawaban singkatnya sih, mulanya biasa saja, drama Korea itu awalnya sama saja dengan semua film yang saya suka tonton. Saya dan Joe dari dulu memang suka menonton film dan serial TV, makanya kami memutuskan untuk berlangganan Netflix. Nah karena ada Netflix, mulailah saya melihat-lihat ada apa saja di sana. Tidak terpikir untuk menonton drama Korea, karena saya tahu kalau drama Korea itu bisa bikin ketagihan.
Lalu, tidak sengaja saya membaca berita kalau drama Taiwan “Meteor Garden”, akan dibuat remakenya. Teringat masa Meteor Garden(2001) yang juga ditayangkan di TV Indonesia. Waktu itu, saya dan teman-teman di kos menonton bareng setiap minggunya. Ah masa-masa itu, bikin kangen dengan teman-teman kos jadinya.
Serial Meteor Garden itu tidak ada di Netflix, tapi saya jadi ingat kalau cerita Meteor Garden ini ada versi Jepang dan Korea juga. Nah kebetulan sekali, di Netflix ada Boys Over Flowers (2009), versi Korea dari Meteor Garden.
Mainan Marbotic ini kami beli bulan Februari lalu. Awalnya Joshua melihat vide nya di YouTube. Terus dia sering minta dibeliin. Saya merasa mainan huruf dan angka Joshua sudah cukup banyak, sudah ada OSMO juga. Tapi akhirnya, kami belikan juga. Alasannya, OSMO itu dulu dibeli untuk Jonathan, sedangkan Joshua belum pernah dibelikan mainan seperti ini. Joe juga penasaran aja gitu pengen tau cara kerjanya hehehe.
Kami membeli Marbotic Smart Letter dan Marbotic Smart Number saja dari ebay Australia karena situs resminya tidak mengirim barangnya ke Thailand. Waktu itu harganya sekitar 2.606 THB termasuk ongkos kirim. Kami mendapatkan harga cukup murah dibandingkan harga situs resminya karena walaupun barangnya baru, mereka menjualnya sebagai kategori barang bekas. Seingat saya, tidak sampai seminggu sejak dipesan, barangnya sudah sampai.
Hari ini saya akan menuliskan tentang Marbotic Smart Letters saja. Lain kali saya akan menuliskan tentang Marbotic Smart Numbers.
Packaging dan Bentuk Fisiknya
Marbotic Smart Letters dikemas dalam kotak yang besar. Setiap huruf disusun dengan rapi dan ada 3 tingkat untuk menyimpannya. Setiap huruf ukurannya cukup besar dan ada pegangannya untuk nantinya anak bisa menempelkannya di atas layar tablet.
Kayunya bagus dan terlihat kokoh. Karena hurufnya ukuran besar, mainan ini bisa dimainkan mulai dari 2 tahun, tapi ya kalau tidak mau anak sering-sering terpapar layar gawai mungkin bisa ditunda sampai 4 tahun (Joshua umur 4.5 tahun saat kami beli mainan ini).
Hari ini, saya akan menulis review film Korea lagi. Ini merupakan topik pertama dari tantangan 30 Topik Kokoriyaan bareng teman-teman di group Drama Korea dan Literasi. Film “Time to Hunt” ini baru release April 2020 di Netflix, jadi masih relatif baru.
Berbeda dengan dua film yang pernah kami review bareng sebelumnya yang bertema komedi, film ini genrenya mirip-mirip film Amerika. Netflix memberi rating 18+ untuk film bergenre crime, gangster, heist and gritty movie karena ada banyak adegan kekerasan dan bahasa yang tidak sesuai dengan anak-anak.
Film ini pertama kali ditayangkan tanggal 22 Februari 2020, di acara 70th Berlin International Festival. Film ini juga merupakan film Korea pertama yang masuk seleksi Berlinale Special section. Akhir April 2020, film ini release di seluruh dunia melalui Netflix.
Ceritanya
Cerita di mulai ketika 3 sekawan bertemu dengan temannya yang baru keluar setelah 3 tahun di penjara. Teman yang baru keluar dari penjara ini ternyata seperti pemimpin mereka dalam melakukan kejahatan seperti pencurian. Dia mengorbankan dirinya tertangkap ketika mereka ber-4 mencuri bersama.
Si pemimpin yang baru keluar dari penjara ini bercerita tentang mimpinya untuk pensiun dari dunia kejahatan. Dia ingin memiliki resort di Kenting Beach, Taiwan yang memiliki pantai berwarna hijau seperti di Hawaii. Tapi untuk itu tentunya dia butuh modal, katanya dengan modal 200 ribu USD, dia bisa mendapatkan 8 ribu USD perbulan (atau perhari ya), intinya sih gak perlu kerja repot-repot lagi tinggal menikmati hasil deh.
Menjelang tahun ajaran baru 2020/2021, ada banyak ketidakpastian apakah anak-anak harus kembali belajar di sekolah atau masih dari rumah saja. Mengingat angka infeksi Covid-19 belum juga menunjukkan penurunan saat ini, sepertinya rumah adalah tempat paling aman untuk anak dan seluruh keluarga. Akan tetapi proses belajar jarak jauh melalui internet yang dilakukan dirasakan tidak optimal.
Beberapa orang tua yang anaknya hampir 7 tahun juga jadi ragu-ragu untuk memulai mendaftarkan anak masuk SD. Untuk orangtua yang anaknya masih di jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) merasa malah jadi repot dengan tugas-tugas sekolah yang terkadang dirasakan terlalu banyak untuk anak di bawah 6 tahun.
Beberapa sekolah sudah mengumumkan tanggal dimulainya kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah. Beberapa teman bercerita, kalau sekolah anaknya akan memulai KBM di sekolah untuk tingkat PAUD dan SD mulai akhir bulan Juli, sedangkan untuk tingkat SMP dan SMA melanjutkan belajar dari rumah. Teman yang lain bercerita kalau di sekolah anaknya malah kebalikannya. KBM di sekolah hanya untuk tingkat SMP dan SMA, sedangkan tingkat PAUD dan SD melanjutkan belajar dari rumah.
Perbedaan kebijakan sekolah ini membuat saya berpikir sendiri. Setiap sekolah ini pastilah ada pertimbangan masing-masing, maka membuat keputusan yang berbeda. Tapi saya pribadi lebih setuju kalau yang belajar di sekolah itu untuk anak yang memang sudah lebih mengerti untuk menjaga jarak.
Di grup menulis yang saya ikuti, saya menemukan ada beberapa yang hobi menonton drama Korea seperti saya. Penonton drama korea di grup KLIP ini kalau sudah mulai ngobrol, sulit dihentikan. Akhirnya, daripada membuat WAG KLIP yang isinya sudah ramai menjadi terlalu ramai dengan obrolan yang hanya dimengerti oleh pemirsa drakor, akhirnya terciptalah WAG khusus penggemar drakor dan literasi.
Buat yang hobi nonton drama Korea (drakor), ngobrolin drama Korea memang tidak ada habisnya. Mulai ngomongin plot cerita, penghayatan aktor dan artisnya, tokoh-tokoh yang disuka atau nyebelin, iklan terselubung yang berhasil bikin pemirsa tergoda membeli, sampai kadang-kadang akhir cerita yang menyebalkan dan tidak sesuai harapan. Masih mending ya ngomongin drama Korea bukan ngomongin orang lain.
Review film kali ini merupakan kegiatan review bareng ke-2 bersama teman-teman di WAG drakor dan literasi (iya isinya memang teman-teman yang hobi nonton drama Korea selain menulis setiap hari). Alasan memilih film ini tentu saja karena film yang baru release di awal tahun 2020 ini genrenya drama komedi yang cocok ditonton bersama dengan keluarga.
Judul dari film ini merupakan cara penulisan romanisasi dari nama tokoh utamanya, tapi sebenarnya penulisannya bukan Zoo, melainkan Joo. Tapi namanya romanisasi, tentu saja tidak harga mati. Bunyinya masih mirip-mirip lah ya Joo ataupun Zoo. Dalam ceritanya si mister ini akan punya kemampuan dengan banyak binatang, maka pemakaian kata Zoo sekalian menggambarkan kumpulan hewan yang banyak tampil di film ini.
Kalau mau cari tau apakah film berdurasi 113 menit ini cocok untuk tontonan keluarga Anda, silakan lanjutkan membaca sampai habis. Siapa tahu lagi tidak ada ide mau menonton apa di akhir pekan ini.
Hari ini saya mendapati beberapa teman saya menyebarkan link untuk menandatangani petisi online mengenai penundaan masuk sekolah selama pandemi. Saya setuju dengan isi petisi ini, tapi saya tidak ikut menandatangani. Alasannya karena saya tidak percaya dengan petisi online.
Saya tidak percaya dengan petisi online, karena alamat surel saya pernah dipakai untuk menandatangani petisi yang saya bahkan tidak pernah tau petisi itu ada. Waktu itu dengan susah payah saya harus menghapus nama saya dari petisi-petisi itu, karena sebagian besar bahkan petisinya bukan hal yang saya setujui.
Tahun lalu, saya baru menyadari kalau change.org itu cuma butuh nama dan alamat surel kita tanpa verifikasi untuk menyatakan orang tersebut menandatangani sebuah petisi. Saya mendapati beberapa orang dengan nama yang bahkan tidak saya kenal menggunakan alamat surel saya untuk menandatangani petisi tersebut.
Saat ini, saya tidak berminat mencari tahu apakah change.org sudah memperbaiki sistemnya dalam mengumpulkan petisi. Mudah-mudahan sudah ya, mudah-mudahan sekarang ini kalau menandatangani petisi ada verifikasi lagi yang dikirimkan ke surel yang kita pakai. Semoga saja tidak kejadian lagi ada yang memasukkan alamat surel orang lain demi terlihat banyak yang menandatangani.
Saya tidak percaya dengan petisi online, yang hanya bermodalkan alamat surel saja. Setiap orang bisa memiliki lebih dari satu alamat surel. Jadi walau ada terlihat banyak yang tanda tangan, dari mana diketahui bahwa jumlah tanda tangan itu sama dengan jumlah orang yang menandatangani?
Kalau menurut saya, memang petisi online ini cara mudah untuk meminta persetujuan dari orang banyak. Mengumpulkan tanda tangan asli tentunya bakal butuh lebih banyak waktu dan hasilnya belum tentu juga didengarkan oleh pihak yang ditujukan.
Terlepas dari saya tidak tanda tangan dengan petisi tentang tunda masuk sekolah masa pandemi, semua hal yang dikemukakan dalam petisi ini saya setuju. Buat apa terburu-buru buka sekolah kalau akhirnya nanti kebanyakan orangtua memilih tidak mengirim anaknya ke sekolah?
Banyak kok negara yang menunda membuka sekolah. Thailand salah satunya. Seharusnya tahun ajaran baru di Thailand sudah dimulai sejak pertengahan Mei, tapi pemerintah Thailand sejak bulan April sudah membuat keputusan kalau tahun ajaran baru akan ditunda mulai Juli.
Walaupun secara resmi tahun ajaran baru mulai Juli, beberapa sekolah mempersiapkan diri dengan mengadakan uji coba kelas jarak jauh. Acara pendidikan dengan memanfaatkan TV juga sudah dimulai.
Saya juga baca berita, di Filipina sekolah tidak akan dibuka selama vaksin belum ditemukan. Padahal rencana sebelumnya mereka menunda buka sekolah yang seharusnya Juni ke Agustus, tapi berikutnya mereka memutuskan tidak buka sekolah sampai vaksin ditemukan. Katanya bahkan anak tinggal kelas tidak masalah. Padahal Agustus masih lama loh, masih 2 bulan lagi.
Kalau baca berita, Indonesia rencana mulai tahun ajaran baru pertengahan Juli 2020. Ya sebenarnya tidak apa sih tahun ajaran baru dimulai, tapi semoga tetap ada pilihan untuk belajar daring juga. Jadi ya sama saja gaya belajarnya seperti yang sudah dilakukan tiga bulan kemarin.
Tapi apapun keputusan yang diambil pemerintah Indonesia, dan apapun keputusan tiap orang tua mengirim anak ke sekolah di masa pandemi, saya harapkan semua sudah memikirkan resiko masing-masing.
Tidak sekolah bukan berarti tidak belajar. Tidak duduk di dalam ruang kelas, bukan berarti tidak bisa mendapatkan pendidikan. Saatnya orang tua mengambil kendali terhadap pendidikan anak, terlepas dari apapun keputusan pembukaan sekolah nantinya.